Menurut Islam, anugerah-anugerah Allah itu milik semua
manusia dan suasana yang menyebabkan sebagian diantara anugerah-anugerah itu
berada di tangan orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat
memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri; sedangkan orang lain
tidak memiliki bagiannya sehingga banyak diantara anugerah-anugerah yang
diberikan Allah kepada umat manusia itu masih berhak mereka miliki walaupun
mereka tidak memperolehnya.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT mengutuk dan membatalkan
argumen yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan
mereka memberikan bagian atau miliknya ini. Bila dikatakan kepada mereka,
“Belanjakanlah sebagian rizqi Allah yang diberikan-Nya kepadamu,” orang-orang
kafir itu berkata, “Apakah kami harus memberi makan orang-orang yang jika Allah
menghendaki akan diberi-Nya makan? Sebenarnya kamu benar-benar tersesat.”
Selain itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi
barang-barang yang baik itu sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam,
karena kenikmatan yang dicipta Allah untuk manusia adalah ketaatan kepada-Nya
Yang berfirman kepada nenek moyang manusia, yaitu Adam dan Hawa, sebagaimana
tercantum dalam Al-Qur’an: ” …dan makanlah barang-barang yang penuh nikmat di
dalamnya (surga) sesuai dengan kehendakmu …,” dan yang menyuruh semua umat
manusia: “Wahai umat manusia, makanlah apa yang ada di bumi, dengan cara yang sah
dan baik.”
Karena itu, orang Mu’min berusaha mencari kenikmatan dengan mentaati
perintah-perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-barang dan
anugerah-anugerah yang dicipta (Allah) untuk umat manusia. Konsumsi dan
pemuasan (kebutuhan) tidak dikutuk dalam Islam selama keduanya tidak melibatkan
hal-hal yang tidak baik atau merusak. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
“Katakanlah, siapakah yang melarang (anugerah-anugerah Allah) yang indah, yang
Dia cipta untuk hamba-hamba-Nya dan barang-barang yang bersih dan suci (yang
Dia sediakan?)”.
Konsumsi
berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal
Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah isrâf (pemborosan) atau tabzîr (menghambur-hamburkan
harta tanpa guna). Tabzir berarti mempergunakan harta dengan cara yang salah,
yakni, untuk menuju tujuan-tujuan yang terlarang seperti penyuapan, hal-hal
yang melanggar hukum atau dengan cara yang tanpa aturan.
Setiap kategori ini
mencakup beberapa jenis penggunaan harta yang hampir-hampir sudah menggejala
pada masyarakat yang berorientasi konsumer. Pemborosan berarti penggunaan harta
secara berlebih-lebihan untuk hal-hal yang melanggar hukum dalam hal seperti
makanan, pakaian, tempat tinggal atau bahkan sedekah. Ajaran-ajaran Islam
menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbang,
yakni pola yang terletak diantara kekikiran dan pemborosan. Konsumsi di atas
dan melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap isrâf dan tidak disenangi Islam.
Salah
satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa ia tidak hanya mengubah nilai-nilai
dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat tetapi juga menyajikan kerangka legislatif
yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan-tujuan ini dan menghindari
penyalahgunaannya. Ciri khas Islam ini juga memiliki daya aplikatifnya terhadap
kasus orang yang terlibat dalam pemborosan atau tabzîr.
Dalam hukum (Fiqh) Islam,
orang semacam itu seharusnya dikenai pembatasan-pembatasan dan, bila dianggap
perlu, dilepaskan dan dibebaskan dari tugas mengurus harta miliknya sendiri.
Dalam pandangan
Syarî’ah dia seharusnya diperlakukan sebagai
orang tidak mampu dan orang lain seharusnya ditugaskan untuk mengurus hartanya
selaku wakilnya.
M Syafi’i
Posting Komentar