Khalifah Hisyam bin Abdul Malik
ketika memasuki Ka'bah pada saat melaksanakan ibadah haji bertemu dengan Salim
ibn Abdullah ibn Umar ibn Khattab. Lalu ia berkata, "Wahai Salim, mintalah
kepadaku kebutuhan-kebutuhanmu". Salim (cucu Umar r.a.) menjawab,
"Saya malu di rumah Allah memohon kepada selain Allah." Ketika Salim
keluar dari Ka'bah (Masjid al Haram), ia diikuti oleh Khalifah Hisyam seraya
berkata, "Sekarang engkau sudah keluar dari Ka'bah maka mintalah apa saja
yang engkau perlukan." Salim bertanya, "Dari kebutuhan duniawi atau
kebutuhan akhirat?" Khalifah Hisyam menjawab, "Dari kebutuhan
duniawi." Salim kemudian berkata kepada Khalifah, "Saya tidak meminta
kebutuhan duniawi dari Yang Memiliki Dunia. Bagaimana mungkin saya meminta dari
orang yang tidak memiliki dunia?"
La ilaha illa Llah! Apa yang
dilakukan oleh Salim Ibn Abdullah Ibn Umar Ibn Khattab, adalah ekspresi
totalitas penghambaan kepada Allah dan manifestasi dari La ilaha illa llah.
Sesungguhnya, bila kita dalami makna lafadz tahlil tersebut memang
membutuhkan konsekwensi yang sangat besar dalam kehidupan kita. La ilaha
illa Llah tidak dapat kita batasi pemaknaannya hanya dengan arti ‘tidak ada
tuhan selain Allah’ saja. Sullamunnajah memberikan arti La ilaha
illah llah bahwa tidak ada yang patut disembah di muka bumi ini, kecuali
Allah. La ilaha ila Llah, bahkan juga bermakna; tidak ada yang patut
dimintai pertolongan kecuali Allah, tidak ada yang patut menjajah kita kecuali
Allah, tidak ada yang patut kita cintai kecuali Allah.
La ilaha ila Llah, menuntut seorang muslim yang mengucapkan lafadz
tersebut benar-benar meng-esa-kannya dalam segala bidang. Setiap gerak tubuh,
jiwa dan jasad yang membungkusnya, mengejawantahkan makna lafadz
tersebut. Ketika hal itu dapat dilakukan, maka tidak saja kesalehan diri
dihadapan Allah yang terekspresi, bahkan kesalehan sosial di hadapan mahluk
Allah juga nampak dalam diri seseorang.
Apa yang dilakukan Salim Ibn
Abdullah Ibn Umar Ibn Khattab, adalah salah satu bentuk ekspresi La ilaha
ila Llah yang terbungkus dalam kosa kata yang lain. Artinya ketika kita
menampakkan rasa butuh kita di hadapan selain Allah maka secara tidak langsung
kita mengingkari makna La ilaha ila Llah itu sendiri. Karena La ilaha
ila Llah juga bermakna tidak ada yang boleh mengetahui kebutuhan kita
kecuali Allah. Salim menghawatirkan ada yang mengetahui kebutuhannya selain
Allah. Ada yang mencukupinya selain Allah, dan kemudian dia menghambakan diri
kepada selain Allah.
Seorang teman bercerita tentang
budaya orang Betawi. Orang Betawi biasanya mengukur apa yang harus dikerjakan
setiap harinya sesuai dengan kebutuhannya. Katakanlah seseorang membutuhkan Rp.
10.000.00 perhari, maka ketika uang sejumlah itu didapatkan, orang itu
menghentikan pekerjaannya meski hari masih pagi. Bahkan ketika suatu hari
seorang betawi mendapat peruntungan Rp. 50.000.00 dalam sehari yang menurut
kalkulasi dia dapat menghidupi diri selama lima hari, maka dia tidak bekerja
untuk lima hari ke depan. Perilaku seperti ini sebenarnya merupakan ajaran
sufiyah, ajaran ulama-ulama kita terdahulu. Diharapkan seorang muslim yang
menjalankan perilaku ini menjadi bagian dari orang yang dicirikan dalam al
Quran, Rijaalun laa tulhiihim tijaratun wa
la bai’un ila dzikrillah. Seseorang yang aktivitas
perekonomiannya tidak membuat terlupa pada dzikrullah.
Secara tidak langsung
praktek kehidupan masyarakat Betawi itu adalah praktek ber-La ilaha ila Llah.
Di sisi lain, kita juga menemui
orang-orang yang begitu memperhatikan status sosial, ketika seseorang diangkat
dalam posisi seorang pejabat, meski dalam strata yang terendah, katakanlah
eselon VI. Dia disibukkan dengan mengumpulkan harta untuk mengejar kepantasan
bagi seorang pejabat. Harus bermobil meski jelek. Harus ini dan itu, hingga
menghalalkan segala cara untuk memenuhinya. Orang-orang yang seperti ini
tidaklah sulit dicari di sekitar kita. Penghambaan pada materi seperti ini,
bila kita runut kembali merupakan bagian bagi pengingkaran diri terhadap La
ilaha ila Llah, meski orang tersebut di sisi lain rajin ke masjid atau
bertahlil. La ilaha ila Llah hanya menjadi lipstik pemanis bibir saja.
Abu Najih Ukassyah, Penulis adalah santri di Majlis Ta’lim Al Habib
Muhammad Ibn Idrus Al Haddad Malang.

Posting Komentar