Betapa
bagusnya akhlak Rasulullah SAW dalam bergaul dan menyampaikan nasihat kepada
sahabat yang di bawah usianya. Yakni, dengan menepuk pundak sebagai tanda
bagusnya perangai.
Hadits di atas juga memerintahkan kepada kita untuk memotong angan-angan yang
panjang tentang dunia, dengan mengingatkan bahwa dunia ini bak persinggahan
sejenak. Atau laksana orang lewat atau menyeberang jalan.
Diingatkan juga tentang kehidupan dunia yang akan diakhiri dengan mati.
Mengingat mati, mendorong manusia memikirkan kehidupan akhirat.
Para sahabat adalah sosok manusia cerdas yang sadar hari sesudah hidup. Mereka
banyak bertanya tentang akhirat. Mereka bahkan banyak menangis, berfikir,
berbaha-gia, bersungguh-sungguh mengenai akhirat. Hal ini berbeda pada zaman
sekarang ini; yang banyak dibicarakan, dipikirkan, ditanyakan, ditertawakan,
disedihkan, dimakan, diributkan, dan diperlombakan hanya dunia belaka.
Jika yang ada di ubun-ubun seseorang hanya dunia, maka ia akan lupa kahirat. Ia
akan semakin rakus terhadap dunia. Sehingga tidaklah heran timbul kehidupan
yang saling menjegal, sikut-menyikut, menjatuhkan, kejar-kejaran, demi mendapat
kekayaan. Begitu dunianya terusik sedikit, pedanglah yang terhunus.
Nabi SAW memerintahkan zuhud terhadap dunia dan melarang panjang angan-angan
terhadapnya, karena orang yang panjang angan-angan sangat berbahaya. Yaitu,
berangan-angan dan berandai-andai; berfikir seandainya punya banyak harta maka
akan beli begini, begitu, dan sebagainya.
”Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, maka ia akan mengharapkan dua
lembah berikutnya. Dan tiada yang bisa menutup mulutnya kecuali debu/tanah, ”
(HR. Bukhari)
Seorang yang beriman tentu akan menyadari bahwa dunia hanya numpang singgah
sebentar dan kelak akan kembali kepada Allah SWT di akhirat. Sebagaimana
diriwayatkan: suatu ketika Abdullah bin Mas’ud pernah melihat Rasulullah SAW
tidur di atas anyaman daun kurma, lalu terlihatlah bekas guratan anyaman di
punggungnya.
Maka Abdullah bin Mas’ud berkata, ”Wahai Rasulullah, bagaimana seandainya aku
buatkan kasur untukmu?”
Maka beliau bersabda, ”Tidaklah aku dan dunia ini melainkan ibarat seorang
musafir yang istirahat sejenak di bawah pohon lalu kembali berjalan meninggalkannya,”
(HR. Tirmidzi)
Karena hidup di dunia itu nisbi dan pasti di akhiri mati, maka seorang muslim
seharusnya rindu akan kampung akhiratnya di surga.
Kita di dunia dari Allah dan kelak kembali lagi kepada-Nya. Dunia dan segala
fasilitasnya juga milik Allah SWT yang dititipkan sesaat. Kita tamu di bumi
Allah SWT.
Seorang tamu yang baik tentunya harus taat atas aturan tuan rumahnya. Tidak
mungkin tamu berbuat macam-macam di rumah orang. Tuan rumah sekaligus tuan bumi
ini adalah Allah. Bumi ini milik Allah dan Allah memberikan aturan di atasnya
berupa Al-qur’an dan Sunnah.
Kita diperintahkan Nabi SAW agar menjadi seperti seorang musafir. Orang yang
melakukan perjalanan alias musafir, tentu ingin selamat sampai tujuan dan tidak
mendapatkan kecelakaan. Demikian pula seorang Muslim, menginginkan kembali
kepada Allah dengan selamat memasuki surga dan terbebas dari siksa neraka.
Seorang musafir, tentu berhitung sebelum melangkah pergi. Ia persiapkan segala
bekal yang diperlukan. Ia baru yakin memulai perjalanan saat dipandang be-
kalnya memadai. Tidak mungkin ia berjalan bila hanya berbekal Rp 1.000
dan Rp 2.000.
Itu baru perjalanan dunia, apalagi perjalanan akhirat. Sehari di dunia setara
dengan 1.000 tahun di akhirat. Dalam bahasa Al-Qur’an disebutkan, kholidiina
fii- haa abadaa, kekal abadi selama-lamanya.
Seorang hamba seharusnya lebih mem- persiapkan bekal amal menuju Allah SWT.
Sebab, semua harta, anak, istri, kerabat, rumah, akan kita tinggal. Ini
kepastian. Siapa pun tak bisa menghindar. Rela atau terpaksa, ia kelak pasti
mati menuju alam abadi.
Sifat lain seorang musafir adalah bersungguh-sungguh dalam safar-nya (per-
jalanan). Ia ingin mencapai tempat tujuan nya dengan segera, dengan biaya dan
tenaga yang efektif dan seefisien mungkin. Ia tidak mungkin berlama-lama dalam
safar, sehingga ia akan lebih bersungguh-sungguh dalam ibadahnya. Jika sudah
demikian, maka tidak mungkin shalat dengan seenaknya, puasa seadanya, membaca
Al-Qur’an semaunya, dst.
Disaat mampir dipersinggahan akhirat, tentu seorang yang shalih memperguna-
kannya dengan baik. Sebagaiman musafir, tentu harus menyiapkan bekal. Ia tahu
de- ngan menyiapkan bekal itu mampu mengantarkannya ke daerah tujuan dengan
bahagia. Dunia ini adalah ladang amal yang kelak balasan pahalanya akan diketik
di akhirat. Barangsiapa yang menanam pohon kebaikan, maka ia akan memanen buah
yang baik. Demikian pula sebaliknya, jika yang ditanam berupa tumbuhan yang
buruk.
Sedang sebaik-baik bekal menuju Allah adalah taqwa. Sebaliknya, sejelek-jelek
beban adalah dosa. Dosa itu beban karena pela- kunya harus menanggung siksanya
kelak di neraka.
Sebagai muslim yang baik, tentu ia berusaha mengurangi dosa-dosa dan justru
ingin selalu memperbanyak pahala. Seorang musafir yang bijak tentu tidak mau
mem- bebani diri dengan membeli kasur, meja, kulkas, lemari, dan beban-beban
yang lain yang akan membuatnya payah. Yang diper- lukan adalah bekal, bukan
beban. Karena beban akan mengganggu dalam perjalanan.
Kandungan hadits ini juga mengingatkan kita agar tidak menunda-nunda amal
sampai sore atau besok pagi. Hal itu menandakan, betapa terbatasnya waktu. Di
sini kita diperintahkan agar pelit terhadapnya. Tidak menyia-nyiakannya dengan
hal-hal yang tidak bermanfaat. Mumpung masih punya kesempatan. Yakni,
mengoptimalkan amal di waktu sehat sebelum sakit, waktu memiliki rizqi sebelum
tibanya kemiskinan, waktu muda sebelum renta, waktu senggang sebelum sibuk,
waktu hidup sebelum mati.
Perguliran waktu ini akan ditanya oleh allah. Sebagaimana firman-Nya; ”Kemudian
pada hari ini sungguh kalian akan ditanyai tentang kenikmatan-kenikmatan (yang
kamu terima),”(QS. At-Takasur: 8)
Karena berharganya waktu, para ulama telah memberi teladan dalam mengop-
timalkannya. Mereka membagi waktu siang maupun malam dengan tiga hal. Waktu untuk
Allah SWT yaitu dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya. Waktu untuk keluar-
ganya dengan bekerja atau mempergauli istri dengan bagus. Dan yang terpenting,
mereka tidak memberikan jatah waktu untuk syetan laknatullah alaihi.
Ust. Wahono
Posting Komentar