Amr ibn al ‘Ash berkata, “Tidak seorangpun yang lebih aku cintai dibandingkan Rasulullah dan tidaklah ada yang lebih mulia dibandingkan beliau. Tidaklah aku mampu memenuhi mataku ini dari beliau karena memuliakan beliau. Seandainya aku diminta untuk mensifati beliau, maka sudah tentu aku tidak akan mampu karena aku tidak pernah memenuhi mataku ini dengan melihat beliau.” (HR. Muslim dalam al-Shahih kitab iman bab islam menghancurkan agama sebelumnya).
At-Tirmidzi telah meriwayatkan dari Anas, Sesungguhmya Rasulullah SAW suatu hari keluar menemui para sahabat muhajirin dan anshar dan pada saat itu mereka sedang duduk. Diantara mereka ada Abu Bakar dan Umar. Tidak seorangpun dari mereka yang mengangkat pandangannya kepada beliau melainkan Abu Bakar dan Umar, karena keduanya melihat beliau dan beliaupun melihat mereka berdua. Keduanya tersenyum kepada beliau dan beliaupun tersenyum kepada keduanya.”
Usamah ibn Syarik berkata, “Aku mendatangi Nabi SAW dan para sahabat berada disekeliling beliau yang seakan-akan diatas kepala mereka terdapat burung. Mengenai sifat beliau, ketika beliau bersabda maka orang-orang yang duduk disitu akan menundukkan kepalanya yang seakan-akan ada burung diatas kepala mereka. Diantara penghormatan yang dilakukan para sahabat kepada beliau adalah tidaklah beliau berwudhu melainkan mereka akan memperebutkan air sisa wudhu beliau dan hampir-hampir saja mereka berkelahi untuk mendapatkannya. Tidaklah beliau meludah melainkanludah itu akan jatuh ditangan mereka lalu mereka menggosok-gosokkannya dimuka dan tubuh mereka. Tidaklah sehelai rambut beliau jatuh melainkan mereka akan berebut untuk mendapatkannya. Ketika beliau berkata-kata, maka mereka akan memelankan suara mereka ketika berada disamping beliau. Dan tidak pernah mereka menajamkan pandangannya kepada beliau.”
Ketika Usamah kembali ke Quraisy, dia berkata, “Wahai kaum Quraisy! Sesungguhnya aku telah mengunjungi Kisra di istananya, Qaishar di istananya dan Najasyi di istananya. Demi Allah, belum pernah aku melihat seorang rajanya kaum seperti Muhammad dimata para sahabatnya.”
Al Thabrani dan ibn Hibban dalam kitab shohinya telah meriwayatkan dari Usamah ibn Syarik, dia berkata, “Kami duduk disisi Nabi SAW yang seakan-akan ada burung diatas kepala kami. Tidak ada orang diantara kami yang berkata kemudian orang-orang mendatangi beliau dan bertanya, ‘Diantara para hamba Allah, siapakah yang paling disukai Allah?’ beliau menjawab, ‘Yang paling baik akhlaknya.” Seperti yang telah dijelaskan dalam al Targhib (juz 4 halaman 187).
Abu Ya’la dalam kitab shahihnya telah meriwayatkan dari al Barra’ ibn ‘Azib, dia berkata, “Suau hari aku sangat ingin bertanya kepada Rasulullah tentang suatu perkara, namun aku mengakhirkannya selama dua tahun karena kewibawaan yang beliau meliki.”
Al Baihaqi telah meriwayatkan dari al Zuhri, dia berkata, “Seorang sahabat anshor telah bercerita kepadaku, sesungguhnya Rasulullah SAW ketika berwudhu atau berludah, maka para sahabat akan memperebutkan ludah beliau kemudian mereka mengusapkannya ke muka dan kulit mereka. Rasulullah SAW bertanya, “Kenapa kalian melakukan itu?” mereka menjawab, “Kami mencari berkahmu.” Kemudia rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa ingin dicintai Allah dan RasulNya, maka benarkanlah hatids, penuhilah amanah dan jagan sakiti tetangga kalian.” Seperti yang dijelaskan dalam al Kanz (juz 8 halaman 228).
Kesimpulannya, terdapat dua perkara besar yang harus dikaji. Pertama, kewajiban memuliakan Nabi SAW dan meninggikan derajat beliau melebihi makhluk yang lain. Kedua, mengesakan sifat ketuhanan berkeyakinan bahwa Allah adalah esa dalam dzat, sifat dan perbuatanNya. Barangsiapa memiliki keyakinan bahwa ada yang menyekutui Allah dalam dzat, sifat atau perbuatan, maka dia telah melakukan perbuatan syirik seperti orang-orang musyrik yang telah meyakini sifat Tuhan bagi berhala dan mereka menyembahnya. Dan barangsiapa yang merendahkan martabat Rasulullah maka dia telah melakukan kemaksiatan atau melakukan kekufuran.
Adapun orang yang berlebih-lebihan dalam memuliakan beliau dengan bentuk apapun dan tidak mensifati beliau dengan sifat-sifat Tuhan, maka dia telah benar dan telah menjaga dari sisi ketuhanan dan kerasulan. Itu adalah perkataan yang sangat pas, tidak lebih dan tidak kurang.
Ketika ditemukan dalam perkataan orang mukmin tentang penyandaran suatu hal kepada selain Allah, maka diwajibkan untuk membawanya pada majaz ‘aqli dan tidak ada jalan untuk mengkafirkannya, karena majaz ‘aqli juga digunakan dalam al Qur’an dan sunnah.
Ust. Hakam Ahmed ElChudrie
Posting Komentar