Sedekah tahlil (tahlilan) adalah sedekah atas nama ahli
kubur yang diselenggarakan oleh keluarga ahli kubur sedangkan para tamu berdoa
untuk ahli kubur dan bersedekah atas nama ahli kubur dengan pembacaan Al
Baqarah (1-5,163,255,284-286) , Al Ahzab (33,56), Al Fatihah, surah Yasin, Al
Ikhlas, Al Falaq, An Nas, Sholawat, Istighfar, Tasbih, Tahlil dan lain lain .
Sedekah tahlil (tahlilan) hukum asalnya adalah boleh,
menjadi makruh jika keluarga ahli kubur merasa terbebani atau meratapi
kematian, menjadi haram jika dibiayai dari harta yang terlarang (haram), atau
dari harta mayyit yang memiliki tanggungan / hutang atau dari harta yang bisa
menimbulkan bahaya atasnya. Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa kita boleh bersedekah atas
nama orang yang telah meninggal dunia
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ
قَالَ حَدَّثَنِي مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ
عَنْهَا قَالَ نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا
Telah bercerita kepada kami Isma’il berkata telah bercerita
kepadaku Malik dari Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari ‘Aisyah radliallahu
‘anha bahwa ada seorang laki-laki yang berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam: Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia secara mendadak dan aku
menduga seandainya dia sempat berbicara dia akan bershadaqah. Apakah aku boleh
bershadaqah atas namanya? Beliau menjawab: Ya bershodaqolah atasnya. (HR Muslim
2554).
Contoh sedekah oleh bukan keluarga pernah dicontohkan bebasnya utang mayyit
yang ditanggung oleh orang lain sekalipun bukan keluarga. Ini berdasarkan
hadits Abu Qotadah dimana ia telah menjamin untuk membayar hutang seorang
mayyit sebanyak dua dinar. Ketika ia telah membayarnya Nabi bersabda: “Sekarang
engkau telah mendinginkan kulitnya” (HR Ahmad).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan
bahwa sedekah tidak selalu dalam bentuk harta
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ
بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْمَاءَ الضُّبَعِيُّ حَدَّثَنَا مَهْدِيُّ بْنُ مَيْمُونٍ حَدَّثَنَا
وَاصِلٌ مَوْلَى أَبِي عُيَيْنَةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ عُقَيْلٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ يَعْمَرَ
عَنْ أَبِي الْأَسْوَدِ الدِّيلِيِّ عَنْ أَبِي ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالْأُجُورِ يُصَلُّونَ
كَمَا نُصَلِّي وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ
قَالَ أَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ
صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ
صَدَقَةً وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْيٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad bin
Asma` Adl Dluba’i Telah menceritakan kepada kami Mahdi bin Maimun Telah
menceritakan kepada kami Washil maula Abu Uyainah, dari Yahya bin Uqail dari
Yahya bin Ya’mar dari Abul Aswad Ad Dili dari Abu Dzar bahwa beberapa orang
dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada beliau, Wahai
Rosulullah, orang-orang kaya dapat memperoleh pahala yang lebih banyak. Mereka
shalat seperti kami shalat, puasa seperti kami puasa dan bersedekah dengan sisa
harta mereka. Maka beliau pun bersabda: Bukankah Allah telah menjadikan
berbagai macam cara kepada kalian untuk bersedekah? Setiap kalimat tasbih
adalah sedekah, setiap kalimat takbir adalah sedekah, setiap kalimat tahmid adalah
sedekah, setiap kalimat tahlil adalah sedekah, amar ma’ruf nahi munkar adalah
sedekah (HR Muslim 1674) .
Sedekah tahlil (tahlilan) bisa dilakukan kapan saja mau hari
ke 3,7,40,100,1000 tidak ada masalah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menganjurkan bersedekah walaupun
sebutir kurma , apalagi melebihi sebutir kurma
تَصَدَّقُوْا وَلَوْ
بِتَمَرَةٍ
“Shodaqohlah kamu, meskipun hanya berupa sebutir kurma“.
(HR. Al Bukhori)
Bagaimanapun sedekah atas nama ahli kubur yang
diselenggarakan oleh ahli kubur memang ada terrekam dalam kitab-kitab
ulama-terdahulu pada masa Tabi’in Dari
kitab “Al-Hawi lil Fatawi” karya Imam Jalaluddin Abdurrahman As-Suyuthi jilid 2
halaman 178 sebagai berikut, “Telah berkata Imam Ahmad bin Hanbal ra di dalam
kitabnya yang menerangkan tentang kitab zuhud: Telah menceritakan kepadaku
Hasyim bin Qasim sambil berkata: Telah menceritakan kepadaku al-Asyja’i dari
Sufyan sambil berkata: TelaH berkata Imam Thawus (ulama besar zaman Tabi’in,
wafat kira-kira tahun 110 H / 729 M): Sesungguhnya orang-orang yang meninggal
akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka selama 7 hari. Maka,
disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah)
untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.
Telah berkata al-Hafiz Abu Nu’aim di dalam kitab
Al-Jannah: Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar bin Malik, telah menceritakan
kepadaku Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, telah menceritakan kepadaku Ubay, telah
menceritakan kepadaku Hasyim bin al-Qasim, telah menceritakan kepadaku
al-Asyja’i dari Sufyan sambil berkata: Telah berkata Imam Thawus: Sesungguhnya
orang-orang yang meninggal akan mendapat ujian dari Allah dalam kuburan mereka
selama 7 hari. Maka, disunnahkan bagi mereka yang masih hidup mengadakan jamuan
makan (sedekah) untuk orang-orang yang sudah meninggal selama hari-hari tersebut.”
Selain itu, di dalam kitab yang sama jilid 2
halaman 194 diterangkan sebagai berikut, “Sesungguhnya, kesunnahan memberikan
sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku sampai
sekarang (yaitu masa Imam Suyuthi abad ke-9 H) di Mekkah dan Madinah”.
Yang
jelas kebiasaan tersebut tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat sampai
sekarang, dan tradisi tersebut diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama,
yaitu sahabat.
Ust. Zon Jonggol
+ comments + 14 comments
Assalamualaikum,
Saya sejak dulu kok masih bingung pd tradisi tahlilan ini. Kalimat dzikir tahlil, tahmid & dzikir lainnya termasuk Al Fatihah kan merupakan sebagian ajaran Islam yang jelas untuk orang hidup di dunia ini agar ingat pada Allah sang pencipta, memang hadistnya dapat untuk sodaqoh, berarti kan untuk sodaqoh orang hidup juga (yg mendengar dzikir ikut ingat Allah), tapi kok dikirim untuk orang mati? kalo memang bisa dikirim berarti tidak beda dengan mengirim makanan untuk arwah seperti orang hindu di Bali itu, karena jelas makanan untuk orang hidup.
Kalo sodaqoh barang/makanan ke orang lain yg diatas namakan orang mati memang ada tuntunannya, termasuk haji dan kurban. Pemahaman saya diatasnamakan tidak sama dg mengirim. "Atas nama" berarti semua akibatnya dipasrahkan Allah, sedang mengirim berarti ada sesuatu yg dikirim. Sesuatu ini apa? apakah bacaan dzikir, makanan atau pahalanya?. Kalau ditentukan pahalanya berarti apa tidak mendahului Allah sang pemberi pahala?
Yang baca dapat pahala kayak pahala yang didapat si mayyit (referensi coba mas download kajian tafsir di surat al isro'(o/ KH. Sya'roni) disitu disebutin kitab-kitab yang menjelaskan ini, diantaranya karya Ibnul Qayyim Al Jauzi.
Cuman lantas jangan berpikir gini: "aaah saya hidup biar kurang ajar yang penting pas mati didoain" tentu bukan begitu...
Yang terkirim pahala. Kok bisa?? pahala itu apa sih?? pahala itu ya diantaranya surga itu.
Emang bisa ngirim pahala???
Coba mas Pranu renungi, ketika sholat jenazah pada bacaan setelah takbir ke tiga (saya yakin Insyaallah mas hapal), disitu semua orang yang menyolati si mayyit akan kirim pahala (surga).
Lho apa bacaan setelah takbir ketiga (yang ngirim surga itu) nggak mendahului Allah???
jawab: perintahnya gitu.... kalau itu perintah ya saya kerjakan....
Ada yang bertanya: emang si mayyit dengar??
Jawab: dengar
kalau untuk yang masih hidup, wabil khusus orang tua dan keluarga, malah dianjurkan dikirimi fatihah.. sebab afdholul doa adalah fatihah itu..
Yang menentukan pahala bukan manusia. Manusia memohon, jadi yang dimaksud ngirim phala, kintun doa, dsb ya permohonan itu. Kalau yang menentukan pahala tetep Allah.
Maka dari itu, kata-katanya biasanya "semoga si mayyit..", "semoga Allah memeberikan kepada si mayyit...", dsb.
Sebab kalau ada pemikiran kirim pahala terus manusia yang menentukan pahala dan mesti terkabul ya enak...
Itulah pa Ngkus, saya tetep saja bingung, memohon itu kan jelas beda dengan mengirim.
Memohon atau berdoa (dg kata 'semoga' dst.)adalah permintaan yang hanya Allah sebagai penentu yang berhak mengabulkan. jujur saja, kita tak pernah tahu doa kita terkabul atau tidak, itu urusan Allah, walau ada harapan terkabul. Seperti juga setelah takbir ke 3 sholat jenazah, itu kan memohon agar Allah memberi ampunan, rahmat, kemuliaan dan seterusnya, kepada si mayit, bukan mengirimi pahala. Sekali lagi peran Allah di sini adalah sebagai penentu.
Sedangkan mengirim seperti surat Al fatihah, dzikir dsb. maka seolah Allah hanya sebagai perantara. Seperti ngirim SMS, ngirim paket dsb. pasti ada perantara yang mengirimkannya. Lalu sopankah kita menganggap Allah hanya sebagai perantara bukan penentu?
Di tempat saya, pemimpin tahlilan biasanya mengatakan "Kalimat toyibah dan dzikir tahlil ini ditujukan untuk arwah si... dst.". Ini kan jelas berarti mengirim bukan memohon (dg semoga dst.)
Memang, setelah bacaan Dzikir diakhiri dg doa.
Tapi maaf ya Pa Ngkus, itulah pemahaman saya yang awam, tapi saya jadi bersyukur akan pemahaman saya ini, karena kata ustadz di tempatku, Rosulullah tidak pernah mengadakan acara kirim-kiriman Fatihah semacam itu, beliau hanya berdoa.
Ya ngirim itu maksudnya mendoakan.... istilahnya ngirim. kita membacakan fatihah untuk seseorang mudah2an Allah mengabulkan... istilahnya ngirim... bukan Allah dijadikan perantara... lha wong Allah itu tujuan kok...
Tapi untung ustadznya gak bilang gini ya "Rasulullah tidak pernah nyuruh ngaji lewat blog"
He he he... pa ngkus menyamakan mengirim dengan berdoa ya..
Berdoa itu tujuannya kan kepada Allah, tapi mengirim itu tujuannya kan kepada yang dikirimi (arwah),
kok sama ... jadi bingung aku...
Tentunya yg dimaksud ustadzku agar kita hati-hati dalam ibadah kepada yg ghaíb,
yaitu hanya yg dicontohkan oleh Rasulullah.
Tentu bukan terus menghindari kreasi duniawi seperti mempermudah bacaan alqurán dg tambahan tanda baca, membangun masjid yg bagus,
ngaji lewat internet dan lain-lain yg duniawi... Semua itu dibolehkan.
Hanya masalah ghaíb yg tahu hanya Allah dan Allah telah mengutus Muhammad untuk memberi contoh ibadahnya kepada kita...
Bukankah dengan hati-hati dlm ibadah sesuai dg yg dicontohkan, kita akan lebih aman dari murka Allah.
Saya jadi takut besuk kalau sdh menghadap Allah dan dihisab, oleh Allah dianggap sok pinter karena beribadah tidak sesuai contoh Rosulullah...
Mau kembali mengulang amalan di dunia jelas sdh tak bisa... sesal kemudian tiada guna...
hii ... ngeri kan!
he he he ... gitu lho pa ngkus maksud ustadz saya...
Kalau anda mendoakan mayyit semoga mendapatkan surga... yang mendapat surga kelak siapa???
Mohon diluruskan,
1. tahlil bukan beribadah kepada yg ghaib (yg maksud anda mungkin beribadah untuk arwah). tahlil bertujuan mendoakan si mayyit. Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10).
2. Yang tahu hal-hal ghaib adalah ALLAH SWT dan YANG DIKASIH TAU. Dalilnya Surat Al Kahfi (Manaqib Nabi Musa dan Nabi Khodhir)
Mohon maaf pak Pranu dan Pak Ngkus. Saya mengganggu obrolan antum sekalian.
Begini pak Pranu, yang dimaksud kirim doa dan kirim fatihah adalah mengirim fadhilah/ manfaat dari doa itu. Fadhilah/ manfaat datangnya dari Allah. Ini adalah ajaran yang sangat bagus dari ulama2 pendahulu kita dengan bahasa yang lain tentunya dikondisikan dengan keadaan yg ada. Sumber tentu dari qur'an dan sunnah
Saya kasih contoh: ketika anda bersedekah, siapa yang memberi uang kepada faqir miskin... ANDA atau ALLAH??? lalu siapa yang menentukan jumlah uang yang anda kasih... ANDA atau ALLAH??
secara kasat mata, anda yang MENGIRIM uang itu ke si miskin. tetapi secara hakikat, Allah yang memberinya melalui anda.
sama halnya kirim al fatihah atau doa. Secara kasat mata, anda yang mengirim doa itu kepada yang anda kirimi. Hakikatnya Allah yang ngasih fadhilah/ manfaat melalui doa anda.
Kalau ustadznya pak Pranu bilang, tidak ada kirim-kirim fatihah di jaman Nabi, betul memang tidak ada istilah "KIRIM FATIHAH" soalnya istilah itu hanya dikenal di Indonesia dan memang berbahasa Indonesia. Cuman tolong dibilangin ke ustadznya, rasul pernah bersabda "Surat Al-Fatihah adalah untuk apa ia dimaksudkankan dalam bacaannya" dan “Seutama-utama Al-Quran adalah ‘Alhamdulillahi Rabbil Alamin.’ (Hadis riwayat Hakim dan Baihaqi) silahkan antum liat di kitab tanbihul ghafilin.
Saya kasian sama murid-murid, kalau ustadznya nggak mau kirim doa ke muridnya lantaran tidak ada perintahnya di jaman Rasul. saya juga kasian sama murid-murid kalau ada ustadz yang enggan kirim bacaan fatihah kepada murid-muridnya di waktu habis tahajud, diwaktu mengawali kajian... karena ia beralasan tidak ada di jaman rasul... kasian murid-muridnya nggak didoain... apalagi kalau ustadnya sedang tahu si murid dalam keadaan susah...
Ya kalau doa bikin sendiri pak gurunya nggak ngebolehin, TAKUT DIHISAB NANTI... DIKIRA SOK PINTER NGARANG-NGARANG DOA SENDIRI, ya nggak papa. Tapi harus konsisten, setiap berdoa nggak boleh pake bahasa sendiri. kalau ketahuan... ya harus legowo kalau ada yg bilang DOAMU DITOLAK. hiii... ngeri kan???
dan DOA itu URUSAN GHAIB lho pak Pranu. Tidak ada yang bisa melihat doa itu melayang, terbang, atau kemana.... dikabulin atau nggak...
Nih ngomong2 maaf banget nih Bos Admin, saya ngasih bnyk komentar, sekalian promosi Twitter kita (siapa tahu ada yg KLIK trus follow wkwkwkwk) soalnya yg follow baru 49, hehehehe.
Yaa kalau masalah berapa kali harus dibaca 1x, 2x, 1562x itu terserah... hari apa dibacanya, setiap hari boleh... dan boleh bikin DOA KARANGAN SENDIRI.
YA Allah berikanlah berkah kepada si mayyit, misalnya.
Kalau admin MRO ini doanya begini pas habis UAN kemarin, "Ya Allah luluskan aku dengan nilai yang baik, agar bisa diterima di SMA favorit/SMA 1"
dan Alhamdulillah ya bos admin kabul tho, soale nilai bos admin katanya bagus2... hehehehe
Posting Komentar