Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » , » Benarkah Doa Berbuka "Allahumma Laka Sumthu" Tidak Sesuai Sunnah (1)

Benarkah Doa Berbuka "Allahumma Laka Sumthu" Tidak Sesuai Sunnah (1)

Sangat disayangkan perilaku segelintir orang yang dengan gegabah menjatuhkan vonis tidak sesuai sunah (bid’ah) kepada doa buka puasa yang berbunyi “Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizqika afthartu”, dengan alasan (katanya) haditsnya dhaif (lemah), yang sesuai sunah adalah doa yang berbunyi “Dzahaba zama’u...”.

Pernyataan ini tidak elok muncul dari seorang muslim yang baik agamanya. Sebuah klaim yang besar kemungkinan hanya didasarkan kepada semangat, tanpa diiringi dengan ilmu yang memadahi. Oleh karena itu, pada kesempatakan kali ini ijinkanlah kami untuk mengupas masalah ini secara ilmiyyah, sehingga bisa menjadi pencerahan bagi kita sekalian.

Pembaca yang dimulikan Allah. Imam Abu Dawud As-Sijistani (w.275 H) dalam “Sunan Abu Dawud” nomor (2358) telah meriwayatkan dari Mu’adz bin Zahrah, sesungguhnya telah sampai kepada beliau:

ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲَّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻛَﺎﻥَ ﺇِﺫَﺍ ﺃَﻓْﻄَﺮَ، ﻗَﺎﻝَ : ﺍﻟﻠﻬُﻢَّ ﻟَﻚَ ﺻُﻤْﺖُ ﻭَﻋَﻠَﻰ ﺭِﺯْﻗِﻚَ ﺃَﻓْﻄَﺮْﺕُ

“Sesungguhnya Nabi apabila berbuka, beliau mengucapkan : Allahumma laka shumtu wa ‘ala rizquka afthartu ( Ya Allah ! bagi-Mu aku berpuasa dan atas rezeki-Mu aku berbuka ).”

Di dalam Jalan periwayatan hadits ini terdapat seorang rawi yang bernama Mu’adz bin Zuhrah atau kadang disebut dengan Mu’adz Abu Zuhrah. Beliau ini seorang tabi’in tingkatan ke tiga yang tentu tidak berjumpa dengan nabi, akan tetapi langsung meriwayatkan dari Nabi. Ini dalam ilmu hadits dinamakan hadits mursal, tapi sanad riwayat ini hasan. 

Imam Abu Dawud menyebutkan hadits ini dalam “Sunan-nya” dalam kondisi tidak memberikan komentar apapun. Dalam ilmu musthalah hadits, hal ini menunjukkan bahwa hadits tersebut “shalih” (baik) di sisi beliau.

Lalu bolehkan hadits yang statusnya mursal hasan diamalkan ? Jawabnya boleh dengan beberapa argument, diantaranya:

(1). Isi hadits di atas seputar masalah doa buka puasa. Dan ini termasuk masalah bab targhib (motivasi) atau bisa dikatakan dalam bab fadhailul a’mal (keutamaan amalan), bukan termasuk masalah pokok agama, seperti masalah aqidah, halal dan haram, dan yang semisalnya. Menurut mayoritas ahli hadits, mengamalkan hadits lemah (dengan kelemahan ringan) dalam bab fadhailul a’mal diperbolehkan.

(2). Lafadz doa pada hadits di atas telah dianjurkan untuk dibaca oleh jumhur ulama (mayoritas ulama) termasuk di dalamnya empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali). Silahkan cek sendiri kitab-kitab fiqh dari empat madzhab, insya Allah akan ditemukan hal ini. Dalam pandangan imam Syafi’i, hadits mursal boleh diamalkan ketika memiliki pendukung salah satu dari empat perkara, salah satunya : bahwa isi hadits tersebut menjadi pendapat dan diamalkan oleh mayoritas ulama. (Simak kitab Al-Majmu Syarhul Muhadzdzab : 6/206).

(3). Dalam sebuah riwayat disebutkan, bahwa salah satu tempat yang mustajab seorang berdoa adalah menjelang buka puasa. Riwayat tersebut berbunyi:

ﺇِﻥَّ ﻟِﻠﺼَّﺎﺋِﻢِ ﻋِﻨْﺪَ ﻓِﻄْﺮِﻩِ ﺩَﻋْﻮَﺓً ﻣَﺎ ﺗُﺮَﺩُّ

“Sesungguhnya orang yang berpuasa memiliki doa yang tidak akan ditolak ketika berbuka.” [HR. Ibnu Majah].

Kata “doa” dalam hadits di atas datang dalam bentuk “nakirah” (kata benda yang tak tertentu) yang memiliki sifat umum meliputi doa apa saja, misal : doa mohon rejeki, kesehatan, keberkahan, ataupun yang lainnya, termasuk di dalamnya doa dengan lafadz “Allahumma laka shumtu”. Jadi, walaupun doa ini secara riwayat lemah, namun isinya telah mendapatkan justifikasi dari hadits lain yang shahih.

(4). Doa “Allahumma lak shumtu” telah dihasankan oleh Syaikh Syua’ib Al-Arnauth dalam tahqiq beliau kepada kitab Al-Adzkar hlm. (190) karya Imam An-Nawawi dengan berbagai syawahid (penguat dari berbagai jalur periwayatan). Ini sebagai bukti, bahwa ulama tidak sepakat akan kelemahan doa ini. 

Bahkan kalau kita mau jujur, doa “Dzahaba zama’u” telah dilemahkan oleh Syaikh Muqbil bin Hadi, Yaman. Ini sebagai bukti kalau ulama ahli hadits tidak sepakat akan keshahihan doa ini. Lalu setelah ini, pantaskah seorang menghklaim doa ini paling sesuai sunah dan yang itu tidak sesuai sunah/bidah ? Jawab : amat sangat tidak pantas.


Ust. Abdullah al Jirani
Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger