Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Pikirkan Akhirat Tapi Jangan Lupakan Dunia

Pikirkan Akhirat Tapi Jangan Lupakan Dunia


Betapa bagusnya akhlak Rasulullah SAW dalam bergaul dan menyampaikan nasihat kepada sahabat yang di bawah usianya. Yakni, dengan menepuk pundak sebagai tanda bagusnya perangai.   

Hadits di atas juga memerintahkan kepada kita untuk memotong angan-angan yang panjang tentang dunia, dengan mengingatkan bahwa dunia ini bak persinggahan sejenak. Atau laksana orang lewat atau menyeberang jalan. 

Diingatkan juga tentang kehidupan dunia yang akan diakhiri dengan mati. Mengingat mati, mendorong manusia memikirkan kehidupan akhirat.

Para sahabat adalah sosok manusia cerdas yang sadar hari sesudah hidup. Mereka banyak bertanya tentang akhirat. Mereka bahkan banyak menangis, berfikir, berbaha-gia, bersungguh-sungguh mengenai akhirat. Hal ini berbeda pada zaman sekarang ini; yang banyak dibicarakan, dipikirkan, ditanyakan, ditertawakan, disedihkan, dimakan, diributkan, dan diperlombakan hanya dunia belaka. 

Jika yang ada di ubun-ubun seseorang hanya dunia, maka ia akan lupa kahirat. Ia akan semakin rakus terhadap dunia. Sehingga tidaklah heran timbul kehidupan yang saling menjegal, sikut-menyikut, menjatuhkan, kejar-kejaran, demi mendapat kekayaan. Begitu dunianya terusik sedikit, pedanglah yang terhunus.

Nabi SAW memerintahkan zuhud terhadap dunia dan melarang panjang angan-angan terhadapnya, karena orang yang panjang angan-angan sangat berbahaya. Yaitu, berangan-angan dan berandai-andai; berfikir seandainya punya banyak harta maka akan beli begini, begitu, dan sebagainya.

”Seandainya anak Adam memiliki satu lembah emas, maka ia akan mengharapkan dua lembah berikutnya. Dan tiada yang bisa menutup mulutnya kecuali debu/tanah, ” (HR. Bukhari)

Seorang yang beriman tentu akan menyadari bahwa dunia hanya numpang singgah sebentar dan kelak akan kembali kepada Allah SWT di akhirat. Sebagaimana diriwayatkan: suatu ketika Abdullah bin Mas’ud pernah melihat Rasulullah SAW tidur di atas anyaman daun kurma, lalu terlihatlah bekas guratan anyaman di punggungnya.

Maka Abdullah bin Mas’ud berkata, ”Wahai Rasulullah, bagaimana seandainya aku buatkan kasur untukmu?”

Maka beliau bersabda, ”Tidaklah aku dan dunia ini melainkan ibarat seorang musafir yang istirahat sejenak di bawah pohon lalu kembali berjalan meninggalkannya,” (HR. Tirmidzi)

Karena hidup di dunia itu nisbi dan pasti di akhiri mati, maka seorang muslim seharusnya rindu akan kampung akhiratnya di surga. 

Kita di dunia dari Allah dan kelak kembali lagi kepada-Nya. Dunia dan segala fasilitasnya juga milik Allah SWT yang dititipkan sesaat. Kita tamu di bumi Allah SWT.

Seorang tamu yang baik tentunya harus taat atas aturan tuan rumahnya. Tidak mungkin tamu berbuat macam-macam di rumah orang. Tuan rumah sekaligus tuan bumi ini adalah Allah. Bumi ini milik Allah dan Allah memberikan aturan di atasnya berupa Al-qur’an dan Sunnah. 

Kita diperintahkan Nabi SAW agar menjadi seperti seorang musafir. Orang yang melakukan perjalanan alias musafir, tentu ingin selamat sampai tujuan dan tidak mendapatkan kecelakaan. Demikian pula seorang Muslim, menginginkan kembali kepada Allah dengan selamat memasuki surga dan terbebas dari siksa neraka.

Seorang musafir, tentu berhitung sebelum melangkah pergi. Ia persiapkan segala bekal yang diperlukan. Ia baru yakin memulai perjalanan saat dipandang be- kalnya memadai. Tidak mungkin ia berjalan bila hanya  berbekal Rp 1.000 dan Rp 2.000.

Itu baru perjalanan dunia, apalagi perjalanan akhirat. Sehari di dunia setara dengan 1.000 tahun di akhirat. Dalam bahasa Al-Qur’an disebutkan, kholidiina fii- haa abadaa, kekal abadi selama-lamanya.

Seorang hamba seharusnya lebih mem- persiapkan bekal amal menuju Allah SWT. Sebab, semua harta, anak, istri, kerabat, rumah, akan kita tinggal. Ini kepastian. Siapa pun tak bisa menghindar. Rela atau terpaksa, ia kelak pasti mati menuju alam abadi.

Sifat lain seorang musafir adalah bersungguh-sungguh dalam safar-nya (per- jalanan). Ia ingin mencapai tempat tujuan nya dengan segera, dengan biaya dan tenaga yang efektif dan seefisien mungkin. Ia tidak mungkin berlama-lama dalam safar, sehingga ia akan lebih bersungguh-sungguh dalam ibadahnya. Jika sudah demikian, maka tidak mungkin shalat dengan seenaknya, puasa seadanya, membaca Al-Qur’an semaunya, dst.

Disaat mampir dipersinggahan akhirat, tentu seorang yang shalih memperguna- kannya dengan baik. Sebagaiman musafir, tentu harus menyiapkan bekal. Ia tahu de- ngan menyiapkan bekal itu mampu mengantarkannya ke daerah tujuan dengan bahagia. Dunia ini adalah ladang amal yang kelak balasan pahalanya akan diketik di akhirat. Barangsiapa yang menanam pohon kebaikan, maka ia akan memanen buah yang baik. Demikian pula sebaliknya, jika yang ditanam berupa tumbuhan yang buruk.

Sedang sebaik-baik bekal menuju Allah adalah taqwa. Sebaliknya, sejelek-jelek beban adalah dosa. Dosa itu beban karena pela- kunya harus menanggung siksanya kelak di neraka.

Sebagai muslim yang baik, tentu ia berusaha mengurangi dosa-dosa dan justru ingin selalu memperbanyak pahala. Seorang musafir yang bijak tentu tidak mau mem- bebani diri dengan membeli kasur, meja, kulkas, lemari, dan beban-beban yang lain yang akan membuatnya payah. Yang diper- lukan adalah bekal, bukan beban. Karena beban akan mengganggu dalam perjalanan. 

Kandungan hadits ini juga mengingatkan kita agar tidak menunda-nunda amal sampai sore atau besok pagi. Hal itu menandakan, betapa terbatasnya waktu. Di sini kita diperintahkan agar pelit terhadapnya. Tidak menyia-nyiakannya dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Mumpung masih punya kesempatan. Yakni, mengoptimalkan amal di waktu sehat sebelum sakit, waktu memiliki rizqi sebelum tibanya kemiskinan, waktu muda sebelum renta, waktu senggang sebelum sibuk, waktu hidup sebelum mati.

Perguliran waktu ini akan ditanya oleh allah. Sebagaimana firman-Nya; ”Kemudian pada hari ini sungguh kalian akan ditanyai tentang kenikmatan-kenikmatan (yang kamu terima),”(QS. At-Takasur: 8)

Karena berharganya waktu, para ulama telah memberi teladan dalam mengop- timalkannya. Mereka membagi waktu siang maupun malam dengan tiga hal. Waktu untuk Allah SWT yaitu dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya. Waktu untuk keluar- ganya dengan bekerja atau mempergauli istri dengan bagus. Dan yang terpenting, mereka tidak memberikan jatah waktu untuk syetan laknatullah alaihi.



Ust. Wahono
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger