Abu Au ad-Daqqaq — rahimahullah — mengatakan: “Barangsiapa di permulaannya
tidak memiliki penyangga maka di akhirnya tidak akan menemukan kedudukan.”
Hasan al-’Arar berkata: “Tarekat kaum sufi ini dibangun atas tiga dasar:
Seorang murid tidak makan kecuali bila sangat membutuhkan, tidak akan tidur
kecuali bila sudah terkalahkan oleh kantuk, dan tidak akan berbicara kecuali
bila secara hukum dianggap darurat.”
Ibrahim bin Adham — rahimahullah — mengatakan: “Seseorang tidak akan
mendapatkan tingkatan orang-orang saleh sehingga pada dirinya terdapat enam
hal: Selalu berjuang melawan nafsu, hina karenanya, tidak tidur di malam hari,
lebih suka sedikit dengan masalah duniawi, senang ketika ditinggalkan dunia,
dan memperpendek angan-angan.”
Sementara itu asy-Syibli — rahimahullah — memukuli dirinya dengan potongan
rotan bila rasa kantuk tiba, sampai habis satu ikat ketika menjelang Subuh. Ia
sering kali memberi celak matanya dengan garam sehingga tidak bisa tidur. Ia
juga sering memukulkan kedua tangan dan kakinya ke dinding bila tidak menemukan
alat untuk memukuli dirinya. Ia berkata, “Tidak ada sesuatu yang berusaha
menghalauku kecuali aku berhasil menundukkannya.”
Hal-hal seperti ini tidak semestinya seseorang melawan dan menyudutkan
orang-orang yang melakukannya, karena hal ini bagi mereka dianggap dari bagian
mencari alternatif yang paling ringan risikonya dari dua alternatif yang
sama-sama berbahaya.
Mereka melihat, bahwa menanggung penderitaan sakit di tubuh dianggap lebih
ringan risikonya daripada menanggung beban penderitaan karena lupa akan
Tuhannya akibat tidur atau yang lain. Ini sebaliknya pendapat yang dipilih oleh
selain kaum sufi. — Dan hanya Allah Yang Mahatahu.
Diantara perilaku yang harus dilakukan seorang murid, hendaknya tidak
berbicara dan juga tidak diam kecuali bila secara hukum dianggap darurat atau
diperlukan. Mereka telah menganggap bahwa sedikit bicara adalah salah satu dan
sendi-sendi latihan spiritual (riyadhat). Bisyr bin al-Harits al-Hafi mengatakan:
“Apabila berbicara itu membuat anda kagum, maka diamlah. Dan apabila diam itu
membuat anda kagum maka berbicaralah. Sebab pada pembicaraan terdapat bagian
dan kepentingan din dan menampakkan sifat-sifat terpuji.”
Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. sering kali meletakkan kerikil di dalam mulutnya,
sehingga ia bisa mengurangi berbicara. Ketika ia ingin berbicara yang tidak ada
manfaatnya maka ia ingat dengan kerikil yang ada di mulutnya. Konon katanya, ia
meletakkan kerikil di mulutnya selama setahun.
Rasulullah SAW bersabda: “Manusia dijungkir-balikkan kepalanya di neraka
hanya karena hasil panen lidahnya.”
Diantara perilaku yang harus dilakukan para murid adalah sering kali
merasakan lapar dengan cara yang dibenarkan oleh syariat. Poin ini merupakan
poin yang ditekankan dalam menempuh tarekat. Sebagaimana Allah telah menjadikan
wukuf di Arafah bagian rukun yang terpenting dalam pelaksanaan ibadah haji,
maka Nabi Saw mengatakan, “Haji adalah Arafah.” Maka orang-orang yang menempuh
jalan Allah menjadikan lapar adalah jalan menuju Allah.
Kalam Syeikh
Abdul Wahab Asy-Sya’rani dimuat dalam Majalah Cahaya Sufi
Posting Komentar