Di antara keburukan yang menggerogoti kaum ekstrem itu
adalah memperluas pemahaman bid’ah sehingga mereka mengklaim adat istiadat
maupun tradisi yang dilakukan kaum muslimin sebagai bid’ah dan sesat. Hal ini
dikarenakan mereka menganggap segala sesuatu yang tidak pernah dikerjakan
Rasulullah SAW Adalah bid’ah. Maka tidak boleh dikerjakan.
Implikasinya ketika
mereka melihat ada orang menengadahkan tangannya saat berdoa, maka mereka akan
menghardiknya dan mengatakan perbuatan itu bid’ah. Alasannya, Rasulullah tidak
pernah melakukan hal seperti itu. Begitu pula, ketika ada yang mengajak mereka
bersalaman sehabis shalat, maka mereka akan memberitahu bahwa perbuatan itu
tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah. Dan masih banyak contoh lainnya.
Pertanyaannya, apakah benar perbuatan yang ditinggalkan [atau tidak dilakukan]
Rasulullah SAW, itu termasuk bid’ah dan sesat?
Para ulama di seantero dunia, baik salaf ataupun khalaf,
semuanya sepakat bahwa at-tarku [apa yang ditinggalkan] bukanlah salah satu
metode yang bisa digunakan secara terpisah dalam perumusan hukum [istidlal].
Tetapi, metode yang bisa digunakan untuk menetapkan hukum syar’i, baik wajib,
sunnah, mubah atau makruh itu adalah datang dari nash Al-Qur’an, Sunnah, ijma’
dan qiyas.
At-Tarku pada dasarnya tidak menunjukan hukum syar’i. ini
sudah menjadi kesepakatan para ulama. Ada banyak dalil yang menunjukan bahwa
para sahabat tidak memahami di dalam tarku-nya Rasulullah SAW, terdapat
keharaman, bahkan sampai kemakruhan pun tidak. Inilah pemahaman para ulama
sepanjang masa.
Ibnu Hazm pernah membantah hujjah ulama Malikiyyah dan Hanafyah
yang mengatakan makruh hukumnya shalat sunnah dua rakaat sebelum maghrib,
karena Abu Bakar, Umar dan Usman tidak pernah melakukannya. Ibnu Hazm menjelaskan,
“Sesungguhnya, meninggalkan shalat tersebut [shalat sunnah sebelum maghrib]
tidak berarti apa-apa, selama mereka tidak mengatakan secara jelas mengenai
kemakruhannya. Pada kenyataannya, penjelasan itu tidak pernah dinukil.”
Itulah metode Ibnu Hazm dalam menanggapi tarku – nya para
sahabat dalam sebuah ibadah tertentu. Sikap yang sama juga ditunjukan ketika
menanggapi tarku Rasulullah mengenai sebuah ibadah yang memang diperbolehkan,
seperti ketika berbicara tentang shalat sunnah dua rakaat sebelum ashar.
Ia
berkata, “Hadist Ali bin Abi Thalib ra. Tidak bisa dijadikan hujjah sama sekali
[dalam masalah di atas], karena yang ada dalam hadist tersebut hanyalah
pemberitahuannya atas apa yang diketahui. Ia [Ali] tidak pernah melihat
Rasulullah melakukan shalat tersebut. Ia memang benar dalam perkataanya, tapi
ini bukan berarti mengandung makna melarang atau memakruhkan shalat tersebut.
Rasulullah tidak pernah berpuasa sebulan penuh di luar Ramadhan. Namun, ini
tidak berarti mengandung makna memakruhkan puasa sunnah satu bulan penuh [di
luar Ramadhan].”
Di sini, Ibnu Hazm memahami tarku Rasulullah SAW atas puasa
sunnah satu bulan penuh di luar Ramadhan tidak bisa menunjukan hukum haram atau
makruhnya berpuasa seperti itu, sekalipun Rasulullah SAW sendiri tidak pernah
melakukannya.
Rasulullah tidak pernah melakukan khotbah di atas mimbar,
namun beliau melakukannya di atas pelepah kurma. Kendati demikian, para sahabat
tidak mempunyai pemahaman bahwa berkhotbah di atas mimbar itu hukumnya bid’ah
atau haram. Karena itu, mereka lantas membuatkan mimbar untuk Rasulullah SAW
berkhotbah. Bukankah mereka ini orang-orang yang tidak pernah melakukan sesuatu
yang diharamkan oleh Rasulullah SAW? Jika demikian, dapat diketahui bahwa para
sahabat tidak menjadikan tarku Rasulullah SAW sebagai bid’ah.
Prof Dr. Ali Jum’ah, Mufti Agung Mesir, Al-Mutasyaddidun
Manhajuhum wa Munaqqasyatu Ahammi Qadhaayaahum

Posting Komentar