Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Sudahkah kita ber Laa ilaha illallah? (1)

Sudahkah kita ber Laa ilaha illallah? (1)

Khalifah Hisyam bin Abdul Malik ketika memasuki Ka'bah pada saat melaksanakan ibadah haji bertemu dengan Salim ibn Abdullah ibn Umar ibn Khattab. Lalu ia berkata, "Wahai Salim, mintalah kepadaku kebutuhan-kebutuhanmu". Salim (cucu Umar r.a.) menjawab, "Saya malu di rumah Allah memohon kepada selain Allah." Ketika Salim keluar dari Ka'bah (Masjid al Haram), ia diikuti oleh Khalifah Hisyam seraya berkata, "Sekarang engkau sudah keluar dari Ka'bah maka mintalah apa saja yang engkau perlukan." Salim bertanya, "Dari kebutuhan duniawi atau kebutuhan akhirat?" Khalifah Hisyam menjawab, "Dari kebutuhan duniawi." Salim kemudian berkata kepada Khalifah, "Saya tidak meminta kebutuhan duniawi dari Yang Memiliki Dunia. Bagaimana mungkin saya meminta dari orang yang tidak memiliki dunia?"

La ilaha illa Llah! Apa yang dilakukan oleh Salim Ibn Abdullah Ibn Umar Ibn Khattab, adalah ekspresi totalitas penghambaan kepada Allah dan manifestasi dari La ilaha illa llah. Sesungguhnya, bila kita dalami makna lafadz tahlil tersebut memang membutuhkan konsekwensi yang sangat besar dalam kehidupan kita. La ilaha illa Llah tidak dapat kita batasi pemaknaannya hanya dengan arti ‘tidak ada tuhan selain Allah’ saja. Sullamunnajah memberikan arti La ilaha illah llah bahwa tidak ada yang patut disembah di muka bumi ini, kecuali Allah. La ilaha ila Llah, bahkan juga bermakna; tidak ada yang patut dimintai pertolongan kecuali Allah, tidak ada yang patut menjajah kita kecuali Allah, tidak ada yang patut kita cintai kecuali Allah.

La ilaha ila Llah, menuntut seorang muslim yang mengucapkan lafadz tersebut benar-benar meng-esa-kannya dalam segala bidang. Setiap gerak tubuh, jiwa dan jasad yang membungkusnya, mengejawantahkan makna lafadz tersebut. Ketika hal itu dapat dilakukan, maka tidak saja kesalehan diri dihadapan Allah yang terekspresi, bahkan kesalehan sosial di hadapan mahluk Allah juga nampak dalam diri seseorang.

Apa yang dilakukan Salim Ibn Abdullah Ibn Umar Ibn Khattab, adalah salah satu bentuk ekspresi La ilaha ila Llah yang terbungkus dalam kosa kata yang lain. Artinya ketika kita menampakkan rasa butuh kita di hadapan selain Allah maka secara tidak langsung kita mengingkari makna La ilaha ila Llah itu sendiri. Karena La ilaha ila Llah juga bermakna tidak ada yang boleh mengetahui kebutuhan kita kecuali Allah. Salim menghawatirkan ada yang mengetahui kebutuhannya selain Allah. Ada yang mencukupinya selain Allah, dan kemudian dia menghambakan diri kepada selain Allah.

Seorang teman bercerita tentang budaya orang Betawi. Orang Betawi biasanya mengukur apa yang harus dikerjakan setiap harinya sesuai dengan kebutuhannya. Katakanlah seseorang membutuhkan Rp. 10.000.00 perhari, maka ketika uang sejumlah itu didapatkan, orang itu menghentikan pekerjaannya meski hari masih pagi. Bahkan ketika suatu hari seorang betawi mendapat peruntungan Rp. 50.000.00 dalam sehari yang menurut kalkulasi dia dapat menghidupi diri selama lima hari, maka dia tidak bekerja untuk lima hari ke depan. Perilaku seperti ini sebenarnya merupakan ajaran sufiyah, ajaran ulama-ulama kita terdahulu. Diharapkan seorang muslim yang menjalankan perilaku ini menjadi bagian dari orang yang dicirikan dalam al Quran, Rijaalun laa tulhiihim tijaratun wa la bai’un ila dzikrillah. Seseorang yang aktivitas perekonomiannya tidak membuat terlupa pada dzikrullah. 

Secara tidak langsung praktek kehidupan masyarakat Betawi itu adalah praktek ber-La ilaha ila Llah.

Di sisi lain, kita juga menemui orang-orang yang begitu memperhatikan status sosial, ketika seseorang diangkat dalam posisi seorang pejabat, meski dalam strata yang terendah, katakanlah eselon VI. Dia disibukkan dengan mengumpulkan harta untuk mengejar kepantasan bagi seorang pejabat. Harus bermobil meski jelek. Harus ini dan itu, hingga menghalalkan segala cara untuk memenuhinya. Orang-orang yang seperti ini tidaklah sulit dicari di sekitar kita. Penghambaan pada materi seperti ini, bila kita runut kembali merupakan bagian bagi pengingkaran diri terhadap La ilaha ila Llah, meski orang tersebut di sisi lain rajin ke masjid atau bertahlil. La ilaha ila Llah hanya menjadi lipstik pemanis bibir saja.


Abu Najih Ukassyah, Penulis adalah santri di Majlis Ta’lim Al Habib Muhammad Ibn Idrus Al Haddad Malang.
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger