Nabi
Muhammad SAW bersabda:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخَذَه صحيح البخاري،
Dari
Ibn Umar dari Nabi Muhammad SAW bersabda, “Tampillah kalian berbeda dengan
orang-orang musyrik, peliharalah jenggot dan cukurlah kumis”. Dan ketika Ibn
Umar melaksanakan haji atau umrah, beliau memegang jenggotnya, dan ia pun
memotong bagian yang melebihi genggamannya” (Shahih al-Bukhari, 5442)
Walaupun
hadits ini menggunakan kata perintah, namun tidak serta merta, kata tersebut
menunjukkan kewajiban memanjangkan jenggot serta kewajiban mencukur kumis.
Kalangan Syafi’iyyah mengatakan bahwa perintah itu menunjukkan sunnah. Perintah
itu tidak menunjukkan sesuatu yang pasti atau tegas (dengan bukti Ibnu Umar
sebagai sahabat yang mendengar langsung sabda Nabi Muhammad Saw tersebut masih
memotong jenggot yang melebihi genggamannya). Sementara perintah yang wajib itu
hanya berlaku manakala perintahnya tegas.
Syaikhul
Islam Zakariya al-Anshari menyatakan mencukur jenggot adalah makruh khususnya
jenggot yang tumbuh pertama kali. Karena jenggot itu dapat menambah ketampanan
dan membuat wajah menjadi rupawan. (Asnal Mathalib, juz I hal 551)
Dari
alasan ini sangat jelas bahwa alasan dari perintah Nabi Muhammad SAW itu tidak
murni urusan agama, tetapi juga terkait dengan kebiasaan atau adat istiadat.
Dan semua tahu bahwa jika suatu perintah memiliki keterkaitan dengan adat, maka
itu tidak bisa diartikan dengan wajib. Hukum yang muncul dari perintah itu
adalah sunnah atau bahkan mubah.
Jika
dibaca secara utuh, terlihat jelas bahwa hadits tersebut berbicara dalam
konteks perintah untuk tampil berbeda dengan orang-orang musyrik. Imam al-Ramli
menyatakan, “Perintah itu bukan karena jenggotnya. Guru kami mengatakan bahwa
mencukur jenggot itu menyerupai orang kafir dan Rasululullah SAW sangat mencela
hal itu, bahkan Rasul SAW mencelanya sama seperti mencela orang kafir” (Hasyiyah
Asnal Mathalib, juz IV hal 162)
Atas
dasar pertimbangan ini, maka ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa memelihara
jenggot dan mencukur kumis adalah sunnah, tidak wajib. Oleh karena itu tidak
ada dosa bagi orang yang mencukur jenggotnya. Apalagi bagi seorang yang malah
hilang ketampanan dan kebersihan serta kewibawaannya ketika ada jenggot di
wajahnya. Misalnya apabila seseorang memiliki bentuk wajah yang tidak sesuai
jika ditumbuhi jenggot, atau jenggot yang tumbuh hanya sedikit.
Adapun
pendapat yang mengarahkan perintah itu pada suatu kewajiban adalah tidak
memiliki dasar yang kuat. Al-Halimi dalam kitab Manahij menyatakan bahwa
pendapat yang mewajibkan memanjangkan jenggot dan haram mencukurnya adalah
pendapat yang lemah. (Hasyiyah Asnal Mathalib, juz V hal 551).
Imam Ibn Qasim
al-abbadi menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan keharaman mencukur jenggot
menyalahi pendapat yang dipegangi (mu’tamad). (Hasyiah Tuhfatul Muhtaj Syarh
al-Minhaj, juz IX hal 375-376).
Dalam
riwayat Imam Bukhari dijelaskan:
وَكَانَ
ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ ، فَمَا فَضَلَ
أَخَذَهُ (رواه البخاري رقم 5892)
“Ibnu
Umar ketika haji atau umrah memegang jenggotnya, maka apa yang melebihi
(genggamannya) ia memotongnya” (HR Bukhari No 5892)
al-Hafidz Ibnu Hajar menyampaikan riwayat yang lain:
وَقَدْ
أَخْرَجَهُ مَالِك فِي الْمُوَطَّأ " عَنْ نَافِع بِلَفْظِ كَانَ اِبْن عُمَر
إِذَا حَلَقَ رَأْسه فِي حَجّ أَوْ عَمْرَة أَخَذَ مِنْ لِحْيَته وَشَارِبه "
(فتح الباري لابن حجر - ج 16 / ص 483)
“Dan
telah diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwatha’ dari Nafi’ dengan redaksi: Ibnu
Umar jika mencukur rambutnya saat haji atau umrah, ia juga memotong jenggot dan
kumisnya” (Fath al-Baarii 16/483)
Qadliy bin
Iyadl menyatakan: “Hukum mencukur, memotong, dan membakar jenggot
adalah makruh. Sedangkan memangkas kelebihan, dan merapikannya adalah perbuatan
yang baik. Dan membiarkannya panjang selama satu bulan adalah makruh, seperti
makruhnya memotong dan mengguntingnya.” (Imam An-Nawawi, Syarah Shahih
Muslim, juz 3, hal. 151).
Menurut Imam
An-Nawawi, para ‘ulama berbeda pendapat, apakah satu bulan itu merupakan
batasan atau tidak untuk memangkas jenggot (lihat juga penuturan Imam
Ath-Thabari dalam masalah ini; al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath
al-Bârî, juz 10, hal. 350-351). Sebagian ‘ulama tidak memberikan batasan
apapun. Namun, mereka tidak membiarkannya terus memanjang selama satu bulan,
dan segera memotongnya bila telah mencapai satu bulan.
Imam Malik memakruhkan jenggot yang dibiarkan panjang sekali. Sebagian
‘ulama yang lain berpendapat bahwa panjang jenggot yang boleh dipelihara adalah
segenggaman tangan. Bila ada kelebihannya (lebih dari segenggaman tangan) mesti
dipotong. Sebagian lagi memakruhkan memangkas jenggot, kecuali saat haji dan
umrah saja (lihat Imam An-Nawawi,Syarah Shahih Muslim, hadits no. 383; dan
lihat juga Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Bârî, hadits. No. 5442).
Menurut Imam Ath-Thabari, para ‘ulama juga berbeda pendapat dalam
menentukan panjang jenggot yang harus dipotong. Sebagian ‘ulama tidak menetapkan
panjang tertentu, akan tetapi dipotong sepantasnya dan secukupnya. Imam
Hasan Al-Bashri biasa memangkas dan mencukur jenggot, hingga panjangnya
pantas dan tidak merendahkan dirinya.
Dinukil dari
berbagai Kitab dan penjelasan dari Ust. Idrus Ramli oleh Ngaji.web.id
Posting Komentar