Berikut ini akan saya kutip sebuah pernyataan dari salah seorang ulama salaf, yaitu al-Imam Abdurrahman bin Mahdi, yang sudah barang tentu dihafal oleh banyak kalangan tertentu .
Al-Imam Abdurrahman bin Mahdi berkata:
"Ahlussunnah akan menulis apa saja, baik menguntungkan maupun merugikan
mereka. Tetapi ahli bid'ah hanya akan menulis apa yang menguntungkan
saja."
Dalam sebuah diskusi di Mushalla Nurul
Hikmah Perum Dalung Permai Denpasar, ada salah seorang berbicara.
Menurutnya, bagaimana seandainya hadits-hadits yang diamalkan oleh kaum
Muslimin itu hadits dha'if?
Dalam kesempatan tersebut, saya
menyampaikan, seandainya hadits-hadits tentang keutamaan surat Yasin itu
dha'if, maka hal tersebut tidak menjadi persoalan. Sebab para ulama sejak
generasi salaf yang saleh telah bersepakat mengamalkan hadits dha’if dalam
konteks fadhail al-a’mal.
Syaikhul Islam al-Imam Hafidz al-’Iraqi
berkata, "Adapun hadits dha'if yang tidak maudhu' (palsu), maka para ulama
telah memperbolehkan mempermudah dalam sanad dan periwayatannya tanpa
menjelaskan kedha'ifannya, apabila hadits tersebut tidak berkaitan dengan hukum
dan akidah, akan tetapi berkaitan dengan targhib dan tarhib seperti nasehat,
kisah-kisah, fadhail al-a'mal dan lain-lain.
Adapun berkaitan dengan
hukum-hukum syar'i berupa halal, haram dan selainnya, atau akidah seperti
sifat-sifat Allah, sesuatu yang jaiz dan mustahil bagi Allah, maka para ulama
tidak melihat kemudahan dalam hal itu. Diantara para imam yang menetapkan hal
tersebut adalah Abdurrahman bin Mahdi, Ahmad bin Hanbal, Abdullah bin
al-Mubarak dan lain-lain. Ibn Adi telah membuat satu bab dalam mukaddimah kitab
al-Kamil dan al-Khathib dalam al-Kifayah mengenal hal tersebut." (Al-Hafidz
al-‘lraqi, at-Tabshirah wa at-Tadzkirah juz 1 halaman 291).
Sebagai bukti bahwa hadits-hadits dha'if
itu ditoleransi dan diamalkan dalam konteks fadhail al-a'mal dan sesamanya,
kita dapati kitab-kitab para ulama penuh dengan hadits-hadits dha’if, termasuk
kitab-kitab Syaikh Ibn Taimiyah, Ibn Qayyim al-Jauziyah, dan Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab an-Najdi pendiri aliran Wahhabi.
Dalam catatan sejarah, orang yang pertama
kali menolak hadits dha'if dalam konteks fadhail al-a'mal dan sesamanya adalah
Syaikh Nashir al-Albani, ulama Wahhabiyah dari Yordania, dan kemudian diikuti oleh sebagian orang di Indonesia seperti Hakim Abdat, Yazid Jawas, Mahrus Ali, dan
lain-lain. Tentu saja, pandangan Syaikh al-Albani menyalahi pandangan para
ulama sebelumnya termasuk kalangan ahli hadits.
Ust. Idrus Ramli
Posting Komentar