Sungguh bibit tindakan ghuluw dari
sebagian orang pernah tampak pada masa Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam, tetapi
segera dicegah dan dibabat sampai ke akarnya meski bibit itu tidak dalam
lapangan Aqidah, melainkan dalam medan ibadah.
Dalam masalah ini, Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam benar–benar meneliti
dan melakukan pengawasan ketat serta memberikan pengarahan menuju arah yang
benar. Hal itu seperti diceritakan oleh Anas ra bahwa ada tiga orang datang ke
rumah–rumah isteri Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam guna meminta informasi
tentang ibadah beliau.
Setelah mendapat penjelasan, mereka sepertinya menganggap ibadah Nabi SAW
terbilang sedikit. Karena itulah, mereka saling berkata, “Di mana kita
(dibandingkan) dengan Nabi SAW yang telah diampuni segala yang telah berlalu
dan yang akan berlaku.” Seorang kemudian berkata, “Adapun aku, maka sungguh aku
akan terus sholat semalam suntuk selamanya!” Yang lain juga berkata, “Aku akan
terus berpuasa selamanya dan tak akan berbuka!” Sementara itu, orang ketiga
berkata, “Aku menjauh dari wanita dan tak akan pernah menikah selamanya!”
Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam datang lalu bersabda yang artinya,
“Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling
takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka,
sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena
itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”
Pengarahan yang diberikan oleh Rasulullah SAW ini kiranya sama sekali tidak
menyisakan alasan apa pun bagi mujtahid untuk berijtihad guna menetapkan
sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syariat, melarang hal yang tidak dilarang
oleh syariat atau memfatwakan suatu produk hukum sesuai dengan selera dan
pendapatnya.
Hadits tersebut bukan berarti melarang secara mutlak untuk berijtihad dalam
beribadah sebab berijtihad dalam ibadah (seperti dimaklumi) merupakan tuntutan
syariat selama berada dalam koridor syariat seperti dijelaskan oleh Allah:
وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْـنَا لَنَهْدِيَنَّـهُمْ سُبُـلَنَا وَإِنَّ اللهَ
لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan orang–orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar
akanKami tunjukkan kepada mereka jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar–benar
beserta orang–orang yang berbuat baik.“ (Q.S. al Ankabuut: 69)
Allah juga berfirman, “Dan bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian
serta surga yang luasnya (seluas) langit dan bumi yang disiapkan bagi
orang–orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali Imron: 133)
“Hai orang–orang yang beriman, berdzikirlah kalian kepada Allah dengan dzikir
yang banyak dan sucikanlah Dia di waktu pagi dan sore hari.” (Q.S. al Ahzaab:
41– 42).
Sungguh hadits tersebut hanya mengajak dan mendorong pada keseimbangan
(Muwaazanah) dalam segala tuntutan dan kewajiban. Hal ini (sebagai langkah
antisipatif atas) tindakan ekstrem (ghuluw) yang mereka lakukan dengan
membebankan sesuatu hal yang sebenarnya tidak diwajibkan atas mereka serta
mencegah hal yang semestinya tidak pernah diharamkan atas mereka.
Ini adalah tindakan ghuluw yang sebenarnya. Karena itulah sikap dan sisi
pandang (ittijaah) yang diambil dan dianut oleh para sahabat (yang disebut
dalam hadits riwayat Anas ra di atas) tidak diakui dan segera ditangani oleh
Nabi SAW dengan memberi penjelasan langsung bahwa sikap dan sisi pandang
demikian merupakan bentuk ghuluw.
Selanjutnya Nabi SAW memberikan bimbingan bahwa esensi takut dan takwa kepada
Allah bukanlah dengan bersikap ekstrem, terlalu, atau teledor, melainkan dengan
sikap yang seimbang terhadap aneka ragam tuntutan (mathoolib).
Atas dasar ini, (bisa dimengerti bahwa tabir) perbedaan antara giat (ijtihad)
dalam ibadah dan ghuluw sangat tipis. Sungguh sangat disayangkan, ketika
sebagian dari para pelaku kebaikan yang getol memperjuangkan kebaikan justru
melakukan kekeliruan dalam menggunakan dan menerapkan istilah ini (ghuluw) atas
diri mereka dan orang–orang selain mereka.
Hal itu akan berakibat pada terjadinya keburukan yang luas serta pintu–pintu
fitnah besar yang terbuka lebar dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Dalam bukunya (Iqoomatul Hujjah alaa Annal Iktsaar fil Ibaadah Laisa bi
Bid’ah), Syekh Abul Hasanaat Abdul Hayyi al Lacknawi menjelaskan perbedaan
dalam topik penting ini dengan tuntas.
Bahkan, termasuk tindakan yang jelas–jelas bagian dari sikap ekstrem adalah
klaim sebagai pelaku bid’ah yang ditumpahkan atas sebagian ulama ahli suluk dan
tarbiyah yang memfokuskan diri dalam beribadah.
(Sekali lagi ) saya mengatakan, “Hal ini adalah bagian dari sikap ekstrem!! Laa
Haula walaa Quwwata illa Billaah al Aliyyil Azhiim”
Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad
bin Alwi Almaliki Alhasani
Posting Komentar