Sebuah kisah nyata yang dapat kita ambil
hikmahnya datang dari seorang kyai Arwani (Alm. Almaghfurlah). Beliau merupakan
sosok kyai kharismatik yang terkenal dengan hafalan Qur’annya. Pesantren yang
diasuhnya adalah Yanbuul Qur’an di Kudus, merupakan salah satu pesantren yang
menjadi kiblat para hafidz dan hafidzah di Indonesia.
Suatu hari, beliau
bepergian bersama santrinya. Ketika beliau sampai di terminal Terboyo Semarang,
tiba-tiba Kyai Arwani dicopet. Entah apakah beliau sudah tahu atau memang
pura-pura tidak tahu. Yang jelas, beliau tidak memperdulikan jika baru saja
beliau kecopetan.
Santri yang mendampingi kyai Arwani sontak kaget dengan
kejadian pencopetan itu, detik itu juga santrinya mengejar pencopet itu seraya
meneriakinya. “Copeeet…!!! Copeet…!!!,” teriak si santri. Karena teriakan
tersebut, suasana menjadi gaduh dan orang-orang yang ada di sekelilingnya juga
ikut mengejar pencopetnya. Namun sayangnya, pencopet itu sungguh lincah dan
sepertinya sudah menguasai medan hingga gagal untuk ditangkap. Para santri yang
bersama beliau marah-marah kepada pencopet dengan ekspresi kecewa.
‘Berani-beraninya pencopet itu mengganggu
kyai saya,’begitulah kira-kira pikir mereka. Si copet juga tidak lihat-lihat
kalau yang dicopet adalah kyai. Dan betul, si copet tidak akan peduli tentang
hal itu. Yang dipikirkan pencopet adalah bagaimana mendapat uang, uang dan
uang. Bagi seorang copet, siapa saja yang pegang uang pasti akan dijadikan
sasaran.
Yang mengherankan, Kyai Arwani tidak peduli
dengan apa yang telah terjadi. Seakan-akan tidak pernah terjadi apa-apa pada
dirinya. Beliau bahkan tenang-tenang saja, hanya sibuk dengan dzikirnya.
Melihat itu, si santri menghampiri dan memberi tahu kepada Kyainya bahwa baru
saja ada copet yang telah mengambil dompetnya.
“Kyai,Njenengan baru saja kecopetan!,”kata
santrinya dengan nada tergesa-gesa dan memberitahu.
“Oh, ya?,” jawab Kyai tenang-tenang saja.
“Benar, Kyai. Tapi kami gagal menangkapnya!
Keterlaluan betul pencopet itu!”
“Alhamdulillah… Sudahlah kalian tidak perlu
ribut-ribut. Saya bersyukur, yang dicopet itu saya!,” kata kyai masih dengan
raut yang tenang.
“Apa maksudnya Kyai?,” tanya santri makin
heran.
“Syukur… syukur… Alhamdulillah. Karena saya
yang dicopet, bukan saya yang jadi pencopetnya!”
“Kok bisa begitu Kyai?” si santri bingung.
“Sekarang apa jawab kalian jika aku tanya,
lebih baik mana, menjadi orang yang dicopet atau menjadi tukang copetnya?”
Jawaban Kyai sungguh benar, masuk akal.
Nuansa zuhud dan kesufian tergambar dari ucapan-ucapan Kyai. Para santri yang
menyertai beliau pada geleng-geleng kepala tanda paham dan takjub. Para
santripun mendapat pelajaran berharga yang belum pernah mereka jumpai dalam
teori.
Ternyata, dalam musibahpun dapat timbul
rasa syukur, seperti yang sudah dicontohkan Kyai Arwani. Kisah nyata ini
sungguh membuat kita tersenyum dan juga mendapat banyak hikmah di dalamnya.
Subhanallaah… Betapa bersyukur itu tidak hanya ketika kita mendapatkan sesuatu.
Namun, seperti yang telah dicontohkan Kyai Arwani di atas bahwa bersyukur pun
dapat dilakukan ketika kita kehilangan sesuatu.
Semoga dengan ini, kita dapat menjadi
manusia yang zuhud dengan selalu ingat bahwa semuanya adalah dari Allah SWT dan
pada akhirnya juga akan kembali pada Allah SWT. Akhirnya, Semoga bermanfaat.
Nur Amin
Posting Komentar