Setiap saat sang arif lebih mendekat kepada Allah Azza wa-Jalla dibanding
waktu sebelumnya. Setiap saat hatinya bertyambah khusyu’ pada Tuhannya Azza
wa-Jalla, rasa hina-dinanya semakin tambah, Khusyu’ yang langsung dengan hati
yang hadir, bukan dengan hati yang tidak tampak.
Pertambahan khusyu’nya
menurut kedekatannya pada Allah Azza wa-Jalla, begitu juga bertambah bisunya
menurut bertambahnya musyahadahnya kepada Allah Azza wa-Jalla. Bahasa nafsunya
membisu, watak dan hawa nafsunya diam, kebiasaan dan eksistensinya membisu.
Sedangkan bahasa qalbunya, batinnya, maqom dan anugerah padanya senantiasa
mengekspresikan nikmat dariNya.
Karena itu ketika mereka bermajlis dengan orang
arifin selalu diam agar meraih manfaat dan meminum dari sumber yang memancar
dari hati arifin.
Siapa yang lebih banyak bergaul dengan kaum airifin Billah Azza wa-Jalla, ia
akan mengenal dirinya senantiasa hina di hadapan Tuhannya Azza wa-Jalla. Karena
itu disebutkan, “Siapa yang kenal dirinya maka ia kenal Tuhannya,“ karena diri
adalah hijab antara hamba dengan Tuhannya.
Siapa yang mengenal dirinya akan tawadhu’ pada Allah Azza wa-Jalla, dan ketika mengenal makhluk ia hati-hati, ia lebih sibuk bersyukur kepada Allah Azza wa-Jalla dibanding sibuk mengenal makhluk. Ia tahu, bahwa tak akan mengenalkan dirinya pada makhluk melainkan demi suatu kebajikan dunia dan akhiratnya. Lahiriahnya sibuk bersyukur padaNya dan batinnya, penuh sibuk memujiNya. Lahiriyahnya berpisah tapi batinnya berpadu. Kegembiraan ada di batinnya, susah ada di lahirnya, semata untuk menutupi kondisi batinnya.
Orang arif itu berbeda dengan orang mukmin biasa. Jika susah di hatinya,
maka wajahnya menampakkan kegembiraan. Ia tahu dan diam di PintuNya, ia tidak
tahu apa yang bakal dikehendakiNYa padanya, apakah diterima atau ditolak?
Apakah pintu akan dibuka atau terus terkunci? Siapa yang mengenal dirinya maka
ia berbalik kondisinya dibanding orang mukmin biasa dalam segala tingkah
lakunya. Orang mukmin memiliki hal yang terus berubah, sedangkan orang ‘arif
memiliki maqom yang tetap dan teguh.
Orang mukmin biasa, senantiasa takut akan terjadinya perpindahan ruhaninya
dan hilangnya imannya. Hatinya terus gelisah, dan wajahnya terus ceria, ia
bicara dengan sunyum di wajah dengan hati yang gundah. Sedangkan orang arif
dukanya ada di wajahnya, karena ia menjumpai makhluk sebagai sesuatu yang aneh,
lalu ia memperingatkan mereka, memerintah dan melarang mereka, sebagai
pengganti tugas Nabi saw.
Kaum Sufi mengamalkan apa yang mereka dengar,
lalu mereka mendekatkan amal itu agar dekat kepada Allah Azza wa-Jalla, dimana
mereka melakukan aktivitas amaliah hanya bagiNya, lalu mereka mendengar nasehat
tanpa perantara dengan mendengarkan melalui hati mereka, disaat mereka tidur
dan tiada menurut makhluk, namun sedang sadar dengan Sang Khaliq.
Syaikh Abd. Qadir Al Jaelani (Cahaya Sufi)
Posting Komentar