5. Jika amal yang lebih diutamakan pada
sepuluh malam terakhir Ramadhan adalah ibadah-ibadah spesial malam hari,
seperti qiyamullail atau tahajjud, tadarus Al-Qur’an, itikaf, dzikir, doa, munajat,
istighfar, dan semacamnya, maka yang lebih diistimewakan pada 10 hari pertama
Dzulhijjah ini adalah jenis-jenis amal ibadah spesial siang hari, dan salah
satu yang paling utama tiada lain adalah ibadah puasa. Maka disunnahkan dan
dianjurkan agar setiap muslim memperbanyak puasa pada 10 hari ini, tentu saja
kecuali tanggal 10-nya yang merupakan hari raya Idul Adha, dan yang memang
diharamkan puasa padanya. Namun untuk ibadah puasa ini terbagi dua, yakni yang
berifat umum dan khusus. Yang umum adalah puasa dari anggal 1 – 8
Dzulhijjah, dimana kesunnahannya tidak berdasarkan dalil khusus, melainkan
mengacu pada keumuman hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dimuka, dimana setiap amal
saleh pada 10 hari pertama Dzulhijjah adalah yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala. Dan
sudah barang tentu ibadah puasa menempati peringkat utama dan istimewa dalam
daftar amal saleh yang disebutkan itu. Apalagi, seperti yang telah disebutkan,
yang lebih utama dari 10 hari pertama Dzulhijjah itu adalah waktu siangnya, dan
puasa merupakan salah satu jenis amal ibadah spesial siang hari yang
teristimewa. Oleh karenanya dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam An-Nawawi
rahimahullah menulis bab khusus dengan judul: Fadilah Puasa dan Amal-amal Lain
Pada 10 Hari Pertama Dzulhijjah, lalu beliau menyebutkan hadits Ibnu ‘Abbas
radhiyallahu ‘anhu, yang telah dikutip dimuka. Adapun puasa yang bersifat khusus
dengan dalil khusus dan fadilah khusus pula, adalah puasa hari Arafah, yakni
pada tanggal 9 Dzulhijjah. Dimana saat ditanya tentang fadhilah dan keutamaan
puasa hari wuquf di Arafah (bagi selain jamaah haji), Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Ia bisa menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah berlalu dan (dosa)
satu tahun lagi yang akan datang” (HR. Muslim dari sahabat Abu Qatadah radiyallahu ‘anhu).
6. Memperbanyak kumandang takbir, tahlil
dan tahmid dengan suara keras di rumah-rumah, masjid-masjid, jalan-jalan,
pasar-pasar dan lain-lain, pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah ini.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Tiada hari yang lebih agung bagi
Allah, dan amal saleh padanya lebih dicintai oleh-Nya, dibandingkan 10 hari
(pertama Dzulhijjah) ini. Maka perbanyaklah padanya ucapan tahlil, takbir dan
tahmid” (HR. Ahmad dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma). Imam Al-Bukhari rahimahullah
menyebutkan bahwa, sahabat Ibnu Umar dan Abu Hurairah dulu biasa pergi ke pasar
pada 10 hari pertama bulan Dzulhijjah seraya mengumandangkan takbir, sehingga masyarakatpun
bertakbir mengikuti takbir keduanya. Itu untuk tuntunan takbir yang bersifat
umum. Adapun untuk praktik takbir yang bersifat khusus terkait dengan syiar
hari raya Idul Adha, maka menurut jumhur ulama disunnahkan agar dilakukan mulai
selepas shalat subuh pada hari Arafah (tanggal 9 Dzulhijjah) sampai shalat asar
hari terakhir tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah), dimana ucapan takbir
dikumandangkan pada setiap usai shalat fardhu dan diutamakan pada pagi hari
raya Idul Adha saat seseorang berangkat ke tempat shalat Id.
7. Menyembelih hewan qurban, dengan
motivasi utama sebagai sebuah bentuk ibadah ritual persembahan kepada Allah,
bukti penghambaan dan syiar deklarasi kemurnian tauhid kepada-Nya, dan bukan
dengan sekadar niat bersedekah daging. Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda (yang artinya): “Tiada satu amal pun yang dilakukan seseorang pada Yaumun-Nahr (hari
raya qurban) yang lebih dicintai oleh Allah daripada mengalirkan darah (hewan
qurban yang disembelih). Maka berbahagialah kamu dengannya” (HR.
At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dengan sanad yang shahih).
8. Mengikuti shalat Idul Adha, dan
mendengarkan khutbah seusainya. Adapun bagi kaum perempuan yang berhalangan,
maka dianjurkan untuk tetap turut menghadiri penyelenggaraan shalat, meskipun
tentu tidak boleh mengikutinya, melainkan untuk mendapatkan siraman rohani dan
pencerahan ilmu dari khutbah yang disampaikan, serta sekaligus untuk turut
menyemarakkan, memeriahkan dan meramaikan suasana hari raya sebagai momen
kegembiraan ummat Islam dan syiar kebersamaan serta persatuan kaum muslimin.
Sedangkan ketika hari raya qurban jatuh pada hari Jum’at, seperti yang akan datang ini,
maka bagi yang mengikuti shalat Id diberi rukhshah (keringanan) untuk tidak
menghadiri shalat Jum’at, dan cukup melakukan shalat dzuhur saja seperti hari-hari lain.
Namun meskipun begitu, lebih baik baginya jika tetap turut menunaikan shalat
jum’at bersama kaum muslimin yang mengadakannya. Sedangkan bagi
penanggung jawab atau takmir masjid jami’, yakni masjid yang biasa didirikan
shalat jum’at di dalamnya, diharuskan tetap menyelenggarakannya, agar bagi kaum
muslimin yang ingin, bisa berkesempatan untuk menjalankannya. Karena saat
terjadi shalat Idul Fitri pada hari Jum’at, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda (yang artinya): “Telah berhimpun pada hari kalian ini dua hari raya. Barangsiapa yang
ingin, maka (shalat Id) telah cukup baginya untuk mewakili shalat Jum’at. Namun
kami tetap akan menyelenggarakannya” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Al-Hakim dan lain-lain,
dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
9. Dan last but not least, tentu saja amal
ibadah paling agung dan tertinggi pada bulan Dzulhijjah ini, bagi yang mampu
dan berkesempatan, tiada lain adalah ibadah haji dan umrah di Tanah Suci
Mekkah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda (yang artinya): “Ibadah umrah satu ke umrah yang
lain adalah penghapus dosa antara keduanya, dan haji yang mabrur itu tiada
balasan baginya kecuali Surga” (HR. Muttafaq ‘alaih).
Ust. H. Ahmad Mudzoffar Jufri
Posting Komentar