Kaum mustadh’afin di mana-mana nasibnya mengenaskan. Tidak saja sekarang ketika manusia hanya dinilai dari segi materi, tapi sejak dulu ketika kekuasaan di tangan para raja dan diktator.
Golongan tertindas ini adalah mereka yang hidup di dunia dalam keadaan sempit. Mereka gantungkan nasibnya kepada orang lain yang dianggapnya bisa memberi perlindungan, kehidupan dan keselamatan. Mereka serahkan agamanya, ideologinya, aspirasi politiknya, saluran hobinya kepada orang lain.
Orang lain itu bisa berupa individu atau kelompok yang sedang berkuasa, bos yang kaya raya, pemimpin yang kharismatis, sistem kekuasaan yang otoriter, atau apa saja yang dianggap mampu memberikan kehidupan, mulai dari soal rejeki, keamanan, harga diri, dan sebagainya.
Musthad’afin adalah golongan manusia yang bermental kerdil. Mereka memandang dirinya terlalu lemah untuk bisa mandiri. Karenanya mereka memilih hidup bergantung kepada orang lain. Mereka mau berbuat atau melakukan apa saja, sesuai dengan kemauan majikannya. Mereka tetap tunduk pada pemerintah majikannya walaupun perbuatan itu bertentangan dengan hati nuraninya. Mereka mampu meredam gejolak jiwanya demi pengabdiannya kepada majikan.
Mereka ini tidak beragama, kecuali sekadar mengikuti agama tuannya. Mereka tidak mempunyai ideologi, kecuali mengikuti ideologi tuannya. Mereka tidak berpartai, kecuali mengikuti partai pilihan majikannya. Bukan karena mereka tidak mempunyai pendirian, tapi itulah karakter mereka. Itulah jati diri mereka yang sebenarnya.
Bagi mereka dunia itu terasa sempit. Mereka tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti orang yang kepadanya mereka bergantung. Memilih yang lain, bagi mereka hampir sama dengan bunuh diri. Dunia ini, dalam pandangannya tidak memberi dua, tiga, atau sekian banyak alternatif. Yang ada hanya satu, bahwa dunia adalah pengabdian kepada yang sedang berkuasa.
Musttadh’afin di semua kurun waktu selalu ada, tidak pernah absen dalam menghiasi populasi dunia. Dari segi jumlah, mereka selalu mayoritas. Merekalah makanan empuk bagi para mutraf, para penggede negara. Di saat kampanye mereka dijadikan komoditi yang layak dijual, pada pemilu mereka diperebutkan, dan pada pasca pemilu mereka kembali dicampakkan.
Nasib buruknya di dunia tidak berakhir semasa hidupnya saja, tapi berlanjut ketika mereka di akhirat. Sangat disayangkan, kesengsaraan itu dibawa sampai menghadap Tuhan. Sebelum bertemu dengan-Nya, terlebih dahulu malaikat menginterogasinya dengan berbagai pertanyaan yang menyudutkan. Rekaman pertanyaan itu dikutip al-Qur’an sebagai berikut:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri mereka sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, adalah kami orang-orang yang tertindas di bumi. ‘Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu? Orang-orang itu tempatnya neraka jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa: 97)
Manusia diciptakan Allah di muka bumi ini bukan untuk dikuasai, tapi justru menguasai. Manusia adalah khalifah, subyek di muka bumi. Karenanya tidak layak bagi manusia untuk ditentukan orang lain hidupnya. Mereka harus bisa menentukan dirinya sendiri, mengatur, dan memastikan arah serta jalan hidupnya sendiri.
Agar manusia dapat menjadi subyek, pelaku dan penentu, Allah SWT telah melengkapi mereka dengan perangkat yang cukup. Bentuk fisik yang sempurna, akal sehat, dan hati nurani. Tidak hanya itu, alam seluruhnya ditundukkan Allah agar mau melayani kebutuhan manusia.
Tidak ada yang kurang bagi manusia untuk mengaktualisasikan diri sebagai khalifah. Yang menjadikan mereka tertindas, menjadi obyek yang ditentukan orang lain, adalah karena kekerdilan jiwanya. Mereka kerdil memandang potensinya. Kurang yakin terhadap karunia yang diberikan Allah kepadanya. Mereka takut mencoba sesuatu yang baru. Apa yang diterimanya sudah dianggap sebagai jatahnya. Sementara jatahnya yang lain, yang jumlahnya jauh lebih besar tidak dilirik dan dimanfaatkannya.
Kekerdilan jiwa inilah yang menjadikan mereka memilih hidup sebagai budak daripada majikan. Itulah pilihan yang paling mudah, sebab tanpa risiko, tanpa beban tanggung jawab, tanpa harus menghadapi tantangan. Bagi mereka “menggaruk” itu lebih mudah daripada “menggeleng”.
Jiwa yang kerdil mengantarkan manusia pada sikap takut. Takut menghadapi realitas, takut menghadapi kehidupan, takut menghadapi tantangan dan ancaman, takut menghadapi perubahan, takut kepada kekuasaan, takut kepada orang.
Alam pikiran dan perasaannya telah diselimuti ketakutan yang luar biasa. Lebih disayangkan lagi bahwa mereka bukan takut kepada yang menciptakan ketakutan, tapi kepada manusia yang sama-sama mempunyai rasa takut, sedikit ataupun banyak. Sayang, mereka tidak takut kepada Allah yang menciptakan kehidupan, membuat perubahan, menentukan jatah rejeki dan mendistribusikannya sesuai dengan kemauan-Nya.
Karenanya, Allah menasihati kita agar takut hanya kepada-Nya saja. Jangan sampai kita terjebak perasaan takut kepada manusia, sebab manusia tidak bisa memberi rasa aman sedikit pun. Allah berfirman, “Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” (QS. al-Maaidah: 44)
Sebagai khalifah hendaknya kita menghindar rasa takut kepada manusia. Betapapun besarnya kekuasaan yang dimiliki seseorang, mereka tetap manusia. Jika anggota Dewan tidak ada yang menurunkan kekuasaannya, Allah sendiri yang akan bertindak dengan caranya sendiri. Paling mudah adalah mencabut kesehatannya. Jika masih belum cukup, bila perlu mencabut nyawanya, Apa susahnya?
Seberapa pun besar kekuasaan manusia, ia tidak akan pernah mampu menguasai diri kita sepenuhnya. Bisa saja mereka memenjarakan fisik kita, tapi apakah mereka bisa memenjarakan hati dan jiwa kita? Bisa saja mereka memaksa fisik kita berbuat ini dan itu, tapi hati kita siapa yang bisa menguasainya?
Bilal bin Rabah adalah contoh monumental yang diabadikan sejarah. Meskipun oleh majikannya ia disiksa dengan amat sadisnya, ia tetap menguasai dirinya. Secara fisik ia adalah budak majikannya, tapi jiwanya merdeka. Terik padang pasir yang memanggang kulitnya, batu besar yang menindih tubuhnya, cemeti yang menghajarnya, tetap tak bisa mengubah pendiriannya. Ia tetap berkata: Ahad, ahad, ahad.
Secara fisik Bilal adalah mustadh’afin, orang yang tertindas, tapi secara aqidah ia adalah manusia merdeka. Ia mampu membebaskan jiwanya dari belenggu majikannya walaupun secara fisik ketika itu ia menjadi budaknya. Bilal memang seorang budak, tapi memiliki jiwa merdeka. Sebaliknya, banyak orang yang secara fisik merdeka, tapi bermental budak. Mereka yang disebut terakhir itu termasuk mustadh’afin dalam aqidah.
Mustadh’afin jenis terakhir ini semakin banyak saja jumlahnya. Penampilan fisiknya bisa saja sangat meyakinkan. Pakaiannya parlente, bersepatu mengkilap dan berdasi, tapi sikap mentalnya jauh dari kemandirian. Tidak independen dalam menyalurkan aspirasi politiknya, tidak bebas dalam menentukan pilihan hidup. Dalam kesehariannya, ia mengambil sikap “apa kata bapak”. Yang baik bagi bapak, itu pula yang baik bagi saya. Pilihan bapak, itu juga pilihan saya.
Biasanya, orang bersikap demikian karena faktor ekonomi. Seseorang yang ekonominya bergantung kepada orang lain, cenderung bersikap dependen, tergantung, rela atau terpaksa, ia tunduk kepada orang lain. Untuk itu, Allah menganjurkan kepada kita agar melepaskan ketergantungan soal rezeki itu pada seseorang atau pada sekelompok orang. Jadilah orang yang mandiri dalam mencari rezeki. Dengan kemandirian itu kita dapat merdeka dalam bersikap, bebas dalam menentukan pilihan, dan tidak terikat dengan berbagai ketentuan yang bertentangan dengan hati nurani.
Lebih dari itu adalah sikap mental kita. Dalam soal rezeki, misalnya, kita harus yakin bahwa pemilik segala kekayaan ini adalah Allah. Dialah yang memberi jatah kepada makhluk-Nya, dan mendistribusikan secara adil sesuai dengan kemauan-Nya. Keyakinan ini tidak boleh hanya berhenti di hati, tidak cukup hanya diucapkan, tapi harus dibarengi dengan usaha keras untuk mendapatkannya. Bukan disebut yakin jika hanya berdiam diri tanpa bekerja. Baru disebut yakin, jika seseorang berupaya keras untuk mendapatkannya.
Dalam mengais rezeki Allah ini juga ada sunnatullahnya. Artinya, Allah menentukan hukum-hukum ekonomi secara paten dan pasti. Siapa yang mengetahui dan menerapkan hukum itu, ada jaminan untuk mendapatkannya. Sunnatullah ini tak peduli mengenai siapa saja, muslim atau kafir terkena hukum-Nya.
Terakhir, ada baiknya jika kita simak hadits qudsi di bawah ini, “Allah telah berfirman kepada Daud, ‘Demi keagungan-Ku, setiap hamba yang menggantungkan diri kepada-Ku tanpa bergantung kepada makhluk-Ku (yang Kuketahui dari niatnya), lalu ia ditipu oleh siapapun yang ada di langit dan bumi, niscaya Aku beri jalan keluar dari tipu muslihat itu. Adapun setiap hamba yang menggantungkan diri kepada makhluk tanpa bergantung kepada-Ku (yang Ku-ketahui melalui niatnya), niscaya Aku putuskan sumber rezekinya dari langit serta Aku tetapkan kehancurannya. Dan setiap hamba yang taat kepada-Ku, niscaya Aku akan mengkaruniakannya sebelum meminta kepada-Ku, niscaya Aku akan mengkanuriakannya sebelum meminta kepada-Ku, serta mengabulkan keinginannya sebelum berdo’a kepada-Ku, dan mengampuninya sebelum minta ampun kepada-Ku.” (HR. Ibnu Asakir dari Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik).
Kang Sahid
Posting Komentar