Orang yang sampai ke puncak keimanan, tidak tergoda sedikitpun oleh gemerlap
kehidupan dunia kendati ditawarkan padanya dunia dan seisinya, karena ia sadar
betul orientasi hidupnya adalah kemenangan akhirat yang maha dahsyat yang
dijanjikan Allah kepadanya :
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا
وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Itulah batas-batas hukum Allah. Dan siapa yang mentaati Allah dan Rasul-Nya,
maka Dia akan memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir dari bawahnya
sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya dan yang demikian itulah kesuksesan
yang amat besar (tanpa batas) (QS. Annisa’ : 13)
Bila demikian halnya bagi orang yang sudah merasakan lezat dan manisnya iman
sebagai bukti ia sampai ke puncak keimanan, timbul pertanyaan : Bagaimana cara
atau apa kiat untuk merasakan lezat dan manisnya iman itu? Jawabanya ialah
seperti apa yang disabdakan baginda Rasul Muhammad Saw, seperti yang dituliskan
imam Bukhari dalam kitab Shahehnya:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ أَنْ
يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ
الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي
الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Ada tiga perkara bila ketiganya ada dalam diri seseorang maka ia akan
merasakan manisnya iman.
1) Bahwa Allah dan rasul-Nya lebih ia cintai dari
selain keduanya.
2) Dia mencintai seseorang hanya karena Allah Ta’la. Dan
3)
Dia benci untuk kembali kepada kekufuran (baik I’tiqodi, hukum, akhlak ibadah
dan sebagainya) sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam neraka. (H.R. Imam
Bukhari).
Dari hadis tersebut dapat kita simpulkan sebagai berikut :
1. Allah dan Rasul Muhammad Saw. harus lebih kita cintai dari diri kita
sendiri dan bahkan dari dunia dan seisinya. Caranya tidak lain kecuali dengan
mentaati semua perintah dan menjauhi semua larangan Allah dan Rasul-Nya. Kita
lakukan semua itu hanya dengan niat ikhlas kepada Allah dan ittiba’ (mengikuti)
Rasulullah. Mentaati Allah dan Rasul-Nya adalah inti ibadah kepada Allah.
2. Membangun hubungan, komunikasi dan kerjasama dengan saudara seiman
haruslah dilandasi iman kepada Allah dan di atas cinta karena Allah. Bukan
untuk mendapatkan kepentingan duniawi, melainkan mendapatkan ridha dan cinta
Allah. Inilah hubungan yang lurus dan abadi dan ia akan berkekalan sampai
akhirat nanti sebagaimana yang Allah firmankan :
الْأَخِلَّاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا
الْمُتَّقِينَ
Orang-orang yang bersahabat dekat (di dunia) pada hari itu (kiamat) sebagian
mereka akan menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang
bertaqwa. (QS. Az-Zukhruf : 67)
3. Kita harus membenci kekufuran apapun bentuknya. Apakah kufur i’tiqodi
(keyakinan dan keimanan), kufur tasyri’i (kufur sistem dan perundang-undangan),
kufur ta’abbudi (kufur dalam betuk ibadah) maupun kufur akhalqi wa taqlidi
(kufur moral dan tradisi). Masalah kebencian ini adalah urusan hati. Jika hati
belum membenci kekufuran-kekufuran tersebut, sudah dapat dipastikan hati kita
belum dapat merasakan lezat dan manisnya iman. Karena antara kufur dan iman
adalah dua hal yang berbeda dan bertentangan. Tidak mungkin hati kita bisa
menerima atau mencintai keduanya. Hati kita akan memilih satu di antara keduanya.
Orang yang sudah merasakan lezat dan manisnya iman, pasti dalam waktu yang
bersamaan ia membenci kekufuran.
Ustadz Fathuddin
Ja'far, MA
Posting Komentar