Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » , » Indonesia Bangsa Puasa Bag. 1

Indonesia Bangsa Puasa Bag. 1

Mungkin ini pengalaman yang mengasyikkan sepanjang hidup. Dan tak mungkin pengalaman ini aku temui di wilayah lain selain Indonesia tercinta. Alasannya, karena aku tak punya kesempatan menginjakkan kaki di negara lain, juga memang aku tak bisa membayangkan seandainya kejadian demi kejadian yang saya alami terjadi di Jepang, Amerika, atau di negara-negara yang tak punya kuasa untuk menanggung peradaban yang super toleran, seperti di Indonesia ini. 

Malam itu sudah begitu larut, bahkan orang-orang yang duduk termangu menunggu datangnya kereta terkantuk-kantuk. Beberapa di antara mereka menghela nafas panjang dan mengeluh. Mereka gusar bukan menanti sebuah jawaban, tetapi menanti kereta api tiba. Mereka kelelahan bukan karena habis dari perjalanan panjang, tetapi menunggu datangnya kereta ekonomi jurusan Pasar Senen Jakarta – Pasar Turi Surabaya. Aku juga manusia bagian dari mereka yang sedang menjalani ritual menunggu bermenit-menit, bahkan berjam-jam. 

Aku harus menahan, dan berarti aku harus berpuasa, karena inti dari puasa adalah menahan diri. Menahan diri untuk tidak menyalahakan siapapun. Karena aku sendiri tak punya pengetahuan tentang salah-benar mengenai keterlambatan kereta yang hampir mencapai angka 50 menit. Bahkan untuk apa aku harus menyalahkan, toh semua orang kalau disalahkan pasti tidak mau, tak jarang justru malah marah. Apalagi jika yang salah adalah sistem transportasinya. Jadi untuk apa menyalahkan. Tak memberi efek apa-apa untuk perbaikan transportasi Indonesia, justru membawa malapetaka bisa-bisa malah berantem dengan penjaga kereta. 

Hidup di Indonesia, melatih kita untuk selalu berpuasa (menahan diri). Siapa atau apa yang salah dalam keterlambatan kereta tidak mungkin jelas. Dan tidak akan dijelaskan. Maka jangan tanya lagi tentang siapa yang harus bertanggung jawab dalam keterlambatan kereta. Itu pertanyaan lebih absurd lagi. Maka menjadi bangsa Indonesia adalah menjadi bangsa yang selalu berpuasa. Berpuasalah untuk tidak bertanya-tanya. “Simpanlah pertanyaan itu untuk bahan rumusan masalah dalam skirpsimu atau tesismu besok kelang Nak.” Demikian kata hatiku menasehati. 

Kenapa begitu tidak jelasnya, karena kita bukan bagian dari transportasi. Transportasi itu: kereta jalan, dan bisa menghasilkan uang. Penumpang selamat atau mampus bukan urusan transportasi. Manusia Indonesia harus berpuasa dari diakui oleh sistem transportasi. Penumpang tak pernah dianggap sebagai manusia. Ia hanya semacam benda paketan. Jangankan diakui, nyawa anda itu tidak bakalan diperhitungkan dalam mekanisme transportasi kereta api, khususnya yang ekonomi. Kita bisa lihat bagaimana sambungan antar gerbong dijejali penumpang yang sedemikian banyak. Bahkan tak heran lagi, beberapa kali terjadi satu bangku dengan dua nomor yang sama; berapa ratus karcis yang terjual tanpa nomor bangku; dan berapa penumpang yang membayar di atas kereta. Keluar masuk ratusan pedagang yang tak pernah terkontrol. 

Sebenarnya bangsa ini tak perlu susah-susah belajar matematika dari kelas satu sekolah dasar. Percuma, kalau menghitung kapasitas kereta dengan jumlah maksimal penumpang saja tak pernah bisa. Hatiku menghardik, lamunanku terlalu mencari kesalahan ‘orang lain’. “Cukup-cukup karena dirimu sedang puasa,” tegur hatiku mendadak sambil seakan menghardik nalar otakku. Aku sedikit emosi yang dipancing dari lamunanku tadi. Aku harus berpuasa terus untuk hidup di negara tercinta ini. Aku menghibur diriku dengan bayangan lagu Bang Iwan Fals. 

Biasanya kereta terlambat 

Duajam itu cerita lama 

Memang benar kata bang Iwan. Keterlambatan di negeri ini sudah menjadi klangenan, tradisi yang sudah membudaya. Maka terlambat bukan kesalahan apalagi dirasa sebagai perbuatan dosa, itu mustahil. Maka ada istilah mengejek “Kalau tidak terlambat, maka bukan Indonesia,” 

Bangsa ini memang bangsa yang membanggakan. Dia suka terlambat dalam segala hal, karena dia bukan bangsa matematika yang tepat. Satu tambah satu pasti sama dengan dua. Tapi bangsaku adalah bangsa yang luwes, bangsa yang secara asal usul berasal dari air. Sehingga ia laksana air yang mempunyai karakter super adaptif terhadap segala hal, segala tantangan, semua konteks, dan spase waktu. Di papan Jadwal, boleh tertera kereta tiba di stasiun Pekalongan pukul 22.00, tapi bisa secara luwes, kedatangan kereta menyesuaikan tiba satu jam setelahnya. Kalau ditanya menyesuaikan apa? Aku tak punya pengetahuan tentang penyesuaian model yang satu ini. Tapi yang jelas katanya inilah fleksibilitas ala Indonesia. 



Ahmad Saifullah Ahsa
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger