“Orang yang mengukuhkan keesaan
Tuhan akan mengalami penyatuan (man wahhada tawahhada). Orang yang mencari
(menuntut ilmu) dan berjuang sungguh-sungguh maka akan mendapatkan (man thalaba
wa jadda wajada). Jika seseorang menyerahkan dirinya dan tunduk serta patuh
kepada-Nya, maka orang itu akan aman dan selamat (man aslama wa taslama,
salima).
Jika seseorang menyesuaikan diri dengan
kehendak-Nya, dia akan dibantu untuk berhasil (man wafaqa wuffiqa). Namun, jika
seseorang “bertengkar” dengan takdir (qadar), dia
akan dipukul hingga binasa.
Ketika Firʽaun bertengkar dengan takdir dan menginginkan agar ilmu Allah diubah, maka Allah lalu membinasakannya dan menenggelamkannya di laut, dan menjadikan Mûsâ dan Harun tetap hidup.
Ketika Firʽaun bertengkar dengan takdir dan menginginkan agar ilmu Allah diubah, maka Allah lalu membinasakannya dan menenggelamkannya di laut, dan menjadikan Mûsâ dan Harun tetap hidup.
Ketika ibu Mûsâ merasa takut kepada algojo-algojo
yang disuruh Firʽaun menyembelih setiap bayi yang baru lahir, maka
Allah lalu memberinya ilham agar dia melemparkannya ke laut. Tetapi dia
mengkhawatirkan keselamatan Mûsâ a.s. maka kepadanya dikatakan:
الْمُرْسَلِينَ
[القصص :٧] وَلَا تَحْزَنِي ۖ إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ
“Janganlah engkau takut dan jangan bersedih, sebab Kami akan membawa dia kembali kepadamu,dan Kami akan menjadikannya salah seorang rasul,” (QS Al-Qashash (28):7).
(Dengan perkataan lain:) “Janganlah engkau takut, sebab hatimu akan ditenangkan, dan wujud terdalammu (sirr) akan diistirahatkan. Janganlah engkau takut bahwa dia akan tenggelam atau binasa, sebab Kami akan mengembalikan dia kepadamu. Melalui dia kami akan mengubah kemiskinanmu menjadi kekayaan.”
Karena itu, Ibu Mûsâ a.s. lalu mempersiapkan
sebuah peti (tâbût) baginya, lalu meletakkannya di dalamnya, dan melemparkan
peti itu ke laut. Lalu peti itu mengapung di atas air sampai mencapai istana, di
mana ia diambil oleh pelayan-pelayan Firʽaun dan istrinya, Ȃsiyah.
Segera sesudah mereka membuka peti itu, mereka pun melihat bahwa peti itu
berisi seorang bayi laki-laki. Mereka semua menyukainya, dan hati mereka penuh
dengan rasa sayang kepadanya. Maka mereka pun lalu menggosok bayi itu dengan
minyak, mengganti popoknya dan memberinya baju baru. Dia menjadi salah seorang
manusia yang paling dicintai oleh Ȃsiyah dan para pelayannya, dan
dia juga dicintai oleh setiap anggota pengiring Firʽaun
yang kebetulan melihatnya. Ini menjelaskan makna firman Allah SWT
وَأَلْقَيْتُ
عَلَيْكَ مَحَبَّةً مِنِّي وَلِتُصْنَعَ عَلَىٰ عَيْنِي [طه: ٣٩]
“Dan aku telah melimpahkan kepadamu kasih sayang yang datang dari-Ku,” (QS Thâ Hâ (20) :39)
Dikatakan bahwa siapa pun yang memandang ke mata
Mûsâ pasti jatuh cinta kepadanya. Kemudian Dia mengembalikannya kepada ibunya
dan membesarkannya di istana Firʽaun, bertentangan dengan
kehendak Firʽaun sendiri, yang terbukti tidak mampu
membinasakannya. Apabila seseorang telah dipilih dan dipelihara oleh Tuhan
untuk Diri-Nya sendiri, bagaimana bisa orang membinasakannya? Bagaimana bisa
orang membantainya? Bagaimana bisa air menenggelamkannya?
Dia dijaga dalam penjagaan-Nya dan berbicara
dengan-Nya secara langsung. Apabila seseorang dicintai oleh Tuhan Yang Maha
Benar, siapa yang bisa membencinya? Siapa yang bisa mendatangkan bahaya
kepadanya? Siapa yang mampu menelantarkannya? Siapa yang bisa menjadikannya
kaya? Siapa yang bisa menjadikannya miskin? Siapa yang bisa mengangkatnya ke derajat
yang tinggi? Siapa yang akan mampu memecatnya? Siapa yang bisa mendekatkannya?
Siapa yang akan mampu menjauhkannya?
Ya Allah, bukakanlah untuk kami pintu
kedekatan-Mu. Masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang mengabdi dan
taat kepada-Mu, ke dalam kalangan mereka yang bertakwa sepenuhnya kepada-Mu,
dan ke dalam kalangan tentara-Mu. Izinkanlah kami duduk di tikar dimana makanan
anugerah-Mu disuguhkan, dan izinkanlah kami memuaskan dahaga kami dengan
minuman persahabatan akrab-Mu. “Berilah kami kebaikan di dunia
ini dan kebaikan pula di akhirat nanti, dan jagalah kami dari siksa neraka!”
(QS Al-Baqarah (2) :201)
Syaikh Abdul Qadir Al-Jilany dalam kitab Jala Al-Khathir

Posting Komentar