Syekh Abdul Qadir Al-Jilany pada pembukaan
tafsir Surah Al-Fatihah mengungkapkan: “Sungguh sangat jelas bagi siapapun yang
telah Allah Ta'ala bangkitkan dari tidur kelalaian dan kantuk kealpaan, bahwa
seluruh alam semesta dan isinya tidak lain adalah mazhhar (manifestasi) dari
berbagai sifat-sifat Allah yang lahir dari nama-nama Dzat-Nya. Hal itu karena,
di setiap martabat dari Martabat-martabat Wujud, Dzat memiliki nama dan sifat
khusus yang masing-masing memiliki atsar (impresi) tersendiri. Maka demikianlah
semua Martabat Wujud. Meski wujud itu hanya sebutir zarah, sekerjap mata, atau
secercah bersitan dalam hati.
Sedangkan, martabah (martabat) yang disebut
dengan Ahadiyah yang tidak berbilang atau disebut juga al-‘ama’ adalah martabat
yang tidak ada ruang bagi auliya’ dan ulama (untuk menggapainya), melainkan
hanya al-hasrah (pilu hati), al-hairah (rasa kacau) al-walah (kebingungan) dan
al-haiman (kehausan cinta).
Martabat Ahadiyah merupakan martabat yang
menjadi puncak tertinggi pencapaian para nabi dan ujung suluk para wali.
Setelah (sampai di martabat) itu, mereka akan “berjalan” di dalamnya dan pasti
akan menuju kepada Allah, hingga mereka semua akan mengalami istighrâq
(tenggelam secara total mengingat Allah) sampai mengalami al-hairah
(kebingungan/keterpanaan spiritual) dan fana’. Tiada Tuhan selain Dia (lâ ilâha
illâ huwa). Segalanya musnah kecuali Wajah-Nya (kullu syai` hâlik illâ wajhah).
Kemudian, ketika Allah ingin membimbing
hamba-hamba-Nya ke Martabat Ahadiyah tersebut—yakni agar mereka dapat kian
dekat dan bertawajuh kepada-Nya hingga tawajuh dan taqarub mereka berakhir pada
‘isyq (rindu) dan mahabbah (cinta) yang paling hakiki (al-haqîqah al-haqqiyyah)
saja, yang akan menyebabkan runtuhnya penyematan (al-idhafat) yang melahirkan
kesan kepada keberbilangan atau dualitas terhadap Allah, yang setelah itu niat
mereka menjadi murni dan layak untuk fana’—Allah menarik perhatian manusia
untuk bergerak menuju ke jalan-Nya—sebagai bentuk bimbingan dan pengajaran
kepada mereka—melalui doa-doa yang dipanjatkan kepada-Nya serta dalam
munajat-munajat bersama-Nya, yang dalam doa-doa dan munajat-munajat itu
tersirat (isyarat akan) kembalinya yang banyak menuju tunggal yang sempurna,
yakni ketunggalan sempurna (kamal al-wihdah) yang mengenyahkan keberbilangan
(nihayah al-katsrah).”
Syekh Abdul Qadir Al-Jilany menafsirkan
surah Al-Fatihah, satu per satu:
ﺑِﺴْﻢِ ﺍﻟﻠّٰﻪِ ﺍﻟﺮَّﺣْﻤٰﻦِ ﺍﻟﺮَّﺣِﻴْﻢِ
“Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi
Maha Penyayang”
“Dengan nama “Allah” yang merupakan istilah
bagi Dzat Ahadiyah, hal ini berdasarkan pada;
1) Berdasarkan tanazzul-Nya
(turunnya wujud dengan penyngkapan Tuhan) dari Martabat Ahadiyah, karena
tidaklah mungkin untuk mengistilahkan Dzat-Nya dengan martabat asli-Nya;
2)
Berdasarkan pada ketidakterbatasan dan kemencakupan-Nya atas segala asma dan
sifat Ilahi yang kepadanya segala mazhhar bersandar, yang menurut ahli kasyf
diistilahkan dengan al-a’yân ats-tsâbitah, dan menurut ahli syariat disebut
dengan Lauh al-Mahfûzh dan al-Kitâb al-Mubîn.
Kata “Ar-Rahman” (Maha Pengasih) merupakan
istilah bagi Dzat Ahadiyah, hal ini berdasarkan pada;
1) Berdasarkan
tajalliyat-Nya pada lembaran alam semesta dan perkembangan-Nya dalam mulabas
al-wujub dan al-imkan;
2) Berdasarkan tanazzul-Nya dari Martabat Ahadiyah
kepada Martabat Al-‘Adadiyah (martabat keberbilangan); ta’ayyunat-Nya terhadap
berbagai manifestasi ilmiah dan esensi; serta pengejawantahan-Nya melalui citra
eksistensial.
Kata “Ar-Rahim” (Maha Penyayang) merupakan
istilah bagi Dzat Ahadiyah yang diekspresikan melalui tauhid terhadap-Nya
setelah disebutkan keberbilangannya; melalui penyatuannya setelah pemisahannya;
penggabungannya setelah penghamparannya; pengangkatannya setelah penundukannya;
dan tajrid-nya setelah taqyid-nya.
Kitab Tafsir Al Jailany
Posting Komentar