Barangsiapa memuliakan kehinaan berarti ia hina, karena itu
Nabi Ibrahim a.s. berkata, "Adapun bagi-Mu, itu tidak berarti
apa-apa." Merasa cukup dengan kefakiran adalah fakir, takwa dengan
kelemahan adalah lemah, merasa sempurna dengan kekurangan adalah kurang,
bahagia dengan semua hal yang diperkenankan dan menerima seluruh kebenaran
adalah sikap ikhlas. Fakir adalah ketika seseorang senang dengan kemuliaan yang
menjatuhkan derajatnya. Jika seseorang melihat karamah, sesungguhnya setiap ia
melihat keperkasaan niscaya ia melihat Sang Pemberi Keperkasaan, dan setiap ia
melihat ciptaan niscaya ia melihat Penciptanya.
Hujjah ketujuh: Bangga terhadap diri dan sifat-sifatnya
termasuk sifat-sifat iblis dan Fir'aun.
Iblis berkata, Aku lebih baik daripada Adam (QS Al-A'raf
[7]: 12) dan Fir'aun berkata, Bukankah kerajaan Mesir ini adalah kepunyaanku
(QS Al-Zukhruf [43]: 51). Setiap orang yang mengaku nabi atau tuhan secara
dusta, maka ia tidak memiliki tujuan apa-apa, kecuali untuk menghias diri,
memperkuat ketamakan dan kebanggaan diri. Oleh karena itu, Rasulullah SAW
bersabda, "Ada tiga hal yang merusak, yang terakhir adalah orang yang
membanggakan diri."
Hujjah kedelapan: Allah berfirman, Berpegang teguhlah kepada
apa yang Aku berikan kepadamu dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang
bersyukur (QS Al-A'raf [7]: 144). Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu
apa yang diyakini (ajal) (QS Al-Hijr [15]: 99).
Ketika Allah menganugerahkan karunia yang melimpah kepada
kita, kita diperintah untuk menyibukkan diri dengan melayani Sang Pemberi,
bukan malah bangga dengan karunia yang diberikan-Nya itu.
Hujjah kesembilan: Ketika Nabi SAW disuruh oleh Allah untuk
memilih antara menjadi raja yang nabi atau hamba yang nabi, beliau tidak
memilih posisi raja.
Padahal tidak diragukan bahwa posisi raja yang meliputi
daerah Timur dan Barat adalah kemuliaan, bahkan mukjizat. Namun Nabi SAW
meninggalkan singgasana dan memilih penghambaan ('ubudiyah) kepada Allah. Sebab
ketika menjadi seorang hamba, kebanggaannya diarahkan kepada tuannya. Tetapi
ketika menjadi raja, kebanggaannya diarahkan kepada budaknya. Ketika Nabi SAW
memilih penghambaan, sudah tentu dia menjadikan sunnah sebagai penghormatan
seperti yang diriwayatkan Ibnu Mas'ud, "Aku bersaksi bahwa Muhammmad SAW
adalah hamba dan utusan-Nya." Allah berfirman tentang mi'raj Nabi SAW,
Maha suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam. (QS
Al-Isra' [17]: 1)
Hujjah kesepuluh: Mencintai tuan itu tidak ada artinya,
mencintai sesuatu demi tuan juga tidak ada artinya.
Barangsiapa mencintai, maka ia tidak akan senang dan gembira
selain dengan kekasihnya. Kesenangan dan kegembiraan dengan selain Allah
menunjukkan bahwa ia tidak mencintai tuannya, tetapi ia hanya mencintai bagian
dari nafsunya sendiri dan bagian dari nafsu hanya dituntut oleh nafsu. Orang
seperti ini hanya mencintai dirinya sendiri. Sebenarnya ia tidak mencintai
tuannya, ia hanya menjadikan tuannya sebagai sarana untuk memperoleh apa yang
dicarinya. Berhala besar adalah nafsu, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya,
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai
tuhannya (QS Al-Furqan [25]: 43).
Manusia seperti ini adalah hamba berhala agung hingga para
muhaqqiqin mengemukakan bahwa mudarat karena menyembah berhala tidak sebesar
mudarat karena menyembah nafsu, rasa takut karena menyembah berhala tidak
sebesar rasa takut karena merasa bangga dengan adanya karamah.
Hujjah kesebelas: Allah berfirman, Barangsiapa bertakwa
kepada Allah niscaya Dia akan memberinya jalan keluar dan memberinya rezeki
dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah
niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya (QS Al-Thalaq [65]: 2-3).
Ayat ini menunjukkan bahwa orang yang tidak bertakwa dan
bertawakkal kepada Allah, maka tidak akan memperoleh apa-apa dari perbuatan dan
keadaan mereka itu.
Al Habib Umar Bin Sholeh Al Hamid
Posting Komentar