Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Mengubah Status Wakaf: Musholla Menjadi Masjid (Bag. 2)

Mengubah Status Wakaf: Musholla Menjadi Masjid (Bag. 2)

Selanjutnya, apakah musholla dan masjid itu satu fungsi dan satu makna yang sama ?
 

Definisi mushalla (musala) dalam bahasa Indonesia adalah : tempat salat; langgar; surau; (2) tikar salat; sajadah. Silahkan rujuk KBBI.

Definisi musala sebagai langgar atau surau adalah definisi yang sesuai dengan urf (kebiasaan
) masyarakat indonesia, dimana arti langgar (silahkan rujuk KBBI) adalah : masjid kecil tempat mengaji atau bersalat, tetapi tidak digunakan untuk salat Jumat; surau; musala.
 

Demikian arti musala yang bisa digunakan untuk merujuk sebagai masjid yang bukan jami', surau, ruang khusus tempat shalat di suatu gedung , kantor atau bahkan pasar (mal) ataupun tempat shalat di rumah.
 

Kata musholla salah satunya terdapat dalam al-Baqarah 125:
وإذ جعلنا البيت مثابة للناس وأمنا واتخذوا من مقام إبراهيم مصلى
 

Yang perlu dicermati dalam ayat ini adalah kata 'maqam' dan 'mushalla'. Banyak tafsiran mengenai kata ini dalam ayat tersebut, ada yang mengartikan batu, dan ada yang mengartikan al-haram secara keseluruhan. Sedangkan mushalla ada yang mengartikan sebagai tempat yang secara khusus diperuntukkan untuk shalat.
 

Sedangkan arti dari masjid sebagaimana dikatakan oleh al-zujaj yang dinukil dalam kamus lisan al-arab (lihat entry kata sa-ja-da) : setiap tempat yang dipergunakan untuk ibadah adalah masjid, bukankan Rasul bersabda , "telah dijadikan bagiku bumi sebagai masjid yang suci".

وقال الزجاج: كل موضع يتعبد فيه فهو مسجَِد، أَلا ترى أَن النبي، صلى الله عليه وسلم، قال: جعلت لي الأَرض مسجداً وطهوراً.
 

Dengan demikian, baik masjid dan mushalla mempunya arti dan fungsi yang sama secara kebahasaan. Namun, penggunaan kata masjid dalam hukum (fikih) mempunyai kekhususan yang tidak terdapat dalam mushalla sebagai tempat shalat secara umum.
 

Apakah makna masjid itu meliputi essensinya sebagai tempat melaksanakan jama'ah jum'at, tempat yang diperbolehkan i'tikaf di dalamnya, tempat yang mana orang junub tidak diperbolehkan berdiam di dalamnya ? Atau hanya sekadar konsekuensi dari nama (asma') yang disandang, sedangkan essensi (musammiyat)nya tetaplah sebagai tempat shalat ?
 

Jika musholla dan masjid mempunyai essensi yang sama, maka bukan soal merubah mushala menjadi masjid, bukankah "al-ibrah bi al-musammiyat, la bi al-asma" - Ibrah yang dipegang adalah essensi , bukan nama. Konsekuensi dari suatu nama bukan termasuk kedalam essensi dari nama itu. Seperti tidak boleh jualan roti ditempat potong rambut, sebaliknya tidak boleh potong rambut di toko roti, meskipun essensi keduanya adalah sama yaitu tempat usaha.
 

Kesimpulannya, mengubah mushala menjadi masjid, dengan syarat waqif mempersyaratkan satu kemashlahatan yang dipercayakan kepada nadhir , dan nadhir melihat satu kemaslahatan yang benar-benar mendesak, maka itu boleh. 

Sebaliknya, mengubah masjid menjadi mushala tanpa adanya mashlahat yang jelas dan mendesak dengan pertimbangan yang ketat itu tidak boleh.

Jika merujuk pada jawaban Imam Ghazali, maka akan diperoleh pendapat sebagai berikut :


ونقل الزركشي : عن الغزالي انه سىٔل عن المصلى الذي بني لصلاة العيد خارج البلد فقال : لا يثبت له حكم المسجد فى الاعتكاف ومكث الجنب وغيره من الاحكام، لأن المسجد هو الذي أعد لرواتب الصلاة وعين لها حتى لا ينتفع به فى غيرها، وموضع الصلاة العيد معد للاجتماعات ولنزول القوافل ولركوب الدواب ولعب الصبيان، ولم تجر عادة السلف بمنع شيء من ذالك فيه، ولو اعتقدوه مسجدا لصانوه عن هذه الاسباب ولقصد لاقامة ساىٔر الصلوات، وصلاة العيد تطوع وهو لا يكثر تكرره بل يبنى لقصد الاجتماع، والصلاة تقع فيه بالتبع
 

"Dan Imam Zarkasyi menukilkan dari Imam Ghazali bahwasanya beliau ditanya tentang musholla yang dibangun untuk shalat Ied di luar perkampungan. Maka beliau menjawab tidak ditetapkan padanya hukum masjid dalam hal i'tikaf dan berdiamnya orang junub dan hukum-hukum lainnya karena masjid adalah tempat yang disiapkan untuk shalat secara rutin dan ditentukan untuk shalat hingga tidak dipakai untuk kepentingan lainnya. sedang tempat shalat ied diperuntukkan untuk pertemuan-pertemuan dan menurunkan orang dari perjalanan dan tempat naik kendaraan dan tempat main anak-anak.

Dan tidak berlaku kebiasaan salaf melarang hal tersebut di musholla ied. Jikalau mereka menganggapnya masjid maka akan dijaga dari sebab-sebab tersebut dan ada niat untuk melakukan semua shalat disana.
 
Dan shalat ied adalah sunnah yang tidak banyak berulangnya dan pembangunan musholla tersebut hanya untuk bisa mengumpulkan orang-orang sedangkan shalat dilakukan disitu sekedar sebagai fungsi ikutan."
 

Dari jawaban imam ghazali bisa ditarik kesimpulan :
Jika musholla dibangun untuk shalat secara rutin, peruntukan utamanya untuk shalat dan tidak dipakai untuk hal lain yang tak sejalan, dijaga dari hal-hal yang tidak sesuai dengan fungsi masjid, maka pada tempat tersebut berlaku hukum-hukum masjid, alias bisa dipakai tahiyyat masjid, dilarang orang junub berdiam, dan sebagainya. Artinya, tempat tersebut adalah masjid meski sebutannya musholla. Wallahu'alam.



http://www.facebook.com/groups/piss.ktb/permalink/362216103801204/ oleh Ust. Al Fatawi dan PISS-KTB
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger