Umat Islam di seluruh dunia tengah
menikmati indahnya bulan suci Ramadan. Dimana tiap tahun, Ramadan hadir,
senantiasa disemarakkan dengan beragam seremonial keagamaan, mulai dari
tarawih, tadarus Alqur’an, kuliah subuh, buka bersama, santuanan fakir miskin
dan yatim piatu serta pegajian-pengajian selalu ramai digelar menghiasi hari-hari
Ramadan.
Masjid dan surau selalu penuh tanpa
ada shaf yang lekang. Bahkan tidak jarang para jama’ahnya berjubel dan
berdesak-desakan. Semuanya seakan hanyut dalam kebesaran dan kemuliaan bulan
ini. Hati mereka menyatu dalam kelezatan beribadah bulan Ramadan dengan tujuan
merengkuh ridho-Nya.
Akan tetapi, pada sisi yang lain
kita juga masih melihat beragam bentuk kemaksiatan yang dipertontonkan di
masyarakat pada bulan suci ini. Minum-minuman keras, perjudian, pelacuran,
pencurian, dan sebagainya. Mereka seolah tidak menghiraukan keuscian bulan
Ramadan. Baginya, tidak ada bedanya dengan bulan-bulan yang lain. Kejahatan dan
kemungkaran menjadi rutinitas yang tidak pernah bisa ditinggalkan dan telah
menjadi bagian hidupnya. Melihat fenomena di atas nampaknya ada hal yang sangat
paradoks.
Melirik pada kesucian dan kemuliaan
Ramadan, mestinya, bulan ini tidak ternodai oleh hal-hal yang bernuansa
kemungkaran, tapi kenyataan di lapangan sangat bertolak belakang padahal kita
sering mendengar sebuah hadis Nabi yang berbunyi “Apabila Ramadan datang,
niscaya pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup dan setan-setan dibelenggu”
(HR Bukhari Muslim). Lalu bagaimana konteks hadis itu dengan realita sekarang?
Memang secara sekilas hadis tersebut
mengesankan bahwa seakan-akan pada bulan Ramadan tidak ditemukan kemaksiatan
sama sekali, alasannya pintu surga telah dibuka, pintu neraka tertutup,
sementara setan-setan telah dibelenggu. Akan tetapi, perlu pemahaman yang
serius terhadap pemaknaan hadis ini.
Perbedaan pendapatpun tidak dapat
terelakkan, sebagian ulama memahami hadis terbukanya pintu surga dan
tertutupnya pintu neraka ialah makna sesungguhnya. Artinya, pada bulan Ramadan
pintu surga dibuka lebar-lebar dan pintu neraka ditutup rapat-rapat. Pendapat
ini, diunggulkan oleh Al Qurtubi. Alasannya, tidak ada motivasi
untuk mengarahkan kepada pemaknaan lain.
Meskipun tidak ada yang masuk dan
keluar, terbukanya pintu surga dan tertutupnya pitu neraka pada bulan Ramadan,
mempunyai fungsi tersendiri. Fungsinya antara laian member informasi kepada
para malaiakt bahwa bulan Ramadan telah menjelang, memberikan penghormatan akan
kebesaran bulan Ramadan, dan memotivasi orang Islam untuk selalu giat
beribadah.
Sebagian lain memaknai hadis ini
tidak pada makna hakikatnya. Ada pesan tersendiri yang ingin disampaikan oleh
Nabi melalui sabdanya itu. Makna yang dikehendaki dari terbukanya pintu surga
adalah pada bulan Ramadan selalu dipenuhi dengan beragam ketaatan beribadah
yang dapat mengantarkan kepada surga. Pada bulan suci ini rahmat Allah turun
dengan derasnya, dicurahkannya pertolongan Allah, dihilangkannya penghalang
amal, perbuatan untuk dapat menembus ke langit, dan amal perbuatan lekas
diterima.
Sedangkan pesan dari ditutupnya
pintu neraka, ialah dicurahkannya ampunan Allah, bersihanya jiwa-jiwa orang
yang berpuasa dari dosa-dosa serta terhindar dari motif-motif yang dapat
merangsang melakukan tindakan maksiyat dengan cara menahan hawa nafsunya
lantaran puasa dapat menjadi benteng dari serangan hawa nafsu.
Tentang dibelenggunya setan,
terdapat pemaknaan yang berbeda-beda. Sebagian pendapat mengatakan yang
dimaksud setan di sini ialah setan yang mencuri pendengaran tentang berita
langit. Ada yang mengartikan setan tidak mempunyai kemampuan untuk menggoda
umat Islam karena bulan Ramadan umat Islam telah membentengi dirinya dengan
puasa, dzikir, dan baca Alquran. Sehingga, belenggu yang disebutkan dalam hadis
bukan dalam arti yang sesungguhnya. Ketidakmampuan setan untuk menggoda manusia
itulah merupakan belenggu bagi dirinya. Pendapat lain mengatakan bahwa yang
dibelenggu hanyalah jin atau setan yang jahat, tidak dibelenggu secara
keseluruhan.
Fungsi dibelenggunya setan adalah
mencegah dari perbuatan-perbuatan yang dapat merusak umat Islam, melemahkan
tipu daya setan untuk mengajak kepada kemaksiatan dan menyangkal alasan yang
dibuat oleh manusia seandainya ada sebagian dari mereka yang beralasan tidak
melakukan taat dan melakukan maksiyat karena pengaruh godaan setan.
Meskipun pada bulan Ramadan
setan-setan telah dibelengu, namun kemaksiatan masih merajalela. Hal ini tidak
bertentangan dengan hadis di atas. Alasannya, bahwa yang dapat membelenggu
setan adalah puasanya, orang-orang yang memenuhi syarat-syarat dan etika puasa.
Oleh karenya, bagi orang-orang yang tidak memperhatikan syarat-syarat dan etika
puasa atau malahan tidak berpuasa sama sekali, maka baginya setan tidak
terbelanggu. Ia masih dapat menggodanya dan menyeretnya dalam lembah kemasiatan
dengan mudah. Bisa jadi kemaksiatan masih ada karena setan yang dibelenggunya
hanya sebagian, bukan secara keseluruhan.
Meskipun, misalnya semuanya setan
telah dibelenggu selama bulan suci ini, toh masih ada penyebab lain yang dapat
mendorong manusia untuk berbuat maksiat. Hal itu antara lain hawa nafsu yang
jelek, kebiasan-kebiasaan yang buruk, dan setan-setan yang berupa manusia.
Jadi, bulan suci ini tidak mampu mengerem manusia dari tindakan-tindakan buruk
dengan sendirinya tanpa disertai dengan benteng yang kokoh dari pengaruh hawa
nafsu dan godaan-godaan luar lainnya. Mestinya, puasa bisa menjadi wahana untuk
selalu mawas diri dari pengaruh hawa nafsu dan godaan-godaan yang lain, karena
musuh terbesar kita selain setan adalah hawa nafsu kita sendiri. Ingat, jangan
sampai bulan Ramadan ini terkotori dengan kemaksiatan-lemaksiatan yang dapat
merusak diri kita, keluarga dan masyarakat secara umum.
Taufiq Aulia Rahman, Penulis adalah Musyrif (Ustadz
pembimbing) Ma’had Qudsiyyah Kudus dan Guru MTs Qudsiyyah Kudus
Posting Komentar