Dari banyaknya penjelasan yang telah diterangkan oleh
syara’ mungkin kita sudah dapat mengambil kesimpulan bahwa bakhil adalah
termasuk sifat tercela yang bisa mengakibatkan kehancuran pemiliknya. Tapi
apakah kesimpulan tersebut sudah dapat menjawab pertanyaan apa sebenarnya
hakikat bakhil itu dan bagaimana pula seseorang itu bisa mendapat status
bakhil?
Tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa dirinya adalah seorang dermawan dan
orang lain semuanya bakhil. Dan juga tidak jarang orang selalu berbeda-beda
dalam menilai orang lain. Terkadang menurut si A dia adalah orang yang dermawan
namun menurut si B dia adalah seorang bakhil.
Bakhil bukanlah berarti orang yang menahan hartanya. Karena
setiap manusia pasti memiliki sifat cinta harta benda. Dan karena kecintaan
inilah maka dia akan selalu berusaha menjaga dan menahan hartanya. Dan kalau
ini dianggap sebagai sifat bakhil maka tidak akan ada orang yang bisa selamat
dari kebakhilan ini.
Pengertian bakhil dan sakho’ menurut pandangan agama pada
hakikatnya lebih sederhana dari pada pengertian yang biasa dipahami oleh
masyarakat umum. Bakhil bukan berarti menahan harta benda saja tetapi bakhil
adalah mencegah diri untuk mengeluarkan harta benda yang semestinya dan wajib
ia keluarkan. Seperti halnya ketika seseorang itu seharusnya wajib memberi
nafkah keluarganya sebesar Rp. 1.000 rupiah, namun ternyata yang ia berikan
hanya Rp. 900 rupiah.
Orang yang bakhil juga tidak bisa diartikan sebagai orang
yang tidak mau memberi. Karena sebakhil apapun seseorang pasti ia mau memberi
walau hanya sedikit jumlahnya. Dan sebaliknya orang yang dermawan juga pasti
akan berpikir seribu kali kalau ada orang lain yang meminta semua harta
bendanya.
Kesimpulanya, harta benda itu sebenarnya sejak awal
diciptakannya adalah untuk suatu hikmah dan tujuan tertentu yakni digunakan
untuk memenuhi segala macam kebutuhan makhluk hidup dan dalam realitasnya akan
memunculkan banyak kemungkinan-kemungkinan. Kalau seseorang telah diharuskan
mentasarrufkan hartanya untuk suatu hal, akan tetapi ternyata dia tidak mau
mengeluarkannya maka ialah orang bakhil. Begitu juga sebaliknya orang yang
menggunakan hartanya pada hal-hal yang dilarang agama maka ia dianggap tabdzir
(menghambur-hamburkan harta). Dan diantara keduanya adalah wasath (sedengan.
Jawa) yaitu berlaku ekonomis. Tidak terlalu menghambur-hamburkan harta juga
tidak terlalu menahannya. Semua dipenuhi sesuai dengan porsi serta
kebutuhannya.
Yang menjadi persoalan sekarang adalah harta benda itu
wajib digunakan untuk apa saja? Ada dua macam kewajiban seseorang dalam
penggunaan hartanya. Wajib atas dasar agama dan kewajiban karena harga diri
(muru’ah) dan adat istiadat masyarakat (sosial).
Dan dermawan yang sejati adalah
orang yang tidak pernah mencegah hartanya untuk digunakan pada dua kewajiban
tersebut. Kalau salah satu dari keduanya ada yang tidak dipenuhi maka dia telah
dianggap sebagai seorang bakhil. Hanya saja orang yang mencegah harta untuk
kewajiban syar’i seperti halnya zakat, menafkahi keluarga dan lain-lain itu
dianggap lebih bakhil dari yang lain.
Pengajian Kitab Ihya' di Ponpes Langitan
Posting Komentar