Berpisah dengan orang yang dicintai
memang menyedihkan. Begitu halnya dengan Rasulullah SAW. Setelah Khadijah
(isteri pertamanya) wafat, Rasulullah SAW merasa amat kehilangan orang yang
begitu dicintainya. Betapa tidak, Khadijah orang pertama yang beriman disaat
semua orang ingkar kepadanya, dia juga orang yang mengorbankan hartanya saat
semua orang berusaha mempertahankan hartanya.
Pada saat Rasulullah SAW amat
berkabung, para sahabat juga merasa iba, kasihan. Namun mereka seolah-olah
kehabisan cara untuk mengembalikan kecerian Rasulullah. Tidak satu pun sahabat
yang berani mengusulkan apa sebaiknya yang harus dilakukan beliau. Tapi
tiba-tiba seorang wanita yang bernama Khaulah binti Hakim Assalamiyah
memberanikan diri. Ia mengusulkan kepada Rasulullah SAW, “Bagaimana jika
Rasulullah menikah lagi?”. Beliau kemudian agak tersentak, nafas panjang
ditariknya.
“Siapa yang menggantikan Khadijah, ya
Khaulah?”, tanya Rasul. “Aisyah, puteri orang yang paling engkau cintai
ya Rasulullah”, jawab Khaulah.
Rasulullah SAW kemudian termenung, ia
mengingat sahabat yang paling dicintainya Abu Bakar, seorang pria yang begitu
menyatakan masuk Islam, langsung menyatakan diri berjuang di sisi Rasulullah.
Tiba-tiba ia bertanya lagi: “bukankah dia masih begitu kecil?”. “Ya betul, tapi
lebih baik Rasulullah meminangnya sekarang, baru nanti kita tunggu hingga si
kecil itu dewasa”, jawab Khaulah lembut. “Kau ini bagaimana Khaulah, tiga tahun
menunggu bukan waktu yang pendek, siapa yang akan mengurus rumah ini dan
merawat anak-anak?”, tanya Rasul lagi.
Meskipun Rasulullah meminang Aisyah
binti Abu Bakar, rupanya ia telah menyiapkan seorang janda yang suaminya dahulu
amat berjasa dalam dakwah Islam, yaitu Saudah bin Zum’ah. Dan rupanya Khaulah
mengetahui juga rencana Rasul itu. Dia kemudian meminta izin kepada Rasul untuk
melamar Saudah dan Rasul pun memberi kepercayaan kepadanya.
Ketika Khaulah tiba di rumah Saudah,
tentu saja Saudah amat heran apalagi Khaulah nampak begitu gembira dan berkata:
“Hai Saudah, nikmat apa lagi yang diberikan Allah padamu?”. Mendengar itu
Saudah semakin bingung. Khaulah melanjutkan maksudnya: “Sudahlah jangan
bingung, aku ke sini diutus Rasulullah untuk meminangmu, bagaimana, engkau
terima?”.
Saudah menjadi sangat heran, ia bagai
tak mampu mengeluarkan kata-kata, “benarkah yang kudengar ini?” tanyanya dalam
hati. Khaulah kemudian kembali bertanya, “bagaimana jawabmu, kok bisu?”. Saudah
semakin bergetar dengan pertanyaan itu, tapi ia segera menjawab:”Ya”.
Kepada Zum’ah, ayah Saudah, Khaulah
juga menyatakan melamar puterinya untuk Rasulullah. Mendengar itu Zum’ah
melonjak-melonjak sebagai tanda gembira dan menerima lamaran Rasulullah SAW.
Mendengar bahwa Rasulullah meminang
Saudah, para sahabat juga ikut heran, karena Saudah memang tidak diperhitungkan
menjadi pengganti Khadijah, tapi Rasulullah ingat akan jasa suaminya yang tewas
dalam perjuangan, Rasulullah ingin meringankan beban hidupnya.
Meskipun banyak orang meragukan
kemampuannya menggantikan peran Khadijah, Saudah berusaha sekuat tenaga, dia
mengurus rumah tangga Rasulullah dan merawat anak-anaknya, dia juga amat
gembira dan Rasulullah juga senang, bahkan begitu senangnya kadang-kadang
Rasulullah SAW sampai tertawa geli. Begitulah Saudah mengurus rumah tangga
bersama Rasulullah SAW dengan baik hingga wafatnya beliau.
Ketika masa khalifah Umar bin Khattab
hampir berakhir, Saudah menemui ajalnya, pengorbanannya dalam membina rumah
tangga bahagia tidak sia-sia sehingga ia disenangi banyak orang terutama oleh
Aisyah salah seorang isteri Nabi SAW. Aisyah berkata, “tidak ada wanita yang
aku senangi seperti Saudah bin Zum’ah, ingin rasanya mengikuti keteladanannya”.
Ust. drs. Ahmad Yani
Posting Komentar