Keluarga adalah unit terkecil dari
suatu masyarakat, terdiri dari individu-individu yang memiliki hubungan darah
atau perkawinan. Keluarga berasal dari seorang laki-laki yang menikah dan
kemudian disebut dengan suami dan seorang wanita yang kemudian menjadi istri.
Dan dengan sebab pertemuan atau perkawinan tersebut terlahirlah anak-anak,
kemudian apabila si anak menikah lagi maka akan hadirlah ditengah-tengah keluarga
tersebut cucu-cucu.
Namun tidak
jarang dalam satu rumah atau keluarga itu berkumpul pula keluarga dari sang
suami dan sang istri, yang disebut dengan orang tua atau mertua, atau saudara
kandung dan saudara terdekat lainnya, maka kumpulan ini kesemuanya sudah
menjadi apa yang dinamakan dengan satu keluarga (al-usrah).
Tidak ada satu
orang mukmin ataupun muslimpun yang menikah dan membangun keluarga,
kecuali hanyalah untuk mendapatkan kebahagiaan (sakinah) melalui rumah tangga/keluarganya, membentuk kelurga yang
sakinah sesuai dengan tujuan perkawinan dalam Islam. Sakinah tidak begitu saja
dengan mudah bisa didapatkan hanya dengan semata-mata menikah.
Sakinah itu
merupakan karunia Allah. Hanya dengan cara pendekatan diri kepada Allah akan
terciptalah apa yang dinamakan keluaga sakinah. Sakinah (tenang dan bahagia) yang sebenarnya, tak mungkin
didapatkan kecuali dengan penciptaan suasana cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) dalam keluarga sebagai anugrah dari Allah yang menciptakan
manusia (QS.30/21). Kata mawaddah
wa rahmah ini kemudian diperluas redaksinya
oleh para pakar keluarga, dengan ungkapan, bahwa keluarga sakinah yang
dikehendaki oleh fitrah dan agama adalah; terwujudnya suasana keluarga yang
bersatu tujuan, selalu dapat berkumpul dengan baik, rukun dan akrab dalam
kehidupan sehari-hari, penuh persahabatan, intim, saling menghargai, saling
mempercayai dan bersikap ramah tamah antara satu dan yang lainnya.
Komitmen yang
perlu dihidupkan dalam membina keluarga/rumah tangga adalah komitmen ketha’atan. Seluruh individu yang terlibat dalam keluarga tersebut
harus mendasarkan aktifitasnya kepada thaa’at. Tha’at kepada Allah dan
RasulNya. Artinya kapanpun kepentingan pribadi, keluarga dan masyarakat dan
seterusnya berhadapan dengan hukum-hukum Allah, maka yang didahulukan adalah
hokum Allah, Semua yang terlibat dalam keluarga harus mengalah dan pasrtah
kepada hukum-hukum Allah dalam kehidupannya.
Komitmen kedua yang sangat penting
pula adalah; komitmen
hanya memberikan yang terbaik untuk keluarga. Setiap individu berusaha setiap sa’at menyajikan yang
terbaik untuk keluarganya, baik pemberian uang atau harta, yang dipersembahkan
kepada keluarga hanya yang terbaik dan halal. Dan apabila dia berkata, maka
yang keluar dari mulutnya hanyalah kata-kata yang baik dan berma’na. Begitu
juga dengan gerak tubuh; jangan sampai ada gerak tubuh yang menggambarkan sikap
kebencian, seperti mencibir, membelakangi orang yang sedang berbicara, meradang
dan sebagainya. Allah Subhanahu Wata’ala memerintahkan agar setiap mukmin
bersikap lemah lembut kepada orang lain (Q.S 3/159) dan Rasulullah menganjurkan
agar setiap mukmin memberikan shadaqah kepada sausdara-sudara (minimal) dengan
tersenyum. Senyum ramah seseorang kepada saudara dan temannya itu adalah
bagaikan shadaqah (Al-hadist).
Dan bila
kejenuhan, atau keadaan monoton terjadi dalam keluarga, hari-harinya tidak ada
variasi, berjalan begitu-begitu saja terus menerus, maka keluarga ini perlu
mencari angin segar keluar rumah, dengan apa yang dinamakan dengan hiburan (tasliyah). Satu kali ajaklah keluarga untuk makan di luar di
restoran kesenangan umpamanya, atau pada akhir pekan pergi bersama-sama
melakukan rekreasi (rihlah) ketempat-tempat yang indah, ke pinggir laut, ke gunung
atau ke kebun-kebun dan lainnya sambil melihat kebesaran Allah pada
ciptaanNya. Hidupkan suasana ceria dalam perjalanan, bersenda gurau yang
positif dan bermakna dan jangan kaku.
Allah SWT pernah menghibur RasulNya
dengan memperjalankannya ke Baitil Maqdis, yang kita kenal dengan perjalanan Isra’ dan menerbangkannya kelangit, ke Sidratul Muntaha, yang
dinamakan dengan mi’raj. Cara Allah menghibur (tasliyah) untuk
RasulNya, setelah Rasulnya mengalami hari-hari yang pahit dan mengenaskan
ketika berhadapan dengan kaumnya sendiri di Makkah Al-Mukarramah. Dan begitu
juga dengan hijrahnya Rasul ke Madinah Al-Munawwarah, adalah satu kegiatan
dalam rangka mencari inspirasi baru dan melakukan manouver ataupun taktik dan
strategi untuk memenangkan Islam dan membebaskan Makkah dari penguasaan
orang kafir Quraisy.
Tahun baru
Hijriyah, adalah moment yang tepat bagi kaum msulimin untuk melakukan
pembaharuan dan perobahan, baik dalam hidup berkeluarga, bermasyarakat dan
bernegara. Lakukan introspeksi yang dalam atas sikap dan tindak tanduk, ataupun
program yang telah berjalan, begitu juga dengan sikap pergaulan dengan orang
lain, dan lakukan juga analisa terhadap penghasilan yang didapatkan, baik atau
buruk, halal ataupun haramnya, dan yang lebih utama adalah sikap ibadah dan
pengabdian kepada Allah Subhanahu wata’ala yang menciptakan semuanya dan yang
memberi semuanya.
Usahakan dan rencanakan segera untuk pindah (hijrah) dari
sifat dan sikap yang tidak terpuji kepada sikap dan akhlaq mulia, sikap
pengabdian kepada Allah dan sikap pergaulan sesama manusia (akhl;aqul karimah).
Wallahu a’lamu
bi ash-shawab.
Ust. Misbach
Malim
Posting Komentar