Seperti disaksikan, perpecahan dan
tindakan teror merupakan bencana dan keburukan (yang muncul dari para ekstremis
) yang saat ini menjadi beban berat banyak masyarakat. Dalam situasi seperti
ini, para pengacau (penyeru keburukan) akan dengan mudah membuat dan
menyebarluaskan fitnah, memperkeruh suasana, dan mencari kesempatan dalam iklim
perdebatan pemikiran dan ilmu yang sedang terjadi di antara kita.
Hal ini sangat mungkin untuk memunculkan masalah, membuat semuanya menjadi
rumit serta memunculkan kasus–kasus yang tidak bermanfaat dan tidak pula
mempersatukan. Bahkan sebaliknya, hal itu akan membahayakan dan menjadi
penyebab perpecahan serta tak ada apapun yang bisa dibanggakan dari awal hingga
akhir sebab terlanjur banyak pihak yang dewasa ini merasa tersakiti dan
terbakar oleh apinya yang membara yang terkadang terlihat dan pada suatu saat tersembunyi
begitu rapi.
Ekstrem dalam Mengafirkan
Uraian topik ini merupakan salah satu agenda pokok muktamar dan dialog kali
ini. Akan tetapi, saya tidak ingin mengulas dan menjabarkan arti secara
etimologi dari kata ini (ghuluw) sebab telah diungkap dan dijelaskan oleh yang
lain. Hanya saja, di sini kami ingin memberikan definisi ghuluw sebagai suatu
tindakan keluar dari batas sedang dan tengah–tengah yang sudah digariskan dan
dianjurkan oleh Islam serta sangat ditekankan agar dipegang dengan teguh dan jangan
sampai dilepaskan sebagaimana disebut dalam firman Allah:
وَكَذَلِكَ جَعَلْناَكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ
…
“Dan demikian (pula) Kami jadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang adil
dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia… “ (Q.S. al
Baqoroh: 142)
Dengan pengertian seperti ini, bisa disimpulkan bahwa ghuluw (sikap ekstrem)
bukanlah suatu hal baru, tetapi telah sangat lama dan berumur tua sejajar
dengan umur manusia.
Perhatikanlah firman Allah yang artinya, “Wahai ahli Kitab, janganlah kalian
bertindak melewati batas (ghuluw) dalam agama kalian….” (Q.S. an Nisa’: 171)
Nabi Muhammad ShollAllahu Alaihi Wasallam bersabda:
إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّيْنِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
بِالْغُلُوِّ فِى الدِّيْنِ
“Waspadailah oleh kalian tindakan ghuluw dalam beragama sebab sungguh ghuluw
dalam beragama telah menghancurkan orang sebelum kalian.”
Ada satu poin penting yang perlu dicamkan dari hadits ini, yaitu fenomena di
mana tak ada satu umat pun (yang pernah ada) yang sepi dari kelompok–kelompok
yang bertindak ghuluw (al Mughooliin)”.
Jadi, ghuluw merupakan bencana lama yang terbukti menjadi sebab kehancuran
banyak umat. Yahudi, misalnya, sejarah menceritakan betapa banyak kisah–kisah
seputar kehadiran mereka yang sangat aktif dalam lapangan tindakan ekstrem yang
berbentuk aksi teror, kebiadaban, dan keangkuhan yang salah satunya terwujud
dalam aksi mendustakan (takdziib), mengintimidasi, dan bahkan membunuh sebagian
para nabi.
Al Qur’an telah mencatat dan menyuguhkan aksi–aksi penghinaan tersebut dalam
firman-Nya, “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan al Kitab (Taurot) kepada
Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut–turut) sesudah itu dengan rasul
–rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa
putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruuhul Qudus. Apakah setiap datang
kepada kalian seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai
dengan keinginan kalian lalu kalian angkuh, maka beberapa orang (di antara
mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh.“ (Q.S. al
Baqarah: 87)
Dalam berakidah, orang Nashrani juga bertindak ghuluw dengan mengangkat Isa bin
Maryam alaihissalaam sampai pada tingkat ketuhanan dan mereka pun menyembahnya.
Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya telah kafirlah orang–orang yang
berkata, ‘Sesungguhnya Allah ialah al Masih putera Maryam’, padahal al Masih
sendiri berkata, ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian’.
Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti
Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada
seorang penolong pun bagi orang–orang zholim itu. Sesungguhnya kafirlah
orang–orang yang mengatakan, ‘Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga’.
Padahal, sekali–kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang
Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti
orang–orang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka
mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ (Q.S. al Maidah: 72 – 74).
Ekstremisme Nashrani tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya,
tetapi menjalar pada keyakinan bahwa para pastur dan pendeta berhak menentukan
suatu hukum selain (ketentuan hukum) dari Allah. Lebih jauh lagi, mereka bahkan
menyatakan kesanggupan secara total untuk patuh kepada pastur dan pendeta dalam
segala hal yang bertentangan dengan syariat dan hukum Allah. Ini semua
terdorong oleh ulah para pastur dan pendeta yang menghalalkan sesuatu yang
haram dan mengharamkan sesuatu yang halal atas mereka serta menetapkan hukum
dan syariat yang sesuai dengan selera dan hawa nafsu sehingga mereka sangat antusias
menerima dan menaatinya.
Allah berfirman, “Mereka menjadikan orang–orang alimnya, dan rahib–rahib mereka
sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka (juga mempertuhankan) al Masih
putera Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa,
tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa
yang mereka persekutukan.“ (QS at Taubah: 31)
Dalam aspek kehidupan dunia, kaum Nashrani juga memiliki banyak sikap yang
termasuk dalam kategori tindakan ghuluw yang di antaranya seperti dijelaskan
oleh firman Allah:
…وَرَهْبَانِيَّةَ نِابْتَـدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلاَّ
ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا …“
…. Dan mereka mengada–adakan rohbaaniyyah. Padahal, Kami tidak mewajibkannya
kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada–adakannya) untuk mencari
keridhoan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang
semestinya ….“ (Q.S. al Hadid: 27)
Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad
bin Alwi Almaliki Alhasani
Posting Komentar