Rasululllah
bersabda: “Barangsiapa mengangkat seseorang untuk mengurus perkara kaum
muslimin, lalu ia mengangkat orang tersebut, sementara dia mendapatkan orang
yang lebih layak dan sesuai daripada yang diangkatnya, maka dia telah
berkhianat kepada Allah dan Rasul-Nya”
Sementara itu Umar bin Khathab berkata: ”Barang siapa mengangkat seseorang
untuk perkara kaum muslimin, karena ia dicintai dan karena kekerabatan, maka ia
berkhianat kepada Allah, Rasulnya dan kaum muslimin”
Dalam hadits yang lain Rasululullah juga melarang memberikan jabatan kepada
orang yang meminta jabatan kepada orang yang meminta untuk mengusulkan diri
atas jabatan itu. Karena saat ini banyak calon pemimpin yang menawarkan diri
dan meminta untuk dipilih, dengan berbagai cara kampanye dan promosi agar
mereka dipilih. Maka saat ini kita perlu melihat dibalik keinginan dipilih yang
kita lihat. Tentu keinginan itu dilandasi berbagai alasan, apakah memang ambisi
pribadi, keinginan umat, atau motif lainnya. Tentunya kita perlu jeli, memilih
pemimpin yang menawarkan diri karena dilatarbelakangi oleh desakan dan dorongan
umat atau sebagian besar masyrakat. Dan, yang jelas Rasullulah melarang
memberikan suatu jabatan untuk orang-orang yang memang menghendaki jabatan
tersebut.
Masalahnya akan timbul manakala ada orang yang benar-benar layak dan sesuai itu
jarang ditemukan. Solusinya, dari sejumlah calon yang akan diseleksi dan
dipilih yang terbaik. Orang yang terpilih itu hendaknya memenuhi dua kriteria
yaitu quwwah (kuat) dan amanat (jujur dan dapat dipercaya). Dasarnya firman
Allah:
... إِنَّ خَيرَ مَنِ اسْتَأجَرْتَ القَوِيُّ الاَمِينَ
”Karena sesungguhnya orang yang paling baik untuk kamu ambil untuk (bekerja
kepada kamu) adalah orang yang kuat lagi dipercaya.” ( QS 28 : 26 ).
Dalam pemerintahan, kekuatan adalah sikap adil sebagaimana dicontohkan Al
Qur’an dan As Sunnah di samping aktualisasinya ditengah masyarakat. Dan
pemimpin yang amanat erat kaitannya dengan rasa takut kepada Allah.
Realitasnya orang memiliki sifat quwwah dan amanat sekaligus sangatlah jarang.
Jika yang ada hanya orang yang bersifat quwwah dan amanat, maka prioritas utama
ditentukan menurut kebutuhan di wilayah yang dipimpinnya.
Seorang pemimpin (Imam sholat) atau khathib pastilah ia seorang panglima perang
dan pemegang jabatan lainnya. Itulah yang dicontohkan Rasulullah dan Khulafaur
Rasyidin. Untuk itulah proses pemilihan imam sholat yang dicontohkan Rasulullah
digunakan dalam mengangkat orang yang paling tepat menjadi pemimpin.
Karena itu dalam masjid sebetulnya tempat pengkaderan calon pemimpin yaitu
melalui aktivitas sholat jamaah. Di masjid akan ditemukan suatu miniatur
kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada imam (pemimpin), ada makmum (rakyat) dan
ada syarat atau rukun sholat berjamaah.
Lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, bangsa ini telah mengalami 6
periode masa kepemimpinan. Namun, keadilan dan kemakmuran belum bisa dinikmati
secara nyata. Masih perlukah ini dipertahankan? Mengapa tidak ada keberanian
mencoba metodologi yang ditawarkan Rasulullah? Ingatlah sejarah Umar bin Abdul
Aziz. Beliau hanya perlu waktu 29 bulan untuk mengubah negara yang kacau
menjadi negara yang adil dan merata. Beliau bisa berhasil karena menggunakan
metodologi Rasulullah SAW.
Pada masa Umar bin Abdul Aziz inilah bisa kita lihat, bahwa sesuatu yang dimulai dengan kebenaran akan menghasilkan sesuatu yang benar. Pada saat itu Umar bin Abdul Aziz di pilih dan diangkat oleh rakyatnya, bukan minta dipilih dan diangkat. Sehingga yang pada saat pelantikan beliau mengatakan bahwa kepemimpinan yang dipegangnnya adalah suatu beban berat namun, beliau akan memikul amanah itu karena itu adalah kehendak rakyat. Karena itulah, saat mengetahui dipilih menjadi khalifah, beliau berucap “Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun” dan bukannya sujud syukur atau bahkan malah syukuran.
Pada masa Umar bin Abdul Aziz inilah bisa kita lihat, bahwa sesuatu yang dimulai dengan kebenaran akan menghasilkan sesuatu yang benar. Pada saat itu Umar bin Abdul Aziz di pilih dan diangkat oleh rakyatnya, bukan minta dipilih dan diangkat. Sehingga yang pada saat pelantikan beliau mengatakan bahwa kepemimpinan yang dipegangnnya adalah suatu beban berat namun, beliau akan memikul amanah itu karena itu adalah kehendak rakyat. Karena itulah, saat mengetahui dipilih menjadi khalifah, beliau berucap “Innalillahi wa inna ilaihi roji’uun” dan bukannya sujud syukur atau bahkan malah syukuran.
Negeri ini sebetulnya memiliki banyak calon pemimpin, namun untuk mencari
profil pemimpin yang adil saat ini jauh dari harapan. Tetapi kita tidak boleh
putus asa. Kita wajib berusaha semaksimal mungkin. Untuk memilih siapa wakil
kita dan siapa pemimpin kita.
والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا وإن الله لمع المحسنين
“Dan barangsiapa yang bersungguh-sungguh, maka Allah pasti akan menunjukkan
jalan keluar.” (QS. 29 :69).
Immasjid

Posting Komentar