KH. Mustofa Bisri dalam ceramahnya
di PP. Nurul Huda Mergosono beberapa waktu yang lalu bahkan menyatakan perilaku
kita sehari-hari yang kadang ketika ingin membeli sesuatu memilih-pilih uang
yang paling kusut untuk diberikan penjual, adalah bagian dari pengingkaran pada
La ilaha ila Llah.
Meski hal itu merupakan sesuatu yang remeh, tetapi secara
tidak langsung perilaku tersebut menunjukkan kerdilnya hati kita yang tidak
mampu melihat, meraba dan menerawang bukan pada palsu atau tidaknya uang tetapi
mana Allah dan mana mahluk Allah. Kita dijajah oleh uang. Kita mengeluarkan
sesuatu yang paling buruk bentuknya dari dompet kita karena dijajah oleh
sesuatu yang masih bagus dan pantas menghuni dompet. Meski nilainya sama! Uang
seribu kusut dan robek di sana sini dan uang seribu terbaru keluaran bank, apa
bedanya? Sekali lagi nilainya sama! Perbedaan jasad mahluk Allah yang bernilai
sama membuat jiwa kita tidak mampu menyatakan dalam tindakan kita La ilaha
ila Llah, tidak ada yang boleh menjajah pikiran saya kecuali Allah.
Suatu hari seorang santri meminta
izin untuk mengikuti tur perpisahan sekolahannya. Ketika ditanya bisakah dia
tidak melakukan kemaksiatan sekecil apapun dalam tur itu? Dia menjawab,
"Tidak!" Ketika kyai melarang, santri ini ngotot meminta izin dengan
alasan sekali dalam seumur hidup, dan tidak enak dengan teman-temannya, karena sudah
menyatakan ikut. Argumen santri ini, sebenarnya kalau kita jujur juga sering
kita lakukan, datang kondangan karena tidak enak dengan yang mengundang.
Padahal di majelis itu ada percampuran antara lawan jenis dan wanita-wanita
yang membuka aurat dan lain sebagainya. Alasan tidak enak pada teman itu,
adalah alasan yang sangat manusiawi. Sepertinya kita begitu perhatian dengan
toleransi dalam bermasyarakat, kita adalah orang yang beradab karena menjaga
perasaan orang. Tetapi bukankah itu termasuk mudahanah? Mengedepankan tidak
enak dengan manusia dibanding tidak enak dengan Allah kalau menjalankan
maksiat. Laa ilaha ila Llah, tidak ada yang patut disungkani kecuali
Allah.
Di jalan-jalan kita sering melihat
orang bershalawat atau membaca al Quran sambil menghentak-hentakkan keranjang,
berkaos panitia pembangunan masjid atau mushalla. Betapa ikhlasnya mereka
mengorbankan harga dirinya meminta-minta untuk membangun bait Allah. Tetapi
kenapa masjid yang begitu indah dibangun dengan dana yang diperoleh dari jalanan
seperti itu, kosong miskin jemaah? Jangan-jangan hal ini disebabkan cara
pengumpulan dana yang seperti itu merupakan bagian dari pengingkaran pada Laa
ilaha ila Llah, tidak ada yang bisa diminta-minta kecuali Allah. Al Quran
menyatakan la masjidun ussisa ala at taqwa. Masjid dibangun berlandaskan
ketaqwaan. Bagaimana kita mampu melandasi pembangunan masjid dengan ketaqwaan,
bila cara pengumpulan dananya tidak ber-La ilaha ila Llah? Menampakkan
kefakiran di hadapan mahluk yang tidak memiliki kemampuan apapun tanpa campur
tangan Allah.
Penulis menduga, banyak kyai yang
begitu tidak menyukai santri-santrinya menjadi pegawai negeri, meski kemudian
menyerahkan solusinya pada masing-masing pribadi, adalah dalam rangka
mengarahkan santrinya untuk ber-La ilaha ila Llah. Seorang pegawai
diatur secara ketat kehidupannya oleh undang-undang negara, dengan demikian
secara tidak langsung ada penghambaan dan penjajahan pada diri seorang pegawai
negeri oleh selain Allah. Padahal kesaksian Laa ilaha ila Llah yang
disampaikan seorang muslim menuntut dia untuk tidak mau dijajah oleh siapapun
kecuali Allah.
Bila kita mengupas semua bagian
kehidupan kita, rasanya banyak sekali poin La ilaha ila Llah yang kita
tinggalkan atau sengaja kita abaikan.
Semoga saja dawuh Rasulullah, Man qaala La ilaha ila Llah, dakhala al jannah (Barang siapa yang mampu mengucap La
ilaha ila Llah maka dia masuk surga) cukup dalam ucapan lisan saja
sehingga kita masih bisa berharap surga Nya. Tetapi bila yang dikehendaki
Rasulullah tidak sekedar berucap bibir, tapi juga ucap fikir, ucap tubuh, ucap
tiap gerak langkah hidup kita, masih pantaskan kita berharap surgaNya? Sudahkah
kita ber-Laa ilaha ila Llah?
Abu Najih Ukassyah, Penulis adalah santri di Majlis Ta’lim Al Habib
Muhammad Ibn Idrus Al Haddad Malang.

Posting Komentar