Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Sudahkah kita ber Laa ilaha illallah? (2)

Sudahkah kita ber Laa ilaha illallah? (2)

KH. Mustofa Bisri dalam ceramahnya di PP. Nurul Huda Mergosono beberapa waktu yang lalu bahkan menyatakan perilaku kita sehari-hari yang kadang ketika ingin membeli sesuatu memilih-pilih uang yang paling kusut untuk diberikan penjual, adalah bagian dari pengingkaran pada La ilaha ila Llah

Meski hal itu merupakan sesuatu yang remeh, tetapi secara tidak langsung perilaku tersebut menunjukkan kerdilnya hati kita yang tidak mampu melihat, meraba dan menerawang bukan pada palsu atau tidaknya uang tetapi mana Allah dan mana mahluk Allah. Kita dijajah oleh uang. Kita mengeluarkan sesuatu yang paling buruk bentuknya dari dompet kita karena dijajah oleh sesuatu yang masih bagus dan pantas menghuni dompet. Meski nilainya sama! Uang seribu kusut dan robek di sana sini dan uang seribu terbaru keluaran bank, apa bedanya? Sekali lagi nilainya sama! Perbedaan jasad mahluk Allah yang bernilai sama membuat jiwa kita tidak mampu menyatakan dalam tindakan kita La ilaha ila Llah, tidak ada yang boleh menjajah pikiran saya kecuali Allah.

Suatu hari seorang santri meminta izin untuk mengikuti tur perpisahan sekolahannya. Ketika ditanya bisakah dia tidak melakukan kemaksiatan sekecil apapun dalam tur itu? Dia menjawab, "Tidak!" Ketika kyai melarang, santri ini ngotot meminta izin dengan alasan sekali dalam seumur hidup, dan tidak enak dengan teman-temannya, karena sudah menyatakan ikut. Argumen santri ini, sebenarnya kalau kita jujur juga sering kita lakukan, datang kondangan karena tidak enak dengan yang mengundang. Padahal di majelis itu ada percampuran antara lawan jenis dan wanita-wanita yang membuka aurat dan lain sebagainya. Alasan tidak enak pada teman itu, adalah alasan yang sangat manusiawi. Sepertinya kita begitu perhatian dengan toleransi dalam bermasyarakat, kita adalah orang yang beradab karena menjaga perasaan orang. Tetapi bukankah itu termasuk mudahanah? Mengedepankan tidak enak dengan manusia dibanding tidak enak dengan Allah kalau menjalankan maksiat. Laa ilaha ila Llah, tidak ada yang patut disungkani kecuali Allah.

Di jalan-jalan kita sering melihat orang bershalawat atau membaca al Quran sambil menghentak-hentakkan keranjang, berkaos panitia pembangunan masjid atau mushalla. Betapa ikhlasnya mereka mengorbankan harga dirinya meminta-minta untuk membangun bait Allah. Tetapi kenapa masjid yang begitu indah dibangun dengan dana yang diperoleh dari jalanan seperti itu, kosong miskin jemaah? Jangan-jangan hal ini disebabkan cara pengumpulan dana yang seperti itu merupakan bagian dari pengingkaran pada Laa ilaha ila Llah, tidak ada yang bisa diminta-minta kecuali Allah. Al Quran menyatakan la masjidun ussisa ala at taqwa. Masjid dibangun berlandaskan ketaqwaan. Bagaimana kita mampu melandasi pembangunan masjid dengan ketaqwaan, bila cara pengumpulan dananya tidak ber-La ilaha ila Llah? Menampakkan kefakiran di hadapan mahluk yang tidak memiliki kemampuan apapun tanpa campur tangan Allah.

Penulis menduga, banyak kyai yang begitu tidak menyukai santri-santrinya menjadi pegawai negeri, meski kemudian menyerahkan solusinya pada masing-masing pribadi, adalah dalam rangka mengarahkan santrinya untuk ber-La ilaha ila Llah. Seorang pegawai diatur secara ketat kehidupannya oleh undang-undang negara, dengan demikian secara tidak langsung ada penghambaan dan penjajahan pada diri seorang pegawai negeri oleh selain Allah. Padahal kesaksian Laa ilaha ila Llah yang disampaikan seorang muslim menuntut dia untuk tidak mau dijajah oleh siapapun kecuali Allah.

Bila kita mengupas semua bagian kehidupan kita, rasanya banyak sekali poin La ilaha ila Llah yang kita tinggalkan atau sengaja kita abaikan.

Semoga saja dawuh Rasulullah, Man qaala La ilaha ila Llah, dakhala al jannah (Barang siapa yang mampu mengucap La ilaha ila Llah maka dia masuk surga) cukup dalam ucapan lisan saja sehingga kita masih bisa berharap surga Nya. Tetapi bila yang dikehendaki Rasulullah tidak sekedar berucap bibir, tapi juga ucap fikir, ucap tubuh, ucap tiap gerak langkah hidup kita, masih pantaskan kita berharap surgaNya? Sudahkah kita ber-Laa ilaha ila Llah?



Abu Najih Ukassyah, Penulis adalah santri di Majlis Ta’lim Al Habib Muhammad Ibn Idrus Al Haddad Malang.
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger