Iman adalah anugerah Allah yang paling mahal bagi seorang mukmin. Tidak
semua manusia dapat kesempatan memperolehnya. Sebab itu, iman harus dipelihara
dan dijaga sebaik mungkin. Bila ia rusak, apalagi hilang tercerabut dari dalam
diri seseorang, maka nilai kehidupannya akan menjadi nol di mata Allah. Kendati
di dunia bisa saja ia merasakan berbagai kenikmatan dan kesenangan hidup serta
meraih kedudukan yang tinggi, namun di akhirat ia akan mendapat murka dan
siksa. Allah menjelaskan:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ
وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا أُولَئِكَ هُمْ شَرُّ
الْبَرِيَّةِ
Sesungguhnya orang-orang kafir (tidak beriman dan mentauhidkan Allah), dari
kalangan Ahlul KItab (Yahudi dan Nasrani) dan kalangan kaum musyrikin, mereka
adalah di neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya, sedangkan mereka adalah
makhluk yang terburuk (QS. Al-Bayyinah/ 98 : 6)
Di zaman sekarang, banyak orang yang tidak menyadari harga atau nilai
keimanan. Disadari atau tidak, orang mudah merusak dan bahkan membuang imannya
dari dalam diri hanya karena berharap sedikit kenikmatan dunia. Akhirnya ia
menggadaikan iman dengan kufur, petunjuk dengan hidayah dan meperdagangkan akhirat
dengan dunia. Pola hidup manusia seperti itu disebut Allah sebagai orang yang
menukar yang mahal dengan yang murah atau yang banyak dengan yang sedikit dan
ampunan (syurga) dengan azab (neraka). Allah menjelaskannya :
أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ بِالْهُدَى
وَالْعَذَابَ بِالْمَغْفِرَةِ فَمَا أَصْبَرَهُمْ عَلَى النَّارِ (175)
Mereka itu adalah orang-orang yang membeli kesesatan dengan hidayah dan azab
dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka! (QS.
Al-baqarah : 175).
Nikmat iman yang telah Allah anugerahkan kepada kita harus kita syukuri.
Caranya ialah dengan menjaganya baik-baik dalam diri kita. Kendati kondisi iman
itu bisa naik dan bisa turun, namun kita harus berupaya maksimal agar iman itu
tetap kokoh dan kuat dalam lubuk hati kita.
Agar iman itu tetap kokoh dalam diri, kita harus memahami betapa besarnya
nilai iman itu. Orang-orang yang sudah menyadari nilai iman, pasti ia akan
menjaganya dengan baik dan maksimal, sampai ia merasakan lezat dan manisnya.
Kalau sudah dirasakan lezat dan manisnya iman, maka saat itulah seorang Mukmin
sampai ke puncak keimanannya. Setelah itu, ia akan merasakan betapa besarnya
peran iman dalm kehidupan, baik saat mendapat kebaikan dan kemudahan hidup
maupun saat menghadapi berbagai kesulitan hidup.
Orang yang sudah sampai ke puncak keimanan, warna kehidupan yang beragam ini
ia rasakan sama saja. Karena jiwanya stabil, baik dalam mendapatkan berbagai
nikmat maupun saat menghadai berbagai cobaan dan kesulitan. Saat ia mendapat
kebaikan, ia dengan mudah bisa bersyukur. Begitu pula saat menghadapi berbagai
persoalan dan kesulitan hidup ia mampu melewati dan menjalaninya dengan penuh
kesabaran.
Orang yang sudah mencapai puncak keimanan kepada Allah tidak akan pernah
merasakan beratnya perintah Allah, sebesar dan seberat apapun perintah itu.
Orang yang sampai ke puncak keimanan tidak akan pernah ragu sedikitpun
meninggalkan larangan Allah, sekecil apapun larangan itu. Orang yang sampai ke
puncak keimanan kepada Allah tidak akan pernah ragu sedikitpun pada janji
Allah, baik janji di dunia maupun janji akhirat-Nya.
Orang yang sampai ke
puncak keimanan kepada Allah tidak akan pernah menggeser orientasi hidupnya
kepada selain Alllah walau hanya seinci. Shalat, ibadah, hidup dan matinya ia
persembahkan hanya kepada Allah, bukan kepada yang lain, kendati ia diberi
kesempatan memperoleh dunia dan seisinya. Seluruh perkatan, perbuatan dan
aktivitas hidupnya hanya dengan niat untuk Allah, berdasarkan petunjuk Allah
dan Rasul-Nya; sedikitpun tidak ada rasa berat dan kesal di dalam dirinya dan
ia pasrah dan menyerah total terhadap semua keputusan dan pilihan Allah dan
Rasulnya.
Itulah sikap hidup orang yang sudah sampai kepada puncak keimanannya kepada
Allah seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an :
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا
شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Rabb (Tuhan pencipta)-mu, mereka belum beriman sampai mereka
menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim yang memutuskan semua perkara yang
muncul di antara mereka. Kemudian mereka tidak memdapatkan keberatan sedikitpun
dalam diri mereka atas keputusan tersebut dan mereka menyerahkannya secara
total. (QS. Annisa’ : 65)
Ustadz Fathuddin
Ja'far, MA
Posting Komentar