Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » , » Urgensi Membumikan Dakwah Santun Wali Songo

Urgensi Membumikan Dakwah Santun Wali Songo

Indonesia bukan showroom untuk jualan ”buah.” Tapi ”lahan” subur untuk ”bercocok tanam” agar bisa menghasilkan ”buah” yang berkualitas baik. Juga ”bercocok tanam” aliran kepercayaan. Masing-masing agama, baik yang jelas maupun samar-samar, punya misi yang sama yaitu menyebarkan agamanya pada masyarakat Indonesia. Di Kristen ada kristenisasi, Islam punya istilah sendiri yaitu dakwah. 

Bagi yang memahi bahwa dakwah Islam harus tegas, bacalah sirah nabawiyah. Bagi yang mengimani Islam yang keras, bacalah sirah nabawiyah. Dakwah Islam bertujuan untuk menyelamatkan manusia dari kesesatan, khurafat, bid’ah, dan tahayul. Semua itu harus diberantas sampai ke akar-akarnya, dengan cara apa dan bagaimana pun, katanya. Jika du’at (pejuang dakwah Islam) berpikiran sesempit itu, tak ada kesimpulan kecuali dakwah Islam ialah pemaksaan. Dalam berdakwah seakan mengesankan boleh melakkukan ”pembunuhan” di jalan Tuhan secara gebyah uyah.

Kita mulai dari sirah nabawiyah, terutama pada bagian Sulhu Hudaibiah. Peristiwa yang bermula akhir tahun ke enam Hijriyah. Pada saat itu, nabi beserta 14 ribu kaum muslimin pergi umrah. Tapi langkah 28 ribu kaki itu terhenti: mereka dilarang masuk ke tanah suci Makkah oleh suku Quraisy, si pemegang status quo Ka’bah.

Nabi sosok yang, dalam Alquran dikatakan sebagai, uswah hasanah tidak mau mengambil keputusan brutal, yaitu peperangan. Ia mengutus Utsman Ibn Affan untuk mengklarifkasi muasal penjegalan dirinya beserta rombongan. Setelah lama menanti, bukan Umar yang datang, tapi kabar kematiannya. Nabi risau dan umatnya marah. Dalam pada itu, tersebar kabar, nabi akan membaiat kaum muslimin untuk berperang (ala al maut). Jabir Ibn Abdullah meluruskan bahwa nabi tidak membaiat kita untuk berperang, tapi mengambil ”sumpah” kita agar tidak mundur. Sampai datang berita susulan bahwa kabar kematian Umar tidak benar.

Dan datang Suhail Ibn Amr, juru bicara suku Quraisy, untuk mencari jalan keluar terbaik, agar bisa terjalin hubungan baik. Dari pertemuan keduanya lahirlah ”piagam” Sulhu Hudaibiah. Dalam membuat naskah Sulhu Hudaibiah terlihat nabi tak pernah memaksakan naskah versi dia. Meskipun dia yang mendiktekan naskahnya tapi ketika Suhail “mengintrupsi,” Beliau SAW mengalah dan memerintahkan Ali untuk menulis naskah versi Suhail.

Nabi memerintah Ali untuk menuliskan ”Bismillah ar rahman ar rahim,” Suhail intrupsi karena ia tidak tahu kalimat tersebut. Akhirnya, dituliskah, bismika allahumma. Usulan dari suhail. Begitu juga kalimat ”Hadza ma sholaha ‘alaihi Muhammad rasulullah Suhaila ibni Amrin,” nabi juga mengalah dan mengganti”Muhammad rasulullah” dengan ”Muhammad Ibn ‘Abdillah.”

Bahkan dalam isi islah Hudaibiah, nabi juga mengalah untuk mengembalikan suku Quraisy yang datang padanya tanpa mendapatkan izin dari orang tua, tetapi ia tidak berhak menuntut suku Quraisy agar mengembalikan pengikutnya yang masuk ke dalam suku mereka.

Nabi mengalah bukan berarti kalah. Tapi mengalah untuk kemenangan umat Islam. Dakwah tanpa darah. ”Li nasyri da’watihim bi aman,” kata Al Zantani. Bagi dosen Sirah An Nabawiyyah Kulliyah Ad Dakwah Al Islamiyyah Al ‘Alamiyyah Libya itu, seorang mukmin yang kuat imannya tidak akan melepaskan aqidahnya meskipun ia hidup di tengah-tenggah suku Quraisy. Dengan sikap lembut nabi, pasca-Suhlu Hudaibiah, jumlah pemeluk Islam membludak berlipat ganda dari dakwah nabi sebelumnya, 15 tahun. Dakwah santun lebih mudah diterima, tentunya.

Sekarang kita beralih ke dakwah di tanah air. Bila menengok siklus dakwah di Indonesia, ada dua ”lakon” dewan da’i yang satu sama lain bertolak belakang baik dalam metode maupun ghoyah-nya.

Pertama, sejarah menampilkan dakwah Tuanku nan Reneh yang kaku terhadap adat istiadat lokal. Sikapnya yang kaku mendapatkan dukungn dari tiga orang dai yang baru pulang dari tanah suci yaitu Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piobang dari Lima Puluh Kota. Untuk memuluskan misi dakwahnya, mereka membentuk Forum Delapan Pemuka Masyarakat. Forum yang diketuai Tuanku nan Reneh itu beranggotakan Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu Ambelan, dan Tuanku Kubu Sanang. Mereka disebut ”Harimau nan Salapan” atau Delapan Harimau. Sejak itu, ceramah agama berisikan seruan untuk menjauhi maksiat. Bagi FDPM, Islam tidak bisa bercampur aduk dengan budaya lokal, Islam harus dipurifikasidari adat-istiadat. Cara delapan harimau memberantas kemaksiatan tidak ”bersahabat,” lain dengan dewan wali songo. Alih-alih mendapat sambutan masyarakat, malah menuai tantangan keras dari kaum adat. Akhirnya, meletuslah Perang Padri.

Kedua, sejarah mengabadikan dakwah dewan wali nan sembilan di tanah Jawa. Bila dakwah FDPM tidak berkompromi dengan budaya lokal (dan berupaya menghapusnya dengan cara brutal), sebaliknya dakwah dewan wali sembilan di tanah Jawa justru mengakulturasi budaya-agama, menghapus budaya lama dengan cara yang ramah, perlahan tapi pasti. Jalan yang ditempuh wali songo sesuai dengan tuntunan Alquran.

Dalam istilah saya metode dakwah Forum Delapan Pemuka Masyarakat itu adalah ”menjual buah.” Mereka menjual ”buah” Islam yang ditanam di Arab. Istilah kerennya ialah Arabisasi. Delapan tokoh masyarakat mencoba meng”arab”kan tanah Minangkabau. Padahal tidak selamanya ”Islam Arab” cocok untuk ”Islam non-Arab.” Dan metode dakwah wali songo saya beri istilah "bercocok tanam". Karena kesembilan orang dai itu tidak langsung menawarkan Islam yang “sempurna” dari tanah aslinya, Arab, tapi “menginfiltrasi” Islam melalui budaya setempat; Hindu. Islam yang diajarkan nabi, tentu. Menanamkan ”substansi” Islam terlebih dahulu, baru mengajarkan furu’iyyah-nya.

Dewan sembilan wali di tanah Jawa itu, di mata saya, adalah du’at yang melestarikan metode dakwah nabi yang mendapatkan bimbingan langsung dari Langit, ud’uu ila sabili rabbika bi al hikmah wa al mau’idlah al- hasanah wa jadilhum bi allati hiya ahsan. Ajakan dan tutur mereka halus (mau’idhah al hasanan) dan syiar panjang mereka berlangsung tanpa pedang (wajadilhum bi allati hiya ahsan). Semunya bisa berjalan mulus karena kepiawaian mengakulturasi agama-adat-istiadat. Menanam bibit, bukan menjual buah. Setelah itu, baru mengajarkan furu’iyyah Islam, juga seperti yang dilakukan nabi pada penduduk Yaman.

Perilaku wali songo tidak kaku. Mata mereka jeli melihat dan akal bekerja selaras. Dengan perpaduan itu wali songo berkesimpulan; penduduk tanah Jawa adalah ”lahan” bercocok tanam, bukan showroom jualan ”buah.”

Diantara anggota dewan wali nan sembilan yang terkenal pandai ”bercocok tanam” adalah Sunan Giri dan Sunan Kali Jaga. Bagi wali yang digambarkan tidak pernah berpakaian ala Arab itu, masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka, mereka harus didekati secara bertahap, mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama akan hilang. Pengejawantahan yang bijak dari firman Tuhan di atas.

Dalam mitologi sekaten misalnya, nama Sunan Kali Jaga terpatri sebagai ”pencetusnya.” Saat itu, tahun 1939 Caka/ 1477 Masehi, Raden Patah, Adipati Kabupaten Demak Bintara baru selesai membangun Masjid Demak. Untuk menarik minat masyarakat yang masih beragama Hindu digelarlah ”ritual sekaten” selama tujuh hari menjelang hari kelahiran nabi.

Dalam menciptakan sekaten Sunan Kali Jaga (sebagai wali yang memiliki kemampuan ganda yaitu seorang agamawan dan seniman) terinspirasi oleh ritual Hindhu, Pasadran Agung. Nama Pasadran Agung diganti jadi ”sekaten,” derivasi dari ”syahadatain,” dua kalimat syahadat. Dalam sekaten, tidak ada lagi praktik ritual Hindu. Melainkan ”pentas seni” karya para wali, membunyikan gamelan karya Sunan Giri dan gending-gending buah pena para wali, khususnya Sunan Kali Jaga. Dan masih banyak lagi budaya lokal yang diakulturasikan dengan ajaran Islam, misalnya wayang dengan ”kalima sada-nya” (juga berasal dari ”kalimat syahadat”). Yang sering dilupakan bahwa perayaan sekaten yang sampai sekarang masih dilestarikan di Yogyakarta tidak hanya mengandung nilai religius-budaya Jawa, tapi juga meningkatkan ekonomi kerakyatan. Apalagi Yogyakarta adalah salah satu kota tujuan wisata turis manca negara. Selain itu, tradisi Sekaten dapat jadi media revitalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai domestik.

Hal yang sama juga dilakukan Sunan Kudus yang mentradisikan Dandangan sebelum Ramadhan datang di Kota Kudus. Dengan adanya dandangan, maka selain masyarakat secara luas bisa tahu kapan Ramadhan akan datang, masyarakat juga dapat mengembangkan perekonomian dengan cara berdagang dalam Festival Dandangan tersebut.

Sedangkan dakwah dengan ”menjual buah” bukan membangun ekonomi, tetapi malah sebaliknya yaitu melumpuhkan ekonomi. Selain mencoreng muka Islam sendiri. Berapa kerugian saat perang Padri berkecemut? Berapa nilai lembar rupiah yang ikut terbakar ketika bom Bali I dan II, JW Marriot I dan II mengamuk?

Lalu, dakwah manakah yang relevan dalam konteks Alqur'an dan dapat dilakukan di Indonesia khususnya?

Jawabannya adalah dakwah yang bermanfaat pada semua hal. Permisalan di atas sudah jelas, sekaten (yang sesuai dengan yang dilakukan oleh Sunan Kali Jaga) maupun Dandangan, tak hanya bermanfaat dalam religius tapi meningkatkan ekomoni bangsa yang sedang poyang-paying. Membumikan dakwah santun wali songo di bumi manusia ini, sangat urgen, agar Islam tak jadi ”batu bata" yang terlihat keras tapi rapuh.


Ust. Ahmad Muntaha Afandie
Adv 1
Share this article :

+ comments + 1 comments

11 Juni 2013 pukul 16.12

Assalamualaikum ustadz,
Bagus sekali pencerahannya, kalau begitu tradisi yang berbau hindu seperti ngiriman tahlil pada peringatan 7, 40, 100 hari sampai 1000 hari itu kan hanya "sarana" dakwah para wali 9, dan tentu saja para wali 9 itu tidak bermaksud mengubah syariat Islam, yang sebenarnya tak ada acara khusus untuk arwah seperti itu. Ibarat seorang bayi yg belum bisa jalan harus menggunakan sarana alat 'baby walker' tapi kalo sdh dewasa alat ini tentunya boleh ditinggalkan bahkan harus ditinggalkan karena si bayi sdh pandai berjalan. Sedangkan sekarang ini sudah banyak orang tahu Islam, tetapi justru sarana dakwah wali 9 itu seolah dilestarikan, justru yg meninggalkan tradisi itu malah tidak dihargai. Dalam keadaan ini para ustadz/kyai tidak memberi penjelasan yang arif untuk menghargai orang yg memurnikan ibadah Islam, justru mereka kadang ikut 'ngompori'/memanasi masyarakat awam yg berakibat mereka semakin membenci muslimin yg meninggalkan tradisi untuk memurnikan ibadahnya.

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger