Suatu hal yang harus kita sadari dan kita terima dengan
pikiran yang jernih dan hati yang bersih, bahwa tidak semua amal kebaikan yang
ditinggalkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu tidak baik dan tidak
dianjurkan. Bahkan justru yang terjadi adalah sebaliknya. Banyak sekali amal
kebaikan yang ditinggalkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
sebanarnya amalan tersebut sangat baik dan dianjurkan. Sebagai contoh, marilah
kita perhatikan hadits berikut ini:
ﻋَﻦْ ﻋَﺎﺋِﺸَﺔَ، ﻗَﺎﻟَﺖْ : ﺍﻧْﻄَﻠَﻖَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ ﺻَﻠَّﻰ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ
ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﻳَﺒُﻮﻝُ، ﻓَﺎﺗَّﺒَﻌَﻪُ ﻋُﻤَﺮُ ﺑِﻤَﺎﺀٍ، ﻓَﻘَﺎﻝَ : « ﻣَﺎ ﻫَﺬَﺍ ﻳَﺎ ﻋُﻤَﺮُ؟
» ﻗَﺎﻝَ : ﻣَﺎﺀٌ، ﻗَﺎﻝَ : « ﻣَﺎ ﺃُﻣِﺮْﺕُ ﻛُﻠَّﻤَﺎ ﺑُﻠْﺖُ ﺃَﻥْ ﺃَﺗَﻮَﺿَّﺄَ، ﻭَﻟَﻮْ
ﻓَﻌَﻠْﺖُ ﻟَﻜَﺎﻧَﺖْ ﺳُﻨَّﺔً »
“Aisyah berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi
untuk buang air kecil. Lalu Umar mengikutinya dengan membawakan air. Baginda
bertanya: “Apa ini wahai Umar?” Ia menjawab: “Air.” Baginda bersabda: “Aku
tidak diperintahkan untuk berwudhu’ setiap aku buang air kecil. Seandainya aku
lakukan, maka hal ini akan menjadi sunnah.” (HR Abu Dawud [42] dan Ibnu Majah
[327]. Hadits ini dinilai hasan oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dan tokoh Wahabi,
Syaikh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ al-Shaghir [5551] dan dalam tahqiq
Misykat al-Mishabih [368]).
Dalam hadits di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak mengerjakan wudhu’ setiap buang air kecil, karena kasihan kepada umatnya.
Karena apabila hal tersebut dilakukan oleh baginda, maka akan menjadi kewajiban
bagi umatnya. Meskipun demikian, bukan berarti berwudhu’ setiap kedatangan
hadats kecil tidak dianjurkan. Dalam hadits shahih berikut ini diriwayatkan.
ﻋَﻦْ ﺃَﺑِﻲْ ﻫُﺮَﻳْﺮَﺓَ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ ﺃَﻥَّ ﻧَﺒِﻲَّ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ
ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻗَﺎﻝَ ﻟِﺒِﻼَﻝٍ ﻋِﻨْﺪَ ﺻَﻼَﺓِ ﺍﻟْﻔَﺠْﺮِ : « ﻳَﺎ ﺑِﻼَﻝُ ﺣَﺪِّﺛْﻨِﻲْ ﺑِﺄَﺭْﺟَﻰ
ﻋَﻤَﻞٍ ﻋَﻤِﻠْﺘَﻪُ ﻓِﻲ ﺍْﻹِﺳْﻼَﻡِ ﻓَﺈِﻧِّﻲْ ﺳَﻤِﻌْﺖُ ﺩُﻑَّ ﻧَﻌْﻠَﻴْﻚَ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ
» ﻗَﺎﻝَ : ﻣَﺎ ﻋَﻤِﻠْﺖُ ﻋَﻤَﻼً ﺃَﺭْﺟَﻰ ﻋِﻨْﺪِﻱْ ﻣِﻦْ ﺃَﻧِّﻲْ ﻟَﻢْ ﺃَﺗَﻄَﻬَّﺮْ ﻃَﻬُﻮْﺭًﺍ
ﻓِﻲْ ﺳَﺎﻋَﺔٍ ﻣِﻦْ ﻟَﻴْﻞٍ ﺃَﻭْ ﻧَﻬَﺎﺭٍ ﺇِﻻَّ ﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺑِﺬَﻟِﻚَ ﺍﻟﻄَّﻬُﻮْﺭِ ﻣَﺎ ﻛُﺘِﺐَ
ﻟِﻲْ . ﻭَﻓِﻲْ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔٍ : ﻗَﺎﻝَ ﻟِﺒِﻼَﻝٍ : « ﺑِﻢَ ﺳَﺒَﻘْﺘَﻨِﻲْ ﺇِﻟَﻰ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ؟
ﻗَﺎﻝَ : ﻣَﺎ ﺃَﺫَّﻧْﺖُ ﻗَﻂُّ ﺇِﻻَّ ﺻَﻠَّﻴْﺖُ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻭَﻣَﺎ ﺃَﺻَﺎﺑَﻨِﻲْ ﺣَﺪَﺙٌ
ﻗَﻂُّ ﺇِﻻَّ ﺗَﻮَﺿَّﺄْﺕُ ﻭَﺭَﺃَﻳْﺖُ ﺃَﻥَّ ﻟﻠﻪِ ﻋَﻠَﻲَّ ﺭَﻛْﻌَﺘَﻴْﻦِ ﻓَﻘَﺎﻝَ ﺍﻟﻨَّﺒِﻲُّ
ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ « ﺑِﻬِﻤَﺎ » ﺃَﻱْ ﻧِﻠْﺖَ ﺗِﻠْﻚَ ﺍﻟْﻤَﻨْﺰِﻟَﺔَ » . ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ
ﻭﻣﺴﻠﻢ ﻭﻏﻴﺮﻫﻤﺎ .
“Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Bilal ketika shalat fajar: “Hai
Bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam Islam, karena
aku telah mendengar suara kedua sandalmu di surga?”. Ia menjawab: “Kebaikan
yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum pernah berwudhu’, baik
siang maupun malam, kecuali aku melanjutkannya dengan shalat sunat dua rakaat
yang aku tentukan waktunya.” Dalam riwayat lain, baginda shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepada Bilal: “Dengan apa kamu mendahuluiku ke surga?” Ia
menjawab: “Aku belum pernah adzan kecuali aku shalat sunnat dua rakaat
setelahnya. Dan aku belum pernah hadats, kecuali aku berwudhu setelahnya dan
harus aku teruskan dengan shalat sunat dua rakaat karena Allah”. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Dengan dua kebaikan itu, kamu meraih
derajat itu” (HR al-Bukhari (1149), Muslim
(6274), al-Nasa’i dalam Fadhail al-Shahabah (132), al-Baghawi (1011), Ibn
Hibban (7085), Abu Ya’la (6104), Ibn Khuzaimah (1208), Ahmad (5/354), dan
al-Hakim (1/313) yang menilainya shahih).
Dalam hadits di atas ada beberapa kebiasaan Sayyidina Bilal
radhiyallahu ‘anhu:
1) Setiap selesai adzan pasti menunaikan shalat sunnah dua
rakaat
2) Setiap wudhu’nya batal, pasti langsung berwudhu’
3) Setiap selesai wudhu’, pasti menunaikan shalat sunnah dua
rakaat.
Tiga kebiasaan Sayyidina Bilal tersebut belum pernah
diajarkan maupun dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, akan tetapi
ternyata ketika baginda diberitahukan tentang hal tersebut, baginda justru
membenarkan dan mengakui bahwa hal tersebut telah mengantarnya menjadi orang
yang dijamin akan masuk surga.
Berdasarkan hadits di atas al-Hafizh Ibn Hajar
dalam Fath al-Bari (3/34) menjelaskan, bahwa hadits di atas memberikan faedah
bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu ibadah, karena Bilal memperoleh
derajat tersebut berdasarkan ijtihadnya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun membenarkannya.
Berdasarkan
paparan di atas, maka apabila umat Islam melakukan suatu kebaikan yang belum
pernah dikerjakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ada orang yang
mempertanyakan, "apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
mengerjakannya?", maka pertanyaan inilah sebenarnya yang keliru.
Ust. M. Idrus Ramli
Posting Komentar