Wali adalah hamba-hamba yang dicintai oleh Allah
SWT. Mereka diangkat menjadi wali bukan karena ibadah mereka ditujukan untuk
itu, akan tetapi karena ketaatan dan keiklasannya dalam beribadah. Mereka
melakukan ibadah semata-mata karena kesadaran sebagai hamba Allah. Maka mereka
mengerti maqomat ubudiyah, dan mengerti ilmu ke-Tuhanan.
Dengan semakin meningkatnya mereka mengenal Allah
maka mereka semakin sadar akan kehambaan mereka. Mereka adalah teladan bagi
kita semuanya. Sifat-sifat mereka disebutkan oleh Allah dalam Al Quran (Yunus:
62-63):
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ * الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ
“Ketahuilah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak pula mereka bersedih hati, yaitu orang-orang yang beriman dan mereka senantiasa bertaqwa”
Ketahuilah bahwa Aulia (para Wali Allah), tidak punya rasa takut kecuali
terhadap Allah ta'alaa, karena tidak sekedar kadar keimanannya, dan tidak pula
setengah-setengah keimanan dan keyakinannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Tadhoru-nya, ibadahnya, syukurnya, roja’nya itulah yang menjadikan mereka
sempurna dalam kehambaannya. Yang kedua mereka tidak mempunyai rasa takut
selain pada Allah SWT, karena mereka itu adalah الَّذِينَ
آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ , orang-orang yang beriman.
Tidak sedikitpun mengambil atsar (merasa ada yang
bisa memberi efek positif dan alam mendatangkan kebaikan atau menolak keburukan)
dari sesuatu selain Allah. Beliau-beliau bisa membedakan mana dorongan
nafsunya, mana dorongan imannya. Beliau-beliau tidak tertipu dengan nafsunya
sendiri, apalagi oleh Syaithan,
Beliau-beliau sangat menjauhi kesyirikan, syirik kecilpun sangat mereka hindari. Misalkan pada suatu subuh turun hujan, adzan berkumandang hingga sholat tidak ada yang keluar untuk berjamaah. Setelah selesai sholat dia ngomong; ‘subuh-subuh di undang sholat sama Allah malah pada tidur’. Tanpa dia sadari dia sudah terperosok pada syirik kecil, bangga dengan amalnya dan mengecilkan yang lain. Padahal yang lain ada yang bekerja hingga larut malam, ada yang sakit, berat untuk bangun subuh awal.
Beliau-beliau sangat menjauhi kesyirikan, syirik kecilpun sangat mereka hindari. Misalkan pada suatu subuh turun hujan, adzan berkumandang hingga sholat tidak ada yang keluar untuk berjamaah. Setelah selesai sholat dia ngomong; ‘subuh-subuh di undang sholat sama Allah malah pada tidur’. Tanpa dia sadari dia sudah terperosok pada syirik kecil, bangga dengan amalnya dan mengecilkan yang lain. Padahal yang lain ada yang bekerja hingga larut malam, ada yang sakit, berat untuk bangun subuh awal.
Demikian pula ketika kita datang kesuatu daerah
untuk ceramah, tuan rumah mengatakan kalau di daerah itu masih banyak orang
yang meminum minuman keras. Pada waktu naik ke panggung dia ngomong; ‘ masa
disini masih banyak orang minum..’ dengan nada marah. Dia naik ke podium
dengan amarah bukan dengan kasih sayang untuk menyadarkan orang lain.
Tanpa sadar dia telah mendahulukan amarahnya. Ibarat seorang tuan rumah yang
menyuruh atau mempersilahkan minum kopi yang dihidangkan padahal kopinya sangat
panas. Tapi jika mubaligh itu bisa memahami dan menguasai nafsunya maka akan
menyampaikan dengan lemah lembut. Ibarat menyuruh minum kopi itu, menunggu
setelah dingin dahulu. Karena dalam al Quran sendiri pelarangan dan penyadaran
minum khomer itu secara bertahap. Tapi jika panas (mubaligh) dan panas
(pendengar; karena tersinggung) apa jadinya dakwah itu.
Nah para wali-wali Allah SWT tidak mungkin
seperti itu. Para beliau paham mana dorongan nafsu dan mana dorongan
kasih sayang atau niatan taat kepada Allah. Nafsu itu menurut imam Qusyairi
ibara anak kecil, waktu masih kecil kencing sembarangan tetap lucu dan
menggemaskan, membuat kita tertawa tetapi ketika makin tumbuh besar usia 6
tahun kencing sembarangan kan membuat ibunya marah.
Selanjutnya yang membuat mereka diangkat oleh Allah menjadi wali karena mereka
selalu ingat pada Allah SWT. Nafsu itu jika dituruti akan terus meminta lebih.
Jadi para wali-wali Allah sangat menjauhi ajakan nafsu itu.
Nah para wali Allah itu sendalnya saja tidak
pernah maksiat apalagi kakinya, kalau kita kaki kita terperosok kejurang
maksiat apalagi sendalnya. Itu pengandaian saja bagaimana beliau-beliau
bisa menahan diri dari menuruti nafsu.
Para aulia menjaga matanya karena merasa disaksikan terus oleh Allah SWT,
hatinya tidak pernah suudzon. Para wali-wali Allah lalai lupa sama Allah
sekejap saja belia-beliau wajib taubat. Mata dan mulut itu yang pertam
kali busuk saat orang meninggal dunia.
Kunci berikutnya adalah taat kepada orang tuanya, sekalipun orang tua kita bodoh, beda agama sekalipun selama memberitahukan yang baik, ya ikuti. Jangan mentang-mentang beda agama kita bertindak sembarangan. Walaupun beda agama orang tua yang melahirkan kita tetap harus kita hormati. Lebih-lebih seagama. Termasuk mertua sekalipun.
Lihat seperti kisah Uwaisy Al Qarny, kenapa beliau di angkat menjadi wali. Karena taatnya beliau pada orang tua samapai beliau itu hidup pada jaman Nabi tapi beliau tidak pernah bertemu dengan Nabi Saw, karena kesibukannya mengurus ibunya yang sakit, dan siangnya beliau menggembala kambing. Bahkan beliau pernah menggendong ibunya dari Yaman sampai baitillah Al Haram untuk melakukan ibadah haji. Ditempat yang lain Rasulullah Saw, mewasiatkan kepada Sahabat Abu Bakar untuk menyampaikan salam dan memberikan gamis dan mengamanatkan Sahabat Abu Bakar untuk memintakan doa dari Uwais. Bayangkan Rasulullah Saw sangat tawadhu’nya meminta doa dari Uwais, seoang makhluk paling utama, dan para penghulu dari para Nabi. Meminta doa yang hakikatnya untuk umat, karena beliau sendiri sudah lebih-lebih. Ini pelajaran untuk kita agar rendah hati.
Kunci berikutnya adalah taat kepada orang tuanya, sekalipun orang tua kita bodoh, beda agama sekalipun selama memberitahukan yang baik, ya ikuti. Jangan mentang-mentang beda agama kita bertindak sembarangan. Walaupun beda agama orang tua yang melahirkan kita tetap harus kita hormati. Lebih-lebih seagama. Termasuk mertua sekalipun.
Lihat seperti kisah Uwaisy Al Qarny, kenapa beliau di angkat menjadi wali. Karena taatnya beliau pada orang tua samapai beliau itu hidup pada jaman Nabi tapi beliau tidak pernah bertemu dengan Nabi Saw, karena kesibukannya mengurus ibunya yang sakit, dan siangnya beliau menggembala kambing. Bahkan beliau pernah menggendong ibunya dari Yaman sampai baitillah Al Haram untuk melakukan ibadah haji. Ditempat yang lain Rasulullah Saw, mewasiatkan kepada Sahabat Abu Bakar untuk menyampaikan salam dan memberikan gamis dan mengamanatkan Sahabat Abu Bakar untuk memintakan doa dari Uwais. Bayangkan Rasulullah Saw sangat tawadhu’nya meminta doa dari Uwais, seoang makhluk paling utama, dan para penghulu dari para Nabi. Meminta doa yang hakikatnya untuk umat, karena beliau sendiri sudah lebih-lebih. Ini pelajaran untuk kita agar rendah hati.
Pada masa Sahabat Abu Bakar belum bisa ditemukan,
dan amanat Rasulullah Saw itu baru bisa disampaikan pada masa Sahabat
Umar menjadi Khalifah, beliau sendiri dan Sayidina Ali yang menyampaikan salam
dan titipan Rasulullah Saw itu. Karena dalamnya ma’rifatnya Uwais Al Qarni
beliau mengenal siapa saja yang datang menghapirinya; katanya: Asalam Alaik
Umar bin Khatab amirul mukminin, asalam alaika Amirul Mukminin Arabi’ Ali
bin Abi Thalib. Itu Karena dalamnya ma’rifatnya beliau padahal belum pernah
saling bertemu. Karena taatnya pada orang tua Uwais kenal dengan Allah. Karena
taatnya pada orang tua Uwais diangkat menjadi wali, bahkan sayid at tabiin.
Karena taat dan hormatnya Uwais sampai mendapatkan gamisnya (pakaian) dari
Rasulullah Saw Padahal tidak pernah bertemu Beliau SAW
Yang kedua adalah taat Uwais kepada gurunya yang mengenalkan dirinya kepada Allah Ta'alaa. Guru yang menuntuk menjauhkan dari kesyirikan. Mana yang menjadi sifat Allah dan mana yang bukan, dan guru yang mengenalkan pada mana yang halal dan mana yang haram. Dan beliau khidmah pada gurunya sehingga menjadi wali. Kita membaca dan mengaji tentang wali dalam kitab ini bukan untuk menjadi wali tapi untuk meniru mereka, dalam tingkah laku. Mudah-mudahan kita mendapatkan keberkahan doa belia-beliau, dan juga keturunan-keturunan kita semua. Inysa Allah doa yang kita mohonkan pada Allah pada akhir majlis akan di Ijabah oleh Alla Swt. Wallah A’lam.
Yang kedua adalah taat Uwais kepada gurunya yang mengenalkan dirinya kepada Allah Ta'alaa. Guru yang menuntuk menjauhkan dari kesyirikan. Mana yang menjadi sifat Allah dan mana yang bukan, dan guru yang mengenalkan pada mana yang halal dan mana yang haram. Dan beliau khidmah pada gurunya sehingga menjadi wali. Kita membaca dan mengaji tentang wali dalam kitab ini bukan untuk menjadi wali tapi untuk meniru mereka, dalam tingkah laku. Mudah-mudahan kita mendapatkan keberkahan doa belia-beliau, dan juga keturunan-keturunan kita semua. Inysa Allah doa yang kita mohonkan pada Allah pada akhir majlis akan di Ijabah oleh Alla Swt. Wallah A’lam.
Habib Lutfi Bin Yahya
Posting Komentar