Ada sebuah kisah yang sering kita
dengar tentang seseorang yang punya niat pergi haji tetapi mengurungkan niatnya
lalu memberikan biaya untuk berhaji itu kepada tetangganya seorang janda miskin
dengan beberapa anak yang memerlukan uang untuk menyambung kehidupan mereka.
Dalam kisah itu diterangkan bahwa orang tersebut termasuk didalam sedikit orang
yang hajinya mabrur pada tahun itu.
Kisah itu
mengandung pesan moral bahwa bersedekah lebih utama dari pada berhaji. Karena
itu saat di Indonesia banyak orang yang membutuhkan pertolongan, lebih baik
bersedekah dari pada berhaji. Lebih jauh lagi, kita tidak wajib berhaji, lebih
baik dana untuk berhaji disedekahkan untuk membantu orang miskin. Benarkah
pendapat itu?
Kalau pendapat
di atas dipakai untuk pribadi, silahkan dan tidak ada yang bisa melarang. Kalau
hal itu betul- betul diyakini seseorang dan dijalankannya dengan ikhlas, Insya
Allah ibadahnya itu akan diterima. Tetapi kalau itu olehnya dipaksakan kepada
orang sekelilingnya apalagi masyarakat luas, tentu akan ada reaksi negatif yang
menentangnya.
Pernyataan
bahwa kewajiban berhaji gugur atau kalah dibanding kewajiban sosial mungkin
bisa diterapkan di suatu daerah tertentu yang mengalami keadaan yang amat
darurat. Misalkan di Aceh pasca bencana Tsunami. Mungkin juga di Maluku selama
dan pasca konflik Muslimin dan umat Kristiani. Di kedua tempat itu, sebagian
yang cukup besar dari penduduk mengalami kekurangan dalam banyak hal.
Tetapi saya
yakin di kedua tempat itu pada saat terjadinya bencana itu, tidak ada yang
memberi fatwa terbuka bahwa kewajiban haji gugur oleh kewajiban membantu orang
yang kekurangan. Mungkin secara pribadi banyak yang berkeyakinan begitu dan
menjalankan keyakinannya. Saat itu di Ambon saya pernah
menyampaikan pendapat diatas didepan beberapa kawan.
Kalau untuk
mereka yang berhaji kedua atau ketiga dan seterusnya, saya pikir pendapat
di atas bisa diterapkan. Kewajiban berhaji hanya sekali, setelah itu tidak
menjadi kewajiban lagi. Sedangkan bersedekah membantu fakir miskin dan orang
lain yang kekurangan adalah kewajiban. Walaupun begitu, masih banyak orang yang
lebih mengutamakan berhaji kedua atau kesekian kalinya dibanding membantu orang
yang kekurangan.
Pergi haji yang
kedua dan kesekian kalinya dengan perjalanan biasa melalui Kementerian Agama
juga mempunyai catatan negatif lain. Karena kita akan mengambil hak orang yang
belum pernah berhaji. Perlu diketahui bahwa kalau kita mendaftar di Kementerian
Agama pada tahun ini, kita baru akan mendapat giliran pada 2017. Dan di tahun-tahun mendatang, jarak
antara saat mendaftar dengan keberangkatan akan makin panjang.
Keinginan kita
semua tentu menjadi haji mabrur, haji yang diterima amal berhaji kita oleh
Allah SWT. Bagaimana cara kita mengetahui bahwa haji kita itu mabrur? Sulit
untuk mengetahui hal itu.
Hadis Nabi
menyebutkan tiga ciri orang yang mendapatkan haji mabrur : yaitu menebarkan
kedamaian (ifsa al salam), meningkatkan ibadah, dan meningkatkan kedermawanan.
Sebagai pegangan praktis, kalau setelah haji perilaku kita kepada orang lain
itu tetap buruk, saya ragu kalau haji kita mabrur. Mestinya, yang sholatnya
tidak teratur menjadi rajin dan teratur, yang pemarah menjadi lebih
sabar, yang kasar dalam berbicara menjadi ramah, yang medit menjadi dermawan,
yang sombong menjadi rendah hati.
Apa yang kita
lakukan dalam berhaji adalah simbolik: thawaf, sa'I, berihram dan lainnya. Tetapi
tujuannya adalah menjadi seorang haji mabrur yang tandanya adalah menjadi
muslim yang baik. Sama dengan sholat. Ruku', sujud, dan bacaan itu hanya
simbol. Tujuannya adalah supaya kita tidak melakukan perbuatan keji dan
mungkar. Yang kita lakukan dalam berpuasa juga simbol. Substansinya adalah
menjadi orang yang bertaqwa.
Karena itu kita
harus berusaha memahami sepenuhnya makna yang terkandung didalam simbol-simbol
berhaji itu. Yang paling penting adalah meluruskan dan memantapkan niat kita
berhaji hanya semata-mata karena mencari ridho Allah.
KH. Salahuddin
Wahid (Gus Sholah)
Posting Komentar