Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Sejarah Kodifikasi (Pembukuan) Hadist

Sejarah Kodifikasi (Pembukuan) Hadist


Hadis mempunyai posisi yang sangat penting (urgen) dalam Islam. Urgensitas posisi Hadis setingkat di bawah al-Qur’an, sebab Hadis merupakan sumber primer kedua bagi syariat Islam setelah al-Qur’an. Ini berarti segala apa yang ada dalam Hadis, sekalipun tidak terdapat dalam al-Qur’an, tetap diterima sebagai syariat. Selain itu, Hadis juga mempunyai fungsi sebagai bayân (penjelas) bagi teks-teks al-Qur’an yang pengertiannya masih global.

Maka, bisa dibayangkan seandainya otentisitas Hadis masih disangsikan, dengan berbagai argumen yang dilontarkan para pengkritik Hadis, terutama dari kalangan orientalis, dan kawan-kawannya. Lebih dari separuh hukum syariat akan lenyap dan Islam akan kehilangan jati dirinya. Maka kiranya penting bagi kita untuk menngetahui gambaran singkat perjuangan para muhadditsîn dalam melestarikan Hadis Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam.

1. Proses Kodifikasi Hadis

Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan untuk membukukan hadist semasa hidupnya hingga beliau wafat. Sehingga, pembukuan hadist-hadist Rasul SAW oleh para sahabat dan salafusshalih dikategorikan dalam bid'ah hasanah yang wajib dilakukan (bid'ah wajib), karena jika tidak dibukukan maka dikhawatirkan akan hilang ditelan jaman.

Setelah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam wafat, para Sahabat dihadapkan pada problem kodifikasi al-Qur’an dalam satu mushaf. Dalam proses kodifikasi ini, para Sahabat tidak menemukan banyak kendala, karena yang dilakukan oleh mereka hanya pemaduan antara hafalan dengan naskah-naskah al-Qur’an yang sudah ada, kemudian disatukan dalam satu mushaf.

Berbeda dengan proses kodifikasi al-Qur’an, kodifikasi Hadis yang dilakukan generasi tabiin lebih sulit dan banyak menghadapi kendala. Ini karena Hadis lebih banyak terpelihara dalam ingatan daripada dalam bentuk naskah. Naskah Hadis sangat minim dan hanya dimiliki oleh segelintir Sahabat yang sempat mendapat legitimasi langsung dari Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam untuk mencatat Hadis, juga karena Hadis lebih banyak diriwayatkan secara âhâd (individual) yang kemudian para rawinya tersebar luas ke berbagai daerah seiring meluasnya wilayah kekuasaan Islam. Ditambah lagi dengan rentang waktu yang cukup lama antara Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan para penghimpun Hadis. Hal ini semakin menambah rumit tugas ini.

Kodifikasi Hadis pertama kali dilakukan pada penghujung abad pertama dan permulaan abad kedua Hijriah, atas inisiatif dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w 101 H). Inisiatif ini didasari kekhawatiran beliau akan lenyapnya Hadis Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam seiring semakin banyak para penghafal Hadis yang berguguran di medan perang. Beliau memberi mandat pada Abu Bakr bin Hazm—hakim Madinah—untuk menghimpun Hadis. Mandat ini kemudian diteruskan pada semua pejabatnya (ummal) diseluruh penjuru Negeri Islam. Ibnu Syihab az-Zuhri tercatat sebagai orang pertama yang mengamini mandat tersebut dan segera melakukan penghimpunan Hadis, namun sampai sekarang belum ditemukan naskahnya. Naskah Hadis tertua yang ada hingga saat ini adalah al-Muwaththa’ karya Imam Malik (w 176 H). Setelah itu menyusul Imam asy-Syafii dengan menyusun kitab al-Umm. Kedua kitab ini tidak murni memuat Hadis-Hadis Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam, tapi juga memuat fatwa-fatwa sahabat dan tabiin. Pekerjaan penghimpunan Hadis ini berjalan hingga penghujung abad kedua Hijriah.

Pada awal-awal periode penghimpunan Hadis, para kolektor Hadis belum begitu memperhatikan kapasitas dan kualitas Hadis. Mereka menghimpun Hadis tanpa memilah dan memilihnya terlebih dulu, sehingga Hadis yang mereka himpun beraneka ragam, ada yang sahih juga ada yang lemah. Perhatian pada kapasitas dan kualitas Hadis baru dilakukan oleh Imam Malik pada pertengahan abad kedua Hijirah. Beliau menyeleksi Hadis-Hadis yang terdapat dalam kitab beliau sendiri, al-Muwaththa’. Hadis-hadis yang terhimpun dalam kitab itu asalnya sekitar 10000 Hadis, kemudian Imam Malik meyeleksinya hingga menjadi sekitar 500 Hadis berkualitas dan berkapasitas maqbûl (bisa diterima). Sedangkan penyusunan metodologi ilmu Hadis yang sistematis (musthalah al-Hadits) baru dilakukan pada periode setelahnya kira-kira abad ketiga Hijriyah. Abu Muhammad ar-Ramahurmuzi (w 360 H) adalah orang pertama yang menusunnya, dan beliau memberi nama karyanya tersebut “al-Muhaddits al-Fâshil bainar-Râwi wal-Wâ’i”

2. Selektifitas Muhadditsin

Dalam menghimpun Hadis, para muhaddits mempunyai standard selektifitas yang super ketat dan filter yang sangat halus. Mereka mempunyai metodologi yang sistematis untuk memilah-milah antara Hadis dengan yang bukan Hadis, atau antara Hadis yang berkualitas dengan yang kurang berkualitas. Yaitu metode kritik sanad (transmisi Hadis) dan kritik matan (teks Hadis).

Aplikasi metode kritik sanad (al-Jarhu wat-Ta‘dîl) adalah, satu persatu rawi yang terlibat dalam periwayatan Hadis diteliti dari berbagai aspek. Mulai dari kulitas pribadinya (tsiqah), kredibilitas dan integritas peribadinya (‘adâlah), sampai kekuatan hafalannya (dhabtu). Dan yang terpenting adalah masing-masing rawi pernah bertemu atau semasa dengan rawi sebelumya, dan pernah menerima Hadis dari rawi tersebut (ittishâl). Ketika ada sedikit saja cacat pada salah satu periwayat Hadis, maka kapasitas Hadisnya juga akan cacat (mardûd).

Ketika kritik sanad sudah dilakukan, dan hasilnya tidak ada masalah, Hadis tidak serta merta diterima. Hadis itu masih harus melalui fase kedua, yaitu kritik matan. Yakni kandungan teks Hadis yang dimaksud tidak bertentangan dengan al-Qur’an yang shârih dan Hadis-Hadis lain yang mutawâtir. Ketika ada pertentangan dan tidak bisa dikompromikan, maka kapasitas dan kualitas Hadis juga akan bermasalah.

Imam al-Bukhari, diriwayatkan bahwa ia hafal 500.000 Hadis. Dengan sikap kehati-hatian dan keinginan besar untuk memurnikan Hadis-Hadis Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam, beliau meneliti dan menyeleksi Hadis-Hadis tersebut dengan metodologi kritik sanad dan matan. Dari proses seleksi tersebut beliau menyisakan kira-kira 7.000 Hadis yang menurut beliau memenuhi keriteria sahih. Kemudian Hadis-Hadis tersebut dibukukan dan dikenal dengan Kitab Shahîh al-Bukhârî yang monumental.

Suatu ketika, Imam al-Bukhari hendak meriwayatkan Hadis dari seorang rawi yang sangat tersohor akan kejujurannya, rawi tersebut tidak pernah sekalipun diketahui berdusta. Namun, Imam Bukhari mengurungkan niatnya, karena kedapatan rawi tersebut membohongi binatang. Dari sikap superselektif Imam Bukhari tersebut muncul sintesis yang disepakati ulama, “Sahîh Bukhârî adalah kitab tersahih kedua setelah al-Qur’an”. Demikianlah gambaran tentang sikap kehati-hatian dan standard selektifitas yang sangat tinggi dari muhadditsîn dalam menghimpun Hadis.

Memang tak bisa dipungkiri, bahwa Hadis Nabi Shallallâhu ‘alaihi wasallam, sebelum dibukukan lebih banyak terpelihara dalam hafalan dan ingatan dari pada dalam bentuk naskah. Tapi juga perlu diingat bahwa orang-orang Arab mempunyai tingkat hafalan dan ingatan di atas rata-rata. Jadi sudah menjadi hal biasa jika orang Arab bisa hafal dan ingat nama-nama ayah, kakek, dan seterusnya tanpa naskah sekalipun. Semua ini adalah skenario Allah Subhânahu wata‘âlâ untuk melestarikan sunah-sunah Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi wasallam dengan memberikan kemampuan lebih kepada mereka. Semoga kita tetap diberi keyakinan oleh Allah Subhânahu wata‘âlâ dan tetap berpegang teguh pada sunah-sunah Rasul Shallallâhu ‘alaihi wasallam.



Penulis berasal dari Pesantren Sidogiri
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger