Sejauh mana kita mengucapkan terimakasih kita kepada Baginda
Nabi SAW? Seandainya kita kaya, gunung segala gunung dijadikan emas, untuk
memberikan hadiah kepada Baginda Nabi SAW atau membayar budi, jangan dikira
cukup. Belum!
Sebab
تَمَامُ النِّعْمَةِ مَوْتٌ عَلَى الْإِيْمَانِ وَالْإِسْلَامِ
“Kenikmatan paripurna adalah mati membawa iman dan islam.”
Mana mungkin mendapatkan tamamunni’mah mautun ‘alal iman wal islam sedangkan
sama Baginda Nabi SAW tidak mencintai.
Satu hadits diterangkan:
أَوَّلُ مَا يَسْأَلُنِيْ فِيْ قَبْرِيْ عَنِّيْ
Pertama kali kelak di kubur yang ditanyakan sebelum ditanya “man
rabbuka”, yang ditanya kenal tidak kamu dengan Muhammad SAW Kalau kenal pasti
bisa menjawab man rabbuka waman nabiyyuka, dan seterusnya. Tapi yang tidak kenal mana
mungkin akan bisa menjawab.
Para auliya (wali Allah) tidak takut karena kehilangan
istrinya, dunianya atau anak-anaknya, dan lain sebagainya Tidak. Para beliau
itu cuma satu yang ditakuti. Apa?
Kalau keluar dari dunia fana ini mautun ‘ala
su-il khatimah (dalam keadaan mati suul khatimah). Itu yang ditakuti oleh semua
auliyaillah. Bukan karena husnul khatimah lalu dapat surga, tidak. Ingin mautun
‘ala husnil khatimah karena surga, tidak. Mautun ‘ala husnil khatimah karena
kecintaannya kepada Allah SWT, (dan) tidak sampai jauh dirinya dengan Allah SWT
Sebab kalau sampai suul khatimah akan jauh dengan Allah SWT dan RasulNya.
Para beliau mujahadahnya tiap malam luar biasa. Bukan
mujahadah baca hizib, baca ini dan itu supaya ditembak tidak mempan, dibacok
tidak mempan. Atau baca wiridan supaya mahabbah atau dapat rejeki yang banyak.
Itu nomor tiga, empat, atau lima. Tapi yang diperhatikan oleh para auliya
semuanya takut kalau dirinya keluar dari dunia ini tidak sempat membawa nikmat
iman dan Islam. Karena itu dicap nantinya sebagai orang yang tidak mengerti
syukur, berterimakasih kepada Baginda Nabi SAW
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ النَّاسَ لَمْ يَشْكُرِ اللهَ
“Siapa tidak berterimakasih kepada manusia, sama halnya dia
tidak berterimakasih kepada Allah SWT”
Disinilah maqamatil khauf warraja’ (kedudukan takut dan
harap) bertalian terus. Disinilah peran al-iradah, mengharap atau menghendaki,
“Ya Allah ya Rabb, janganlah Engkau tinggalkan sekejap mata pun dari
pandanganMu. Jangan Engkau tinggalkan pandanganku dari pandanganMu ya Allah.
Dalam perilakuku, langkah kakiku, jangan sampai aku ini tertinggal dari taufiq
dan hidayahMu.” Inilah orang yang (memiliki) khauf, iradah dan raja’ kepada
Allah SWT Selalu mendampingi, mengawal kehidupannya.
Kalau sudah maqamaturraja’ tumbuh maqamatusshiddiq, benar.
Benar (shiddiq) fil qulub, wasshiddiq fillisan, wasshiddiq finnadzar, wasshiddiq
fissama’.
Kalau orang sudah mempunyai sifat shiddiq bukan benar niatnya saja,
mata dan lisannya pun akan ikut shiddiq. Akan benar, dia takut mengeluarkan
se-ayat dua ayat, dia takut mengeluarkan fatwa per-fatwa. Sebab sebelum mereka
yang mendengarkan dituntut di hadapan Allah, orang itu dahulu yang menyampaikan
fatwa. Iya kalau benar, kalau tidak? Mas-ul fi yaumil qiyamah (akan
dipertanggungjawabkan di hari kiamat). Jangan dikira mudah. Itulah para ulama
shalihin, luar biasa.
Kalau sudah shiddiq matanya, matanya ini diajak benar, mau
benar. Kalau diajak salah, tidak mau (mengikuti) salah. Karena apa? Sudah
kebiasaan benar. Telinga pun,
مِنْ نُوْرِ الْإِيْمَانِ يَتَلَأْلَأْ
“Bercahaya disinari iman.” Untuk mendengarkan yang jelek,
mendengarkan yang tidak baik, telinga ini tidak akan mau. Karena apa?
Shiddiqnya sudah sampai ke telinga dan matanya, apalagi tutur katanya.
Maulana Habib Luthfi bin Yahya, Pengajian Jum’at Kliwon 2016
Posting Komentar