Pertama: Dalam sehari semalam waktu kehidupan
yang diberikan Allah kepada kita adalah 24 jam atau selama 1440 menit. Kemudian
Allah telah mewajibkan kita untuk melaksanakan “sholat” sebanyak 5 kali
dalam sehari semalam. Berdasarkan hitungan akal sehat, maka “sholat”
yang diwajibkan kepada kita tersebut, untuk setiap kalinya mulai dari “thaharah”
sampai dengan berakhirnya “sholat” yang hanya 2 sampai 4
raka’at itu, lamanya sholat yang diwajibkan tersebut paling banyak 15 menit.
Dan itu berarti total waktu sehari semalam yang terpakai untuk melaksanakan
sholat yang Allah wajibkan hanyalah 75 menit, atau hanya kurang lebih 5% dari
total waktu yang Allah berikan kepada kita. Akan tetapi nyatanya tetap saja
kita merasa berat dan sulit, padahal waktu yang diberikan Allah kepada kita
untuk urusan lainnya jauh lebih banyak.
Kedua: Dalam setahun hidup yang kita jalani
berjumlah 365 hari. Dan Allah SWT hanya mewajibkan kita “puasa” 29 atau
30 hari, itupun tidak mutlak 24 jam dalam sehari semalam yang kita jalani. “Puasa”
yang diwajibkan hanya berkisar antara 14-16 jam dalam sehari semalam. Alangkah
ironisnya jika hal itu masih kita sebut sebagai sesuatu yang memberatkan dan
menyulitkan.
Ketiga: Jika kita punya uang/harta senilai
100 juta, maka “zakat” yang wajib kita keluarkan hanya 2,5% atau
2,5 juta. Sementara sisanya bisa kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan dan
kepentingan pribadi kita. Dan itupun tidak serta merta harus kita keluarkan
zakatnya, atau dengan kata lain; Bahwa Allah SWT hanya mewajibkan kita untuk
mengeluarkan zakat dari uang/harta yang 100 juta tersebut, setelah kita kurangi
dengan hutang piutang yang harus kita lunasi, jika “hisab dan nasabnya” masih
terpenuhi. Sungguh suatu kemudahan bagi pemilik harta yang selalu merasa berat
untuk mengeluarkan zakatnya.
Ke-empat: Walaupun Allah telah mewajibkan “Haji”,
akan tetapi hal itu tidaklah mutlak dan harus ditunaikan dengan begitu saja.
Kewajiban melaksanakan “Haji” tidak cukup hanya dengan memiliki
harta/ongkos saja, akan tetapi juga meliputi aspek-aspek lainnya
seperti kesehatan; jaminan keamanan; pelayanan dan lain sebagainya. Jika
salah satunya tidak terpenuhi, maka kewajiban itu boleh ditinggalkan dan
diabaikan sampai semuanya lengkap terpenuhi.
Mengacu
pada beberapa “penjelasan” di atas, maka tentulah kita paham bahwa
sesung-guhnya agama Islam adalah “agama yang mudah dan menganjurkan
kemudahan”. Akan tetapi disinilah letak masalahnya, bahwa dengan
pemahaman tersebut makin banyak orang yang salah paham dan meletakkan kemudahan
ini bukan pada tempatnya, sehingga “dengan dorongan hawa nafsunya”
mereka lalu mencari dan membuat alasan untuk dan sebagai “pembenaran”.
Mereka beranggapan bahwa hal itu adalah “masalah khilafiyah” atau
mereka akan mengatakan; “Lebih baik begitu daripada tidak berbuat sama
sekali” atau “Semuanya tergantung niatnya”
“Islam itu adalah agama yang mudah dan dimudahkan” tapi bukanlah
untuk “dimudah-mudahkan”. Hal ini terlihat dari beberapa fenomena yang
ada di masa sekarang ini (khususnya yang terjadi pada kaum muslimin di negeri
yang kita cintai ini); Bahwa demi kepuasan nafsu dan kepentingan diri dan
dengan berbagai alasan sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, ada indikasi
bahwa “bukan kita lagi yang wajib menyesuaikan diri dengan ajaran Islam,
melainkan kita paksakan agar ajaran Islam itulah yang wajib menyesuaikan
diri dengan kehendak kita”.
Hal tersebut telah memberi isyarat, bahwa
seakan-akan kitalah yang menjadi pemilik syariat; bukan Allah SWT. Karenanya
banyak orang yang lebih cenderung dan selalu memilih pendapat yang
menurut dirinya enak dan nyaman untuk dilaksanakan, walaupun tidak mempunyai
dasar dan dalil yang bisa dipertanggungjawabkan. Naudzubillahi min dzalik!
Semoga
sedikit catatan yang disampaikan ini dapat membuka dan memperluas cakrawala
pemikiran dan pemahaman kita terhadap “agama Allah” yang sangat-sangat
kita yakini kebenaran dan keabsahannya. Dan tentunya sangat besar harapan kita;
bahwa dengan hidayah dan inayah-NYA, keimanan dan ketakwaan kita kian
sempurna. Wallahua’lam.
KH. Bachtiar ahmad

Posting Komentar