Islam memandang bahwa pernikahan
adalah sebuah perjanjian yang agung (mitsaqan ghalidha) yang membawa
konsekuensi suci atas pasangan laki-laki dan perempuan. Pernikahan bukan semata
untuk melampiaskan nafsu syahwat, tetapi terkandung tujuan mulia untuk menjaga
kelestarian generasi manusia. Pernikahan juga merupakan pintu gerbang menuju
kehidupan keluarga yang sakinah dan sejahrera. Dalam tinjauan sosiologi,
kedudukan keluarga sangat urgen dalam mewarnai kehidupan masyarakat secara
umum.
Untuk mencapai tujuan pernikahan
itu, diperlukan persyaratan khusus yang harus dipenuhi sebagaimana yang telah
disyari’atkan oleh Islam. Pernikahan dianggap sah misalnya, jika dalam
pernikahan itu melibatkan wali dan dua orang saksi. Sebagaimana hadis riwayat
Ahmad:
لا نكاح الا بولي وشهدي عدل
Kedudukan wali dalam pernikahan
sangat urgen, agar perempuan yang hendak menikah mendapat kontrol positif dari
pihak keluarga yang secara simbolik-operasional diwakili oleh wali pihak
perempuan. Dalam konteks masyarakat Arab saat itu, fungsi wali sangat penting
agar perempuan yang hendak menikah mendapat pertimbangan yang matang menyangkut
siapa calon suaminya.
Wali sebelum menikahkan perempuan yang berada dalam
perwaliannya secara otomatis akan melakukan penelusuran atas asal-usul dan
latar belakang laki-laki yang akan menjadi calon suami perempuan itu. Dan
secara timbal balik, wali punya kewajiban pula untuk meminta persetujuan
perempuan yang akan dinikahkan, sebagaimana hadis Nabi berikut:
حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ فَضَالَةَ
حَدَّثَنَا هِشَامٌ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِي سَلَمَةَ أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ
حَدَّثَهُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَا تُنْكَحُ
الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ تَسْكُتَ
Pernikahan bagi pasangan laki-laki
dan perempuan adalah proses menuju kehidupan sesungguhnya dalam masyarakat yang
lebih luas. Setelah mereka menjadi pasangan suami-istri, meraka akan menjalin
relasi dan berurusan dengan banyak pihak sebagai konsekwensi atas kedudukan
mereka sebagai bagian dari anggota masyarakat.
Semakin modern masyarakat, akan
lebih banyak mensyaratkan sebuah relasi antara keluarga dan masyarakat secara
prosedural-administratif. Pencatatan pernikahan adalah manifestasi
prosedur-administratif yang dijalankan untuk sebuah tertib masyarakat. Dengan
tercatat, maka akan ada data penting menyangkut status seorang warga sehingga
berbagai penyelewengan status dapat dieliminasi.
Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun
1974, adalah hukum positif yang mengatur proses pernikahan di Indonesia. Di
samping segala persyaratan formil sebagaimana yang telah disyari’atkan Islam,
ada ketentuan tambahan yang terdapat dalam undang-undang itu yang mengatur
secara administratif sebuah proses pernikahan, yaitu pencatatan pernikahan oleh
institusi pencatat nikah (KUA, Kantor Urusan Agama). Diharapkan dengan
pernikahan yang tercatat dan terdata, akan lebih memudahkan kontrol terhadap
pelaksanaan syari’at dalam pernikahan warga masyarakat. Hak perempuan dan anak
akan lebih terjamin dalam sebuah pernikahan yang legal secara hukum (baik hukum
Islam maupun hukum nasional).
Pernikahan yang tercatat (sesuai
dengan UU no. 1 tahun 1974 dan PP no. 9 tahun 1975) sesuai dengan semangat
kemashlahatan yang menjadi landasan syari’at Islam. Sebagaimana yang telah
diungkapkan oleh ulama Usûl Fiqh, setiap hukum (Syarî’at) itu terkandung kemaslahatan
bagi hamba Allah (manusia), baik kemaslahatan itu bersifat duniawi maupun
ukhrawi.
Maslahat menurut Abdullah Abd
al-Muhsin az-Zaki, adalah suatu ketentuan yang dalam merumuskan hukum dengan
menarik manfaat dan menolak mafsadat dari manusia.
Sedangkan al-Khawârizmi
mendefinisikan maslahat adalah memelihara maqâsid asy-syarî’ah dengan menolak
mafsadat dari umat.
Al-Buti memandang memandang maslahat
adalah suatu manfaat yang dikehendaki oleh syari’ untuk hamba-Nya dengan
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Asy-Syâtibî mendifinisikan maslahat
sesuatu yang merujuk atau dikembalikan kepada tegaknya kehidupan manusia.
Dalam hal ini Asy-Syâtibî
menandaskan bahwa Syarî’at diberlakukan adalah untuk kemaslahatan manusia di
dunia dan di akherat.
Dengan demikian orang yang meneliti
hukum (Syarî’at) akan menemukan bahwa tujuan dan permasalahan hukum adalah
memelihara kehidupan masyarakat dan mewujudkan kemaslahatannya dengan meraih
manfaat dan menghilangkan mafsadat.
Sebagaimana telah disampaikan di
muka, bahwa secara sosiologis, nikah sirri banyak mengandung persoalan
(mafsadat/mudharat). Sehingga dalam perspektif syari’at, nikah sirri, walaupun
sah secara fiqhiyah, tetapi perlu dihindari.
Ust. Hakam Ahmed Elchudri
Daftar Pustaka
Abdullah Abd al-Muhsin az-Zaki,
Ushûl al-Fiqh Mazhab al-Imâm Ahmad Dirâsat Ushûliyyah Muqâranah, cet. 2, Riyadh
: Maktabat ar-Riyad al-Hadisah, 1980
Aboebakar Aceh, Syi’ah: Rasionalisme
dalam Islam, Semarang: Ramadhani, 1980
Al-‘Alamah Taqiyuddin Ibn Taimiyah,
Ahkam al-Zawaj, Beirut: Dar al-Kutub, tt.
Allamah M.H. Thabathaba’i, Syi’ah
Islam: Asal-Usul dan Perkembangannya, Djohan Effendi (terj.), Jakarta: PT.
Pustaka Utama Graffiti, 1989
Badran Abu al-‘Ainain Badran, Usûl
al-Fiqh al-Islamî, (t.t.p : t.n.p, t.t.), hlm. 236
Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam,
Ghufron A. Mas’adi (terj.), Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002
Muhammad bin Ali Asy-Syaukani,
Irsyâd al-Fukhûl ilâ Tahqîq al-Haq min ‘Ilm al-Ushûl , cet. I, Surabaya :
Syirkah Maktabat Ahmad bin Sa’ad Ibn Nabhan, t.t.
Muhammad Sa’id Ramadan al-Buti,
Dhawâbith al-Mashlahah fî asy-Syarî’ah al-Islamîyah, cet.2, Beirut : Muassisah
ar-Risâlat , 1977
Murtadha Muthahhari, The Rights
Women in Islam, Teheran: WOFIS, 1981
Rahman Zaenuddin dan M. Hamdan
Basyar (ed.), Syi’ah dan Politik di Indonesia, Bandung: Mizan, 2000
Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah,
Beirut: Dâr Al-Fikr, tt..
Shahla Hairi, Law of Desire:
Temporary Marriage in Shi’i Iran, New York: Syracuse, 1989
Syâtibî, al-Muwâfaqât fî
Asy-Syarî’ah, (Beirut ; Dâr al-Kutub al-Timiyyah, t.t.) II
Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islâmî
wa Adilatuh, Damaskus: Dâr al-Fikr, 1989
Posting Komentar