Kalau sudah shiddiq, tahu persis bagaimana. Walaupun toh ini
benar tapi akibatnya membuka aib saudara mukmin kita sendiri, cara
menyampaikannya pun berbeda. Karena, walaupun benar adakalanya membuka aibnya
orang.
Contoh ada bapak atau oknum lah umpanya. Kalau
di rumah sendiri itu biasanya pakai sarung yang seenaknya saja sambil nonton
tivi. Tidak tahu auratnya kelihatan. Diantara teman-temannya yang duduk sedang
nonton tivi tahu kalau orang ini auratnya terbuka karena sarungnya terbuka.
Kalau orang yang menyampaikan benar ini tidak tepat, akan membuka aibnya. “Hei
mas, sarungmu terbuka, auratmu kelihatan.” Orang yang tidak mendengar akhirnya
jadi melihat dan mendengar semuanya. Membenarkan, menyampaikan pendapat, tapi
membuka aibnya orang.
Tapi kalau Rasulullah SAW, menyampaikan benar justeru
menghormati orang yang dibenarkan (diluruskan). Itulah hebatnya menunjukkan
rahmatan lil ‘alamin. Kalau orang yang mengikuti jejak sunnah Baginda Nabi SAW,
adabnya begitu tahu langsung (bilang), “Mas mas, bangun sebentar, saya ada
urusan (perlu)”. Begitu ia bangun, tertutup kan auratnya. Begitu tertutup
auratnya, dia ajak keluar, “Ada apa yah?” dijawab, “Sorry, tadi kelihatan
auratnya.” “Ya, ya, betul. Terimakasih, terimakasih,” ucapnya sangat
berterimakasih.
Ada juga orang nahi munkar –umpamanya- ada seseorang yang
merokok kretek, ada cengkehnya. Kebetulan dia pakai sarung. Begitu dihisap,
Seppp”, (ada yang) jatuh ke sarungnya. Kira-kiranya kan cepat terbakarnya.
Betul ndak? Coba kalau kita menyampaikannya, “Mohon maaf Pak, itu ada
latu-nya.” Malah akan terbakar duluan, habis. Tapi begitu tahu ada api di
sarungnya, langsung saja “Maaf!” sambil ditepuk. Padahal ditepuk, sakit, tapi
(karena) sarungnya selamat yang ditepuk malah berterimakasih. Itu hebatnya
rahmatan lil ‘alamin. Menirunya susah.
Tapi adakalanya mau menyampaikan yang benar, juga salah
padahal benar. (Misal) Minum kopi, tak tahunya tempat kopinya (pisin) masih
basah ada air kopinya. Begitu akan diangkat, (ditepuk) “Hei maaf maaf,” malah
tumpah jadinya. Ada tempatnya yang harus keras dan ada tempatnya yang harus
lunak. Orang-orang yang demikian setelah mewarnai dengan ash-shiddiq.
Yang keempat haya’, malu kepada Allah SWT Kami mendapat
fadhal dari Allah SWT dijadikan semulia-mulianya umat. Umatnya siapa? Afdhalul
makhluqat (paling mulianya makhluk Allah SWT), sayyidul anbiya’ wal mursalin.
Mesti bertanya pada dirinya, “Ya Allah ya Rabb, apakah kami ini golongan orang
kelak yang akan memalukan Baginda Nabi SAW di hadapanMu ya Allah? Jangan sampai
aku menjadi umat yang akan memalukan Baginda Nabi SAW, memalukan guru-guruku,
memalukan kedua orangtuaku,” dan lain sebagainya Itu al-haya’.
Sampai dengan perbuatan, muamalah yaumiah (perilaku
keseharian), kalau haya’ kepada Rasulullah SAW, “Malu ah masa pakai baju tangan
kiri dulu, malu dong pada Rasulullah.” Disamping juga tangan kanan itu sunnah.
Itu diantaranya. Sampai mau berbicara yang kurang baik atau seronok, dia akan
berpikir, “Malu ah, Rasulullah tidak berbicara yang demikian.”
Kalau haya’ (malu )nya sudah jadi, al-mahabbah (cinta)nya luar
biasa. Kalau sudah mahabbah betul-betul kepada Allah SWT, ridha yang ada. Tapi
ini kelas berat Pak, diberi sakit, “Biarin! Yang memberi sakit yang saya cintai
koq.” (Tetap) Ikhtiar, karena menetapi perintah, bukan karena apa-apa. Diberi
penyakit, karena diniati ibadah, diterimanya dengan senang. Karena apa? Karena
yang memberi penyakit adalah yang paling dicintai. Berat sekali, kelihatannya
sepele.
Kalau tidak cepat-cepat kita belajar dalam ilmunya hati, apa
yang ada di dalam batin al-Quran, di dalam dunia tasawuf, kita tidak sulit
untuk mempelajari yang demikian. Dan (demi) untuk bekal selanjutnya dan
selanjutnya.
Maulana Habib Luthfi bin Yahya, Pengajian Jum’at Kliwon 2016
Posting Komentar