Derasnya arus globalisasi yang melanda dunia saat
ini membawa dua dampak yaitu dampak positif dan negatif pada perkembangan
moral dan peradaban manusia khususnya anak sebagai generasi penerus
bangsa. Melesatnya teknologi informasi telah membawa manusia ke arah
terbukanya cakrawala wawasan tanpa batas. Belum lagi masuknya kebudayaan asing yang
tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam dan tanpa ada proses filterisasi ke dalam
kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini jika tidak segera diantisipasi akan
berakibat pada distorsi nilai dan norma Islam yang luhur. Oleh sebab itu,
pembekalan agama mutlak dilakukan sedini mungkin agar generasi muda Islam
memiliki resistensi terhadap dampak negatif yaang ditimbulkan oleh kemajuan
zaman ini.
Penanaman ajaran agama seyogyanya dimulai dari
pengenalan dan pemahaman terhadap Al-Qur’an, sebab Al-Qur’an merupakan wahyu
Allah yang diturunkan untuk menjadi pedoman hidup manusia untuk menghadapi
tantangan zaman sepanjang masa. Al-Qur’an merupakan kitab petunjuk yang
memiliki ruh pembangkit yang berfungsi sebagai penguat dan tempat berpijak bagi
seluruh muslim dalam melangkah. Ia berisi aturan dan konsep global. Ia juga
merupakan tempat kembali satu-satunya bagi seluruh umat Islam untuk mengambil
rujukan dalam melakukan aktivitas sehari-hari dan dalam menyusun konsep gerakan
selanjutnya (Yakub, 2006 : 92).
Al-Qur’an dapat dipahami dengan baik dan
pesan-pesannya dapat tertangkap dengan maksimal apabila kita mampu membacanya
dengan baik. Oleh sebab itu hal yang pertama kali diserukan oleh Allah kepada
manusia sebelum melakukan penelitian dan pengamatan secara mendalam terhadap
ayat-ayat Allah baik yang Qur’aniyyah amaupun yang kauniyyah adalah
perintah membaca.
Dalam surat Al-Alaq Allah berfirman: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan,(1) Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah(2). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah(3), Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam(4). Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya(5) (QS.96 : 1-5).
Ayat ini dengan tegas memerintahkan kepada
manusia untuk membaca agar dapat menemukan keagungan Allah SWT sehingga
dengan demikian Allah SWT akan memberikan kemurahan-Nya. Prof. Dr. M.
Quraish Shihab ketika menjelaskan ayat ketiga dari surat Al-‘Alaq diatas
berkata: “Kemurahan Allah SWT dapat menghantarkan manusia yang mempelajari
alam raya ini untuk menemukan rahasia-rahasia alam yang baru serta berbeda
dengan ilmuwan terdahulu (Shihab,2004 : 122).”
Pada wahyu pertama tersebut, perintah membaca (iqro’) diulang dua kali, hal ini menunjukkan adanya penekanan terhadap
perintah membaca tersebut serta menunjukkan bahwa membaca hanya akan berhasil
apabila dilakukan terus menerus dan berulang-ulang (Zuhailiy, 2002 : 3, 2902).
Membaca Al-Qur’an memiliki tiga tingkatan.
Pertama, tingkatan paling rendah, yaitu mampu membaca Al-Qur’an seolah-olah
kita membacanya dihadapan Allah. Kedua, bersaksi di dalam hati seolah-olah
Allah berbicara dengan kita dengan penuh kelembutan, pemberian dan kasih
sayang. Ketiga, mampu melihat Yang Berbicara di dalam firman dan melihat
sifat-sifat Tuhan di dalam kalimat-kalimat Al-Qur’an (Pasha , 2006 : 29).
Membaca Al-Qur’an dapat menumbuhkan sikap cinta
terhadapnya yang kemudian akan berujung pada keinginan untuk memahaminya.
Tradisi para sahabat dalam memahami Al-Qur’an dimulai dengan membacanya lalu
menghafalkan seayat demi seayat. Setelah Al-Qu’an terpatri erat dalam sanubari
mereka, lalu mereka mulai merenungkan makna-maknanya satu persatu.
Hal yang baik dan keberhasilan yang telah dicapai
oleh generasi terdahulu sudah selayaknya ditiru dan dikembangkan oleh generasi
sekarang. Penanaman kecintaan terhadap Al-Qur’an harus dimulai sedini mungkin.
Pengajaran membaca dan menghafal Al-Qur’an sebagai langkah awal untuk
menumbuhkan kecintaan terhadapnya, harus mulai digalakkan dikalangan anak-anak
muslim.
Akan tetapi kendala yang dihadapi oleh orang tua
adalah sulitnya menemukan metode yang tepat yang dapat digunakan sehingga anak
memiliki minat dan keinginan untuk belajar membaca, lebih-lebih menghafalkan
Al-Qur’an. Metode yang beredar luas terkadang membosankan dan tidak memiliki
daya dorong terhadap keinginan anak untuk belajar membaca Al-Qur’an, sehingga
setelah bertahun-tahun belajar, perkembangan yang didapat oleh anak sangat
sedikit.
Kondisi ini diperparah dengan minimnya kualitas
guru yang mengajarkan Al-Qur’an. Perekrutan guru Al-Qur’an yang serampangan
menimbulkan dampak buruk bagi anak yang belajar padanya. Sebuah ironi apabila
sebuah lembaga menginginkan anaknya mampu membaca dengan fasih atau bahkan
menghafal Al-Qur’an namun gurunya sendiri bukan ahli Al-Qur’an.
Perkembangan teknologi juga membawa dampak
negatif cukup besar bagi minat anak untuk belajar Al-Qur’an. Anak lebih suka
menghabiskan waktu berjam-jam di depan komputer untuk main game atau sekedar berselancar
di dunia maya dibanding dengan mengeja huruf demi huruf Al-Qur’an. Mereka lebih
senang mendengarkan musik daripada mendengarkan murotal. Ditambah lagi sikap
acuh orang tua terhadap perkembangan anaknya sehingga para orang tua tidak
peduli lagi tentang pendidikan agama anaknya. Akibatnya anak menjadi semakin
jauh dari Al-Qur’an dan enggan untuk mempelajarinya.
KH. Rifai Ahmad
Posting Komentar