Dalam Alquran diceritakan, ketika para pengikut Nabi Isa
tersesat, mereka pernah berniat mengadakan ‘id (hari raya atau pesta) dan
meminta kepada Nabi Isa agar Allah SWT menurunkan hidangan mewah dari langit
(lihat QS Al Maidah 112-114). Mungkin sejak masa itulah budaya hari raya sangat
identik dengan makan-makan dan minum-minum yang serba mewah. Dan ternyata Allah
SWT pun mengkabulkan permintaan mereka lalu menurunkan makanan.(QS Al-Maidah:
115).
Jadi, tidak salah dalam pesta Hari Raya Idul Fitri masa
sekarang juga dirayakan dengan menghidangkan makanan dan minuman mewah yang
lain dari hari-hari biasa. Dalam hari raya tak ada larangan menyediakan
makanan, minuman, dan pakaian baru selama tidak berlebihan dan tidak melanggar
larangan. Apalagi bila disediakan untuk yang membutuhkan.
Abdur Rahman Al Midani dalam bukunya Ash-Shiyam Wa Ramadhân
Fil Kitab Was Sunnah (Damaskus), menjelaskan beberapa etika merayakan Idul
Fitri. Di antaranya di situ tertulis bahwa untuk merayakan Idul Fitri umat
Islam perlu makan secukupnya sebelum berangka ke tempat shalat Id, memakai
pakaian yang paling bagus, saling mengucapkan selamat dan doa semoga Allah SWT
menerima puasanya, dan memperbanyak bacaan takbir. Kata yang kedua adalah
Fitri. Fitri atau fitrah dalam bahasa Arab berasal dari kata fathara yang
berarti membedah atau membelah, bila dihubungkan dengan puasa maka ia
mengandung makna `berbuka puasa’
(ifthaar). Kembali kepada fitrah ada kalanya ditafsirkan
kembali kepada keadaan normal, kehidupan manusia yang memenuhi kehidupan jasmani
dan ruhaninya secara seimbang. Sementara kata fithrah sendiri bermakna `yang
mula-mula diciptakan Allah SWT` (Dawam Raharjo, Ensiklopedi Alquran: hlm 40,
2002). Berkaitan dengan fitrah manusia, Allah SWT berfirman dalam Alquran: “Dan
ketika Tuhanmu mengeluarkan anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): Bukankah Aku ini Tuhanmu?.
Mereka menjawab:”Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi
saksi. (QS. Al A`râf: 172).” Ayat ini menjelaskan bahwa seluruh manusia pada
firtahnya mempunya ikatan primordial yang berupa pengakuan terhadap ketuhanan
Allah SWT. Dalam hadis, Rasulallah SAW juga mempertegas dengan sabdanya:
“Setiap anak Adam dilahirkan dalam keadaan fitrah: kedua orang tuanyalah yang
menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi (HR. Bukhari).” Hadits ini memperjelas
kesaksian atau pengakuan seluruh manusia yang disebutkan Alquran di atas.
Kendati dalam literatur-literatur Islam klasik, Idul Fitri
disebut sebagai Idul Ashgar (hari raya yang kecil) sementara Idul Adhha adalah
Idul Akbar (hari raya yang besar), umat Islam di Tanah Air selalu terlihat
lebih semarak merayakan Idul Fitri dibandingkan hari-hari besar lainnya, bahkan
hari raya Idul Adha sekalipun. Momen Idul Fitri dirayakan dengan aneka ragam acara,
dimulai dengan shalat Id berjamaah di lapangan terbuka hingga halal bi halal
antarkeluarga yang kadang memanjang hingga akhir bulan Syawal.
Dalam terminologi Islam, Idul Fitri secara sederhana adalah
hari raya yang datang berulang kali setiap tanggal 1 Syawal yang menandai puasa
telah selesai dan kembali diperbolehkan makan minum di siang hari. Artinya,
kata fitri disitu diartikan `berbuka atau berhenti puasa` yang identik dengan
makan-makan dan minum-minum. Maka tidak salah apabila Idul Fitri pun disambut
dengan pesta makan-makan dan minum-minum mewah yang tak jarang terkesan
diada-adakan oleh sebagian keluarga.
Terminologi Idul Fitri seperti ini harus dijauhi dan
dibenahi, sebab selain kurang mengekspresikan makna Idul Fitri sendiri, juga
terdapat makna yang lebih mendalam lagi. Idul Fitri seharusnya dimaknai sebagai
`kepulangan seseorang kepada fitrah asalnya yang suci` sebagaimana ia baru saja
dilahirkan dari rahim ibu. Secara metafor, kelahiran kembali ini berarti
seorang Muslim yang selama sebulan melewati Ramadhan dengan puasa, qiyam, dan
segala ragam ibadahnya harus mampu kembali berislam, tanpa benci, iri, dengki,
serta bersih dari segala dosa dan kemaksiatan.
Idul Fitri berarti kembali pada naluri kemanusian yang
murni, kembali pada keberagamaan yang lurus, dan kembali dari seluruh praktik
busuk yang bertentangan dengan jiwa manusia yang masih suci. Kembali dari
segala kepentingan duniawi yang tidak islami. Inilah makna Idul Fitri yang
asli.
Adalah kesalahan besar apabila Idul Fitri dimaknai dengan
`perayaan kembalinya kebebasan makan dan minum` sehingga yang tadinya dilarang
makan siang, setelah hadirnya Idul Fitri akan balas dendam., atau dimaknai
sebagai kembalinya kebebasan berbuat maksiat yang tadinya dilarang dan
ditinggalkan. Kemudian, karena Ramadhan sudah usai maka kemaksiatan kembali
ramai-ramai digalakkan. Ringkasnya, kesalahan itu pada akhirnya menimbulkan
sebuah fenomena umat yang saleh musiman, bukan umat yang berupaya
mempertahankan kefitrian dan nilai ketakwaan.
Ust. Nur Faizin Muhith, Ponpes
Langitan
Posting Komentar