Perlu
ditegaskan lagi, yang terlarang dan harus diwaspadai adalah penurunan kualitas
keimanan yang terus-menerus. Sedangkan penurunan sesaat kemudian meningkat pada
saat lain belum termasuk fenomena futur. Kalaupun disebut futur, tergolong
futur yang ringan.
Fenomena itu merupakan fluktuasi wajar dan manusiawi pada setiap insan,
sebagaimana Rasulullah pernah sampaikan bahwa keimanan itu terkadang yazid
(meningkat) dan terkadang yanqush (menurun).
Karena perbedaan yang lumayan tipis ini sejumlah sahabat Nabi ada yang pernah
mengkhawatiri dirinya terhinggapi penyakit futur berupa nifaq (kemunafikan).
Salah seorang diantaranya adalah Hanzhalah RA dan Abu Bakar RA.
Suatu hari Hanzhalah menemui Abu Bakar, sahabat Rasulullah SAW yang paling
setia. Ia berkata: “Wahai Abu Bakar! Sungguh aku ini telah nifaq!”
Abu Bakar terkejut mendengar ucapan Hanzhalah tersebut dan bertanya, “Mengapa
demikian?”
Hanzhalah menjawab, “Sesungguhnya jika aku dekat dengan Rasulullah dan mendengar
nasihat-nasihat beliau maka terbayanglah surga dan neraka di hadapanku. Tetapi
bila aku jauh, dan telah berkumpul bersama keluargaku, maka hal itu tidak
terbayangkan lagi.”
Abu Bakar kemudian berkata: Demi Allah, Hanzhalah! Akupun merasakan hal yang sama.”
Maka kedua orang sahabat ini kemudian pergi menemui Rasulullah SAW untuk
mengungkapkan perasaan hati mereka.
Rasulullah SAW tersenyum dan menasehati keduanya, bahwa memang jika bayangan
surga dan neraka itu terus-menerus melekat alangkah baiknya, namun apa yang
terjadi pada mereka bukanlah nifaq, melainkan sekedar pergantian suasana batin.
Kata beliau, “Sesaat dan sesaat.”
Maksudnya, suasana batin setiap manusia ada saatnya khusyuk dalam menerima
nasihat agama, sementara pada saat yang lain tenggelam dalam keceriaan bersama
keluarga. Itu sangat manusiawi, bahkan Rasulullah pun berlaku demikian. Jika
sedang bersama keluarganya, beliau asyik bercanda dan bercengkrama, tetapi
begitu mendengar adzan beliau segera beranjak pergi ke masjid.
Jadi ada perbedaan antara mereka dengan Ubaidillah bin Jahsy. Rasulullah dan
sahabatnya hanya sesaat membiarkan dirinya ceria bersama keluarga, kemudian
pada saat yang lain segera sbuk dalam kativitas meningkatkan iman kembali.
Sedangkan Ubaidillah bin Jahsy terus membiarkan dirinya tenggelam dalam
kesesatan tanpa mau kembali ke jalan kebenaran.
Dalam hadits lain Rasulullah menyatakan, kalaupun seseorang berada dalam
keadaan futur, hendaknya masih tetap berada dalam koridor sunnahnya:
“Bagi tiap-tiap amal ada masa-masa rajinnya, dan tiap-tiap masa rajin itu ada
saat-saat menurunnya (futur). Barangsiapa yang saat-saat menurunnya (tetap
berpegang) kepada sunnahku, maka sesungguhnya ia telah memperoleh petunjuk, dan
barangsiapa yang saat-saat menurunnya (berpegang) kepada sunnahku, maka
sesungguhnya ia telah memperoleh petunjuk, dan barangsiapa yang saat-saat
menurunnya (berpegang) kepada selain sunnahku, maka sungguhnya ia telah
tersesat. (HR Al-Bazzar)
Futur berasal dari bahasa Arab yang artinya terputus, berhenti, malas dan
lambat, setelah sebelumnya rajin dan konsisten. Dalam konteks dakwah, futur
bermakna kondisi menurunnya semangat beriman dan beramal shalih, serta
melemahnya gairah seseorang dalam berjihad dan berdakwah.
Seperti yang ditunjukkan pada contoh-contoh diatas, futur terdiri dari banyak
tingkatan. Yang paling ringan adalah apabila sesorang mengalami penurunan
kualitas ruhiah ibadah dan amal shalih. Lebih jauh adalah tingkatan yang mulai
meninggalkan sama sekali ibadah dan amal shalih tersebut. Dan yang paling parah
adalah meninggalkan keimanan sama sekali sebagaimana terjadi pada Ubaidillah
bin Jahsy.
Dalam konteks dakwah kontemporer, fenomena futur kerap muncul dalam sejumlah
kasus. Seorang ustadz yang telah almarhum pernah bertutur, “Kita adalah orang-orang
yang insya Allah telah teruji daya tahan kita dalam menghadapi masa-masa sulit.
Namun belum teruji di saat memasuki masa-masa mudah. Dulu adalah hal biasa
salah seorang di antara kita berjalan kaki dari Bogor ke Puncak untuk mengisi
daurah di sebuah villa pinjaman, karena kita tak punya uang. Kita kuat.” Beliau
khawatir para kader-kader dakwah justru akan mengalami futur di saat memasuki
masa-masa mudah. “Saya justru khawatir ketangguhan itu akan hilang di saat kita
telah mampu ke Puncak dengan mobil sendiri, di saat kenikmatan dunia mulai
berada di sekitar kita,” katanya. Allahu’alam bish-shawab
Untung Wahono
Posting Komentar