Ada sebuah ayat dalam Al-Qur’an yang cukup menarik perhatian saya. Dalam surah al-A’raaf ayat 96 difirmankan, “Walau anna ahlal-quraa aamanuu wattaqau lafatahnaa `alaihim barakaatim minas-samaa’ i wal-ardhi” (jika para penduduk desa/kota beriman dan bertakwa, niscaya Allah akan membukakan keberkahan dari langit dan bumi). Hemat saya, sepertinya ayat ini tidak ditujukan kepada orang-orang Arab waktu itu yang menjadi pendengar Nabi Saw. Benar, memang Al-Qur’an itu bagi seluruh umat manusia, tetapi ayat ini secara khusus sedang membicarakan suatu kaum tertentu. Suatu bangsa yang telah mengenal peradaban yang tinggi, yang telah berbudaya, yang mengenal suatu sistem pemerintahan yang telah tertata.
Yang mendapatkan penekanan di ayat tersebut —menurut K.H. Maemun Zubair, salah seorang sesepuh Nahdlatul Ulama— adalah ahlal-quraa, yang artinya para penduduk desa/Kota. Ini menarik sekali, menurut saya penduduk “desa” atau “nagari” ini banyak sekali di Indonesia. Saat ini desa di Indonesia saja sudah mencapai ribuan jumlahnya. Bagaimana dengan di Jazirah Arab saat itu? Menurut Kiai Sepuh itu dalam ceramahnya pada puncak Haul Pesantren Buntet Cirebon 11/03/2006, “Di Arab tidak ada desa. Adanya (waktu turun ayat itu) adalah suku Badui yang hidupnya (nomaden) seperti tawon, kalau kepala sukunya pindah mereka ikut pindah. Makanya, ayat ini untuk Indonesia”.
Jadi jelas pengertian desa yang menetapkan diri selamanya di suatu wilayah hukum, tidak sama dengan nomaden. Sebuah desa, dalam sistem pemerintahan Indonesia adalah tatanan kemasyarakatan yang diberi kewenangan mengatur dirinya sendiri sesuai budaya setempat, berbeda dengan kelurahan. Sebuah kelurahan tidak mengatur dirinya sendiri. Ia setidaknya tidak mengikatkan hukum pada tradisi dan adat istiadat yang kental seperti pada sebuah desa. Di Cirebon misalnya, kepala desa lazim disebut Kuwu. Ia bukan seorang pegawai negeri, tapi yang dituakan, yang dihormati dan dinobatkan oleh warganya. Berbeda dengan kelurahan, seorang Lurah diangkat oleh pemerintahan yang lebih tinggi, ia seorang pegawai negeri.
Nomaden itu pola hidup berpindah-pindah, tidak menetap di suatu tempat. Jadi budaya yang mapan tidak tercipta dalam hidup nomaden seperti ini. Hukum yang berlaku masih sangat sederhana, seringkali kepala suku memerintah secara sewenang-wenang dan despotik a La Genghis Khan. Nomaden itu boleh dibilang pola hidup yang masih primitif bila dinilai orang modern saat ini.
Nampak dalam ayat itu, Baginda Nabi memiliki visi yang jauh
sekali. Seolah-olah Nabi ingin menyampaikan pesan kepada pengikutnya yang masih
nomaden itu suatu ketika mereka mampu memiliki sistem pemerintahan yang
tertata, yang beradab dan berbudaya.. yaitu masyarakat desa, masyarakat
berbudaya yang beriman dan bertakwa, seperti disebut dalam ayat itu. Dan,
kriteria desa seperti itu adanya di bumi Nusantara yang masuk peradaban besar
Shind/Indies. Kenapa? Karena Nabi sendiri bersabda,”belajarlah sampai ke negeri Shind”.
Posting Komentar