Kami pengikut Ahlussunnah tidak mengi’tiqadkan bahwa dzat
seorang makhluk mempunyai pengaruh (ta’tsir), mampu mewujudkan sesuatu,
menghilangkan, memberi manfaat dan memberi bahaya baik dzat Rasulallah, nabi-nabi,
orang-orang shaleh dan lain-lain. Tetapi, kami meyakini bahwa hanya Allah yang
dapat memberi manfaat dan bahaya serta yang lainnya.
Bertawassul dengan Rasulallah (baik dengan kedudukannya atau yang lain) atau
orang-orang shalih bukan berarti menyembah kepada Rasulullah atau orang shalih
tersebut seperti yang banyak di tuduhkan, sehingga memunculkan salah persepsi
dari orang-orang yang anti terhadap ajaran tawassul dengan secara mutlak
(dengan beraneka ragam bentuknya tawassul), bahwa orang yang bertawassul telah
menjadi musyrik karena mendudukkan selain Allah di sepadankan dengan Allah
dalam berdo'a. Akan tetapi tawassul adalah bentuk do'a yang di panjatkan kepada
Allah dengan memakai perantara Nabi atau orang shalih, dengan harapan do'anya
lebih di kabulkan oleh Allah. Hadits-hadits tentang itu semua sudah banyak di
sampaikan oleh ulama, meski menurut sebagian kalangan yang sedikit mengerti
mengenai derajat hadits, hadits-hadits dasar yang berkenaan dengan tawassul
dengan Nabi atau orang shalih di anggap lemah semua.
Sayyid Mushthafa al-Bakri, seorang ulama madzhab Hanafi dan wali besar dalam
tarekat Khalwatiyyah, menganalogikan tawassul dengan orang-orang shalih dan
mulia di depan Allah dengan memohon bantuan orang yang mendapat kedudukan
tinggi atau dekat dengan seorang raja, kemudian karena ingin tercapai maksudnya
kepada raja, orang yang dekat dengan raja tersebut di jadikan sebagai perantara
untuk di sampaikan kepada raja agar maksudnya sukses.
Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki dalam Mafahim Yajibu An Tushahhash menjelaskan
bahwasannya mencari perantara (wasilah) bukan sebagai bentuk syirik, karena
jika mencari perantara kepada Allah adalah syirik, maka semua manusia adalah
termasuk musyrik karena dalam semua urusan, mereka selalu memakai perantara.
Lihat saja Rasulallah yang menerima wahyu al-Qur'an lewat perantara Malaikat
Jibril, Rasulallah juga adalah perantara bagi para shahabat karena mereka
kadang datang kepada beliau untuk mengadukan urusan-urusan mereka yang dianggap
berat atau memohon doa dari beliau. Apakah pernah Rasulallah berkata pada
mereka bahwa hal tersebut, yaitu memohon doa atau bantuan, adalah musyrik? Hal
ini yang tidak banyak di ketehui oleh orang-orang yang anti terhadap tawassul.
As-Subki mengatakan: “Tawassul dengan Nabi ada tiga macam, yaitu: tawassul
dengan Nabi dalam arti orang yang berharap hajatnya terkabulkan meminta kepada
Allah lewat dengan (wasilah) diri Nabi Muhammad atau kedudukannya atau
barakahnya. Dan masing-masing ada dasar haditsnya yang shahih.
Tawassul merupakan salah satu amalan yang sunnah dan tidak pernah diharamkan
oleh Rasulullah SAW, tidak pula oleh ijma para sahabat radhiallahu ‘anhum,
tidak pula oleh para tabi’in dan bahkan oleh para Ulama serta Imam-Imam besar
Muhadditsin. Bahkan Allah memerintahkannya, Rasul SAW mengajarkannya, Sahabat
radhiallahu ‘anhum mengamalkannya. Tak ada pula yang membedakan antara tawassul pada yang hidup dan mati. Karena
tawassul adalah berperantara pada kemuliaan seseorang, atau benda (seperti air
liur yang tergolong benda) di hadapan Allah swt, bukanlah kemuliaan orang atau
benda itu sendiri.
Hadits yang dijadikan pijakan tentang tawassul dengan kedudukan Rasulullah di
antaranya adalah hadits dengan sanad bagus riwayat ath-Thabarani dalam
al-Mu’jam al-Kabir, bahwa Rasulullah menyebutkan dalam doanya:
بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَاْلأَنْبِيَاءِ الَّذِيْنَ
مِنْ قَبْلِي
"Dengan haq Nabimu dan para Nabi-Nabi sebelumku"
Mbah Jenggot PISS KTB
Posting Komentar