Di
dalam kitab "At-Tibyan fii 'Ulumil Qur'an" karya Syeikh Muhammad Ali
ash-Shabuni halaman 27-29, cetakan Dar el-Qalam diterangkan yang artinya
sebagai berikut: Mengetahui "Asbabun Nuzul" sangat besar pengaruhnya
dalam memahami makna ayat yang mulia. Oleh karena itu, para ulama sangat
berhati-hati dalam memahami "Asbabun Nuzul". Sehingga banyak di antara
mereka yang menulis tentang itu. Di antaranya, yang terdahulu ialah Ali
Al-Madani (guru Imam Bukhari r.a.).
Yang
terkenal dalam bidang ilmu ini adalah kitab "Asbabun Nuzul" karya
Imam Al-Wahidi. Syaikhul Islam, Imam Ibnu Hajar juga mengarang kitab tentang
itu. Bahkan ada pula kitab yang besar dan lengkap, judulnya "Lubabun Nuqul
fi Asbabin Nuzul", karya Imam Suyuthi.
Mengingat
betapa pentingnya "Asbabun Nuzul", maka bisa kita katakan bahwa
sebagian ayat tidak mungkin bisa diketahui makna-makna atau diambil hukum
darinya, sebelum mengetahui secara pasti tentang asbabun nuzul-nya.
Contoh
ayat yang Artinya: "Kepunyaan Allah lah Timur dan Barat, kemana pun engkau
menghadapkan wajah, di sana lah kiblat (yang disukai) Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S. Al-Baqarah: 115).
Kadangkala
terjadi pemahaman seolah-olah ayat di atas memperbolehkan shalat menghadap
kepada selain qiblat (Ka'bah). Padahal pemahaman seperti ini salah, karena
menghadap qiblat itu termasuk syarat sahnya shalat. Namun dengan mengetahui
"sebab turunnya ayat", maka pemahaman menjadi jelas. Sesungguhnya
ayat itu turun dalam kaitannya dengan orang yang dalam keadaan bepergian. Di
mana ia kehilangan qiblat, tidak tahu arahnya. Kemudian setelah berijtihad, ia
melaksanakan shalat. Maka, kemana pun ia menghadap, ketika itu, shalatnya tetap
sah. Ia tidak wajib mengulangi shalatnya lagi manakala telah menemukan qiblat,
meskipun dalam shalatnya tadi, ia menghadap ke arah bukan qiblat.
Jelaslah
bahwa ayat tersebut bukan berlaku untuk umum, melainkan untuk orang-orang
tertentu yang tidak mengetahui arah qiblat.
Contoh
lain, betapa pentingnya mengetahui "Asbabun Nuzul" untuk memahami
suatu ayat, yaitu firman Allah 'Azza wa Jalla yang Artinya: "Tiada berdosa
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan
makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman,
dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan
beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan. Dan Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan". (Q.S. Al-Ma'idah: 93).
Ayat
ini turun dalam kaitannya dengan masalah arak. Kadangkala terjadi salah paham,
seolah-olah arak itu tidak diharamkan. Seperti anggapan sebagian orang-orang
bodoh. Mereka mengatakan, "Arak itu tidak diharamkan berdasarkan
Al-Qur'an". Kalau saja mereka mengerti tentang sebab turunnya ayat
tersebut, sudah barang tentu
mereka tidak akan berbuat kesalahan sedemikian rupa.
Sebenarnya
mengenai turunnya ayat itu ada suatu peristiwa. Diceritakan bahwa ketika turun
ayat yang mengharamkan arak yang Artinya: "Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan
itu agar kamu mendapat keberuntungan". (Q.S. Al-Ma'idah: 90).
Mendengar
ayat tersebut, lantas para sahabat bertanya kepada Rasulullah saw:
"Bagaimana dengan orang-orang yang ikut berperang membela agama Allah dan
gugur? Mereka itu para peminum arak, padahal minum arak itu termasuk perbuatan
keji.
Kemudian
turun ayat tersebut yang menerangkan bahwa orang yang meminumnya sebelum
diharamkan, maka Allah telah mengampuninya. Ia tidak akan mendapat dosa atau
siksa. Karena, Allah tidak akan menyiksa atas perbuatan orang sebelum ia masuk
Islam atau sebelum ada hukum "diharamkan". Dengan demikian, jelaslah
maksud ayat tersebut. Dan ia tetap sebagai "nash qoth'i" dalam hal
minum arak.
Ust. Thobary Syadzily
Posting Komentar