Tentang wawasan Imam
Syafii dalam ilmu hadits, Imam Ibnu Asakir dalam kitab Tarikh Dimasyqi
meriwayatkan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal :
ما أحد يعلم في الفقه
كان أحرى أن يصيب السنة لا يخطئ إلا الشافعي
“tidak ada seorangpun yang mengetahui fiqh
yang lebih hati-hati supaya sesuai dengan sunnah dan tidak tersalah kecuali
Imam Syafii." (Ibnu Asakir, Tarikh
Dimasyq jilid 51 hal 350 dar Fikr)
Imam Ahmad bin Hanbal
juga mengakui bahwa pendapat Imam Syafii memiliki hujjah yang kuat. Suatu hari,
Abu Turab Al-Bashri sedang berdiskusi bersama Imam Ahmad bin Hanbal tentang
suatu masalah. Tiba-tiba ada seorang laki-laki bertanya kepada Imam Ahmad :
يا أبا عبد الله لا يصح
فيه حديث
“Wahai Abu Abdillah (panggilan Imam Ahmad
bin Hanbal), tidak ada hadits shahih dalam masalah ini.”
Imam Ahmad menjawab :
إن لم يصح فيه حديث
ففيه قول الشافعي وحجته أثبت شئ فيه
“Jika tidak ada hadits shahih dalam hal
ini, sudah ada perkataan Asy-Syafi’i di dalamnya. Hujjahnya paling kokoh dalam
masalah ini.” (Ibnu Asakir, Tarikh
Dimasyq jilid 51 hal 351 dar Fikr)
Dalam sejarah ada
beberapa ulama yang berusaha mengamalkan wasiat Imam Syafii tersebut seperti
Abi Al-Walid Ibn Al-Jarud dan Abu Walid an-Naisaburi ketika mengamalkan hadits
“orang berbekam dan yang dibekam batal puasanya” dan meninggalkan mazhab Imam
Syafi’i yang mengatakan bahwa berbekam tidak membatalkan puasa. Namun keduanya
justru di tolak karena ternyata Imam Syafii meninggalkan hadits ini karena
menurut Imam Syafii hadits ini adalah mansukh. Demikian juga dengan beberapa
ulama Mazhab Syafii yang para awalnya meninggalkan pendapat Imam Syafii yang
menyatakan sunat qunut shubuh dengan alasan hadits Nabi meninggalkan qunut
merupakan hadits yang shahih, namun pada akhirnya mereka rujuk setelah
mendapati bahwa pendapat Imam Syafii memiliki hujjah yang kuat dan tidak
menentang dengan hadits shahih. (Lihat as-Subki, Ma’na Qaul Imam Muthallibi
“Iza shahha al-hadits fahuwa mazhaby”, hal 91, 95)
Imam Syafii juga mengucapkan wasiat ini pada beberapa masalah di
mana yang menjadi penghalang bagi beliau untuk berpendapat sesuai dengan hadits
hanyalah keshahihan hadits tersebut yang masih beliau ragukan, sehingga beliau
mengaitkan apabila shahih hadits maka itulah pendapatku. Atas dasar inilah,
para ulama pengikut beliau meninggalkan beberapa pendapat jadid beliau dan
malah berpegang kepada pendapat qadim, karena dalam qaul jadid yang menjadi
penghalang bagi beliau untuk berpendapat sesuai dengan hadits hanyalah karena
keraguan pada keshahihan hadits saja, sehingga setelah ulama setelah beliau
melakukan analisa terhadap hadits tersebut dan di simpulkan bahwa hadits
tersebut adalah hadits shahih maka mereka langsung berpegang kepada pendapat
qadim karena mengamalkan wasiat beliau ini.
Kita lihat penjelasan Imam Syarwani
dalam hasyiah `ala Tuhfatul Muhtaj:
يعلم منه أنه حيث قال
في شيء بعينه إذا صح الحديث في هذا قلت به وجب تنفيذ وصيته من غير توقف على النظر
في وجود معارض؛ لأنه - رضي الله تعالى عنه - لا يقول ذلك إلا إذا لم يبق عنده
احتمال معارض إلا صحة الحديث بخلاف ما إذا رأينا حديثا صح بخلاف ما قاله فلا يجوز
لنا ترك ما قاله له حتى ننظر في جميع القوادح والموانع فإن انتفت كلها عمل بوصايته
حينئذ وإلا فلا
Bisa di ketahui bahwa jika Imam
Syafi berkata pada satu tempat “jika sahih hadits pada masalah ini saya akan
berpendapat demikian” maka wajib di tunaikan wasiat Imam Syafii tersebut tanpa
tawaquf pada dalil lain yang menentang (mu’aridh) karena Imam Syafii tidak
mengucapkan demikian kecuali apabila tidak ada lagi kemungkinan ada mu`aridh
kecuali hanya tentang sahnya hadits tersebut, dengan sebalik bila kita temukan
satu hadit syang shahih maka tidak boleh bagi kita meninggalkan pendapat Imam
Syafii sehingga kita tinjau kembali seluruh dalil mu’aridh dan qawadih dan
segala mani`, bila memang semuanya tidak ada maka baru bisa di amalkan wasiat
beliau tersebut, jika tidak demikian maka tidak boleh. (Imam Syarwani, Hasyiah Syarwani
`ala Tuhfatul Muhtaj Jilid 3 Hal 481 Dar Fikr)
Ketentuan ini berlaku dalam semua Mazhab, Imam al-Qurafi dalam
Syarah al-Mahshul setelah mengutip wasiat Imam Syafii tersebut berkata :
فإنه كان مراده مع عدم
المعارض، فهو مذهب العلماء كافة وليس خاصاً به، وإن كان مع وجود المعارض فهذا خلاف
الإجماع ...كثير من فقهاء الشافعية يعتمدون على هذا ويقولون: مذهب الشافعي كذا لأن
الحديث صح فيه وهو غلط فإنه لا بد من انتفاء المعارض والعلم بعدم المعارض يتوقف
على من له أهلية استقراء الشريعة حتى يحسن أن يقول لا معارض لهذا الحديث، وأما
استقراء غير المجتهد المطلق فلا عبرة به
“Maksudnya adalah bila
tidak ada dalil lain yang kontra. Ini adalah mazhab ulama seluruhnya bukan
hanya khusus Mazhab Syafii. sedangkan bila ada dalil yang kontra maka hal ini
adalah bertentangan dengan ijmak ulama. Banyak ulama fuqaha` Mazhab Syafii yang
mencoba berpegang kepada perkataan Imam Syafii ini, mereka mengatakan ini
adalah mazhab Syafii karena haditsnya shahih. Ini adalah hal yang salah karena
harus tidak ada dalil lain yang kontra sedangkan untuk mengetahui tidak ada
dalil yang kontra hanya mampu bagi kalangan yang memiliki kemampuan analisa
syariat sehingga ia mantap menyatakan bahwa hadits ini tidak ada dalil lain
yang kontra dengannya. Adapun analisa selain mujtahid mutlaq maka tidak di terima”.
(al-Qurafi, Syarh Tanqih al-Fushul hal 450)
https://www.facebook.com/groups/196355227053960?view=permalink&id=1019089768113831&p=20&refid=18 oleh Santri Alit
Posting Komentar