Orang yang memikirkan urusan dunia dalam shalat
sama halnya dengan orang yang melumuri Al-Qur’an yang suci dengan khomer.
Shalat yang seharusnya menjadi wadah yang suci telah mereka penuhi
dengan kotoran-kotoran yang menjijikkan.
Tanpa ada niat ikhlas yang merupakan
ruh dari shalat, orang yang demikian diibaratkan oleh Imam Ghozali seperti
seseorang yang menghadiahkan seonggok bangkai dengan kemasan rapi kepada
seorang raja. Tentunya perbuatan tersebut bukannya menyenangkan hati raja
melainkan membuat dia marah dan murka karena dianggap telah melecehkan
kehormatan dan kebesarannya.
Para salaf terdahulu memandang shalat sebagai hal
yang sangat sakral dan agung. Mereka selalu berusaha melaksanakan dengan
sesempurna mungkin. Hingga diantara mereka acapkali dihinggapi burung saat
shalat karena sangat khusyuk dan tenangnya. Ada pula yang sampai tidak
merasakan dahsyatnya gempa bumi yang meluluh lantakkan bangunan-bangunan di
sekitarnya.
Bahkan Imam Ali bin Husein sama sekali tak merasakan panasnya
kobaran api yang membumi hanguskan rumah beliau saat beliau tenggelam dalam
shalatnya. Saat ditanya beliau hanya berujar, ‘Panasnya api yang lain (api
neraka) telah membuatku tak merasakan panasnya api dunia.’
Rasul SAW bersabda, ‘Ada seorang lelaki di antara
kamu, rambut di kedua pipinya telah memutih namun tidak diterima satu pun
shalatnya.’ Ini menunjukkan bahwa tak ada satu shalat pun yang dia kerjakan
dengan khusyuk. Padahal, mulai usia 15 tahun hingga enam puluh tahun sudah
berapa kali dia mengerjakan shalat. Jika tidak ada satu shalat pun yang dia
kerjakan dengan khusyuk, itu berarti hatinya benar-benar dikuasai urusan
keduniaan.
Ini adalah masalah kompleks di tengah masyarakat
Islam yang harus disikapi dengan serius, terutama bagi para ulama dan penuntut ilmu.
Adapun orang awam pada zaman sekarang sudah merasa cukup dengan shalat serba
praktis seperti yang biasa mereka kerjakan. Bahkan di antara mereka ada yang
mengeluh jika mendapati seorang imam shalat terlalu lama. Mereka lebih memilih
imam yang lebih cepat dan ringkas sembari mengesampingkan unsur kekhusyukan
yang sebenarnya esensial dalam shalat. Bagaimana dengan shalat kita?
Habib Ahmad bin Abdurrahman Assegaf
Posting Komentar