Jl. Kudus Colo Km. 5, Belakang Taman Budaya Bae Krajan, Kudus
Home » » Nabi Telah "Menyaksikan" Indonesia di Masa Depan (2)

Nabi Telah "Menyaksikan" Indonesia di Masa Depan (2)

Amat logis, Nabi akan menganjurkan orang belajar ke negeri-negeri yang maju, yang pantas dijadikan teladan. Mungkin dalam pandangan Nabi, negeri Shind adalah negeri yang mendapat berkah dari langit dan bumi, sehinga pantas dicontohi oleh para pengikutnya.

"Di kala Barat masih hidup di gua-gua, di kala Arab masih mukim di tenda-tenda, bangsa kita sudah mengekspor rempah-rempahnya dengan maskapai sendiri ke Afrika dan tempat2 lainnya di belahan dunia."

Ada juga hadits dari Ibu Aisyah ra bahwa saat haji perpisahan, tahallul dan ihram, tubuh Nabi diolesi Dzarirah (bedak wangi dari Shind/Indies) . Di sini tidak semata-mata Nabi menggunakan term ahlal-quraa, jika ia belum pernah melihat rupa desa atau nagari atau negeri sebelumnya. Mungkin saat berdagang semasa muda, Nabi pernah singgah di desa-desa di wilayah peradaban Shind.

Nabi ingin mewujudkan masyarakat madani, atau dengan kata lain, penguatan masyarakat sipil (civil society) seperti yang pernah ia saksikan di Shind selama perjalanan berdagang. Jangan lagi terjebak dalam konsep iman dan takwa yang formalistik ritual model agama tertentu, tetapi benar-benar diwujudkan dalam kesalehan sosial, dalam kasih terhadap umat manusia yang satu adanya sehingga tertata kehidupan yang damai, aman, tentram dan sejahtera (maslahah ammah atau bonum commune).

Saya meyakini ayat dalam surah al-Araaf ini relevan dengan bangsa Indonesia sejak turunnya yang kali pertama hingga kini. Utamanya bagi orang-orang awam di grass root yang hidup di desa-desa. Sekarang yang penting adalah desanya. Kunci keberkahan adalah desa, dan desa tidak lepas dari kehidupan budaya. Desa, menurut saya adalah cagar budaya. Hatta setiap desa punya adat istiadat dan tradisi yang khas, namun mirip-mirip karena masih dalam lautan budaya Nusantara. Budaya bangsa kita adalah suka hidup dalam damai. Apresiatif terhadap perbedaan. Kekerasan bukanlah budaya kita.

Sekarang terlihat jelas ada upaya kelompok agama yang mencuci otak warga bangsa ini hingga ke pelosok desa supaya ingkar budaya sendiri. Itu bertentangan dengan visi Nabi di atas.

Mengingkari budaya, menolak kebhinnekaan berarti mendustakan ayat-ayat Tuhan adalah suatu perbuatan yang niscaya mengundang azab seperti disebutkan dalam surah Al-Araaf berikutnya, wa laakin kadzdzabuu fa akhadznaahum bimaa kaanuu yaksibuun.

Nabi tidak menolak tradisi di Arab seperti tradisi thawaf, haji, puasa, dan lain-lain yang lazim diselenggarakan orang-orang Arab jauh sebelum kenabiannya. Nabi mengapresiasinya sebagaimana difirmankan, wa kadzalika anzalnahu hukman `rabiyan (demikianlah Aku turunkan Al-Quran itu kepadanya berupa hukum-hukum yang telah berlaku dalam masyarakat Arab).

Sejarah mencatat, bangsa kita menerima masuknya agama-agama manapun tanpa melalui perang dan paksaan. Begitu pun Islam, orang-orang Indonesia menerima agama ini dengan damai. Mereka ini yadkhuluna fi dinillahi afwaja. Bahkan kini Islam menjadi agama mayoritas. Islam menyebar secara gegantis lewat pesantren-pesantren kita yang menjadi ciri khas Islam di Indonesia. Bandingkan dengan Dinasti Moghul di India. Sudah beratus tahun dinasti ini berkuasa, toh tetap gagal menjadikan Islam sebagai mayoritas di sana.

Orang-orang Indonesia masuk Islam pada masa akhir-akhir. Islam menyebar ke Maroko, Tunisia dan Asia pada abad ke-7. Islam masuk pertama kali ke Aceh pada abad ini, tetapi tidak berkembang. Justru Islam berkembangnya di Jawa pada akhir abad ke-15 atau ke-16 hingga menyebar ke seluruh Nusantara. Ini dilakukan dengan cara-cara pendidikan pesantren. Untuk pertama kalinya adalah pesantren Ampel Dento, yang serambi masjidnya bukan model Arab, melainkan mengadopsi Pendopo Brawijaya.

Apa yang diteladankan Sunan Ampel dengan pesantrennya itu, adalah Islam yang mengapresiasi budaya kita sendiri, tanpa harus meniru-niru Arab. Sehingga Islam bisa tersebar dengan damai, tanpa menyakiti awam di desa-desa karena tercerabut dari akar budayanya. Masjid yang dibangun Sunan Kudus juga mirip bangunan Pura, tempat suci agama Hindu.

 

Pesantren Budaya

Adv 1
Share this article :

Posting Komentar

 
Musholla RAPI, Gg. Merah Putih (Sebelah utara Taman Budaya Kudus eks. Kawedanan Cendono) Jl. Raya Kudus Colo Km. 5 Bae Krajan, Bae, Kudus, Jawa Tengah, Indonesia. Copyright © 2011. Musholla RAPI Online adalah portal dakwah Musholla RAPI yang mengkopi paste ilmu dari para ulama dan sahabat berkompeten
Dikelola oleh Remaja Musholla RAPI | Email mushollarapi@gmail.com | Powered by Blogger