‘Setan’, menurut istilah
bahasa Arab berasal dari kata syathona yang berarti ba’uda
atau jauh. Jadi yang dimaksud ‘setan’ adalah makhluk yang jauh dari kebaikan.
Oleh karena hati terlebih dahulu jauh dari kebaikan, maka selanjutnya cenderung
mengajak orang lain menjauhi kebaikan.
Apabila setan itu dari golongan Jin,
berarti setan Jin, dan apabila dari golongan manusia, berarti setan manusia.
Manusia bisa menjadi setan manusia, apabila setan Jin telah menguasai hatinya
sehingga perangainya menjelma menjadi perangai setan. Rasulullah s.a.w
menggambarkan potensi tersebut dan sekaligus memberikan peringatan kepada
manusia melalui sabdanya:
لَوْلاَ
أَنَّ الشَّيَاطِيْنَ يَحُوْمُوْنَ عَلَى قُلُوْبِ بَنِى آَدَمَ لَنَظَرُوْا اِلَى
مَلَكُوْتِ السَّمَاوَاتِ
“Kalau sekiranya setan tidak meliputi hati anak Adam, pasti dia akan
melihat alam kerajaan langit”.
Di dalam hadits lain
Rasulullah s.a.w bersabda:
إِنَّ
الشَّيْطَانَ لَيَجْرِى مِنِ ابْنِ آَدَمَ مَجْرَى الدَّمِ فَضَيِّقُوْا
مَجَاِريَهُ ِبالْجُوْعِ.
“Sesungguhnya setan masuk (mengalir) ke dalam tubuh anak Adam mengikuti
aliran darahnya, maka sempitkanlah jalan masuknya dengan puasa”.
Setan jin menguasai manusia
dengan cara mengendarai nafsu syahwatnya. Sedangkan urat darah dijadikan jalan
untuk masuk dalam hati, hal itu bertujuan supaya dari hati itu setan dapat
mengendalikan hidup manusia. Supaya manusia terhindar dari tipu daya setan,
maka manusia harus mampu menjaga dan mengendalikan nafsu syahwatnya, padahal
manusia dilarang membunuh nafsu syahwat itu, karena dengan nafsu syahwat
manusia tumbuh dan hidup sehat, mengembangkan keturunan, bahkan menolong untuk
menjalankan ibadah.
Dengan melaksanakan ibadah
puasa secara teratur dan istiqomah, di samping dapat menyempitkan jalan masuk
setan dalam tubuh manusia, juga manusia dapat menguasai nafsu syahwatnya
sendiri, sehingga manusia dapat terjaga dari tipudaya setan. Itulah hakekat
mujahadah. Jadi mujahadah adalah perwujudan pelaksanaan pengabdian seorang
hamba kepada Tuhannya secara keseluruhan, baik dengan puasa, shalat maupun
dzikir. Mujahadah itu merupakan sarana yang sangat efektif bagi manusia untuk
mengendalikan nafsu syahwat dan sekaligus untuk menolak setan. Allah s.w.t
berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ
اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ
مُبْصِرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang
yang bertakwa, bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka berdzikir kepada
Allah, maka ketika itu juga mereka melihat”. (QS.al-A’raaf.7/201).
Firman Allah s.w.t di atas,
yang dimaksud dengan lafad “Tadzakkaruu” ialah, melaksanakan dzikir
dan wirid-wirid yang sudah diistiqamahkan, sedangkan yang dimaksud “Mubshiruun”,
adalah melihat. Maka itu berarti, ketika hijab-hijab hati manusia
sudah dihapuskan sebagai buah dzikir yang dijalani, maka sorot matahati manusia
menjadi tajam dan tembus pandang.
Jadi, berdzikir kepada Allah
s.w.t yang dilaksanakan dengan dasar Takwa kepada-Nya, di samping dapat menolak
setan, juga bisa menjadikan hati seorang hamba cemerlang, karena hati itu telah
dipenuhi Nur ma’rifatullah. Selanjutnya, ketika manusia telah
berhasil menolak setan Jin, maka khodamnya yang asalnya setan Jin akan
kembali berganti menjadi golongan malaikat.
إِنَّ الَّذِينَ
قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ
الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ
الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ(30)نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
وَفِي الْآخِرَةِ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا
تَدَّعُونَ
“Sesungguhnya orang-orang
yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian
mereka, maka malaikat-malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan)
“Janganlah kamu merasa takut janganlah kamu merasa sedih dan bergembiralah kamu
dengan memperoleh surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”(30) Kamilah
pelindung-pelindungmu di dalam kehidupan di dunia maupun di akherat”. (QS.
Fushilat; 41/30-31).
Firman Allah s.w.t di atas
yang artinya: “Kami adalah pelindung-pelindungmu di dalam kehidupan di
dunia maupun di akherat”, itu menunjukkan bahwa malaikat-malaikat yang
diturunkan Allah s.w.t kepada orang yang istiqamah tersebut adalah
untuk dijadikan khodam-khodam baginya.
Walhasil, bagi
pengembara-pengembara di jalan Allah, kalau pengembaraan yang dilakukan benar
dan pas jalannya, maka mereka akan mendapatkan khodam-khodam malaikat.
Seandainya orang yang mempunyai khodam Malaikat itu disebut wali, maka
mereka adalah waliyullah. Adapun pengembara yang pas dengan jalan yang kedua,
yaitu jalan hawa nafsunya, maka mereka akan mendapatkan khodam Jin.
Apabila khodam jin itu ternyata setan maka pengembara itu dinamakan
walinya setan.
Jadi Wali itu ada dua (1) Auliyaaur-Rohmaan
(Wali-walinya Allah), dan (2) Auliyaausy-Syayaathiin (Walinya setan).
Allah s.w.t menegaskan dengan firman-Nya:
اللَّهُ وَلِيُّ
الَّذِينَ ءَامَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ
كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى
الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Dan orang-orang yang
tidak percaya, Wali-walinya adalah setan yang mengeluarkan dari Nur kepada
kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya”. (QS.al-Baqoroh.2/257).
Dan juga firman-Nya:
إِنَّا جَعَلْنَا
الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
“Sesungguhnya kami telah
menjadikan setan-setan sebagai Wali-wali bagi orang yang tidak percaya “.
(QS. Al-A’raaf; 7/27).
Ust. M. Luthfi Ghazali
Posting Komentar