Sejumlah metafor Qalbu dibangun oleh Al-Ghazali. Qalbu ibarat cermin. Gambar
yang memantul dalam cermin itu adalah ilmu-ilmu hakikat. Dan dalam cermin itu
sebuah kebenaran diterima dalam mosaik cermin Qalbu. Penerimaan kebenaran oleh
hati, bisa melalui informasi yang diterima, atau melalui kenyataan yang
diyakini, atau bahkan kenyataan atau fakta yang yang disaksikan dengan jelas,
khususnya oleh kaum Shiddiqin dan Auliya’.
Tetapi mosaik ini akan buram dan menghalangi cahaya kebenaran yang memantul
dalam hati kita, lewat sejumlah penghalang: Gambar yang memantul dalam cermin
itu rusak; atau cermin itu buruk dan ternoda; atau cermin itu berlainan arah;
atau cermin itu tertutupi oleh hijab tertentu, dan tentu saja rupa dalam cermin
akan tidak tampak manakala yang memandang memang bodoh tentang pengetahuan rupa
dan cermin itu sendiri.
Bila hakikat manusia adalah Qalbu, lalu apakah hakikat Qalbu itu?
Hakikat
Qalbu adalah nuansa batinnya qalbu. Qalbu ini menjadi wilayah dari batinnya
sendiri, yang disebut sebagai Ruh. Dalam anatomi fisik, ruh biasa disebut
dengan nyawa yang bertempat dalam titik hitam di tengah jantung. Tetapi secara
hakiki, Ruh adalah Kelembutan Rabbaniyah yang menggerakkan Qalbu Ruhani.
Maka di dalam Ruh itu ada Amar yang mengatur gerak-gerik Ruh dari Allah
Ta’ala. Karena itu dalam Al-Qur’an disebutkan, “Katakanlah bahwa Ruh itu adalah
Amar Tuhanku.” (Al-Isra’: 85), dan pada ayat lain dijelaskan, “Ruh dipertemukan
dari AmarNya pada orang yang dikehendaki dari para hambaNya pada hari
pertemuan.” (Ghaafir: 15), atau ayat, “Mereka yang telah dicatat di hati
mereka, keimanan, dan dikokohkan dengan ruh dari Allah.” (Al-Mujaadilah: 22)
Mereka yang berada dalam wilayah Ruhiyah adalah para Muqarrabun, karena
penguasaan Ruh Ilahiyah yang melimpah begitu kuat dalam dirinya. Para
Muqarrabun yang jumlahnya sedikit di dunia ini, adalah mereka yang disebut
dalam Al-Qur’an, “Dan tidak Kami beritahu tentang (ruh) kecuali sedikit.” Para
Auliya Allah, ruh mereka senantiasa terfokus pada musyahadah (penyaksian)
Kemahaagungan Allah dimana-mana, dan kapan saja. Ruh mereka berada dalam alam
Malakut-Nya, yang terus menerus menyucikan Allah. Itulah nuansa kaum
Muqarrabun.
Jika Ruh posisinya di atas Qalbu, maka Nafsu berada di bawah Qalbu. Pada
dasarnya, Nafsu merupakan refleksi dari seluruh keadaan dunia dalam kita,
termasuk di sana Qalbu dan ruh, akal dan fikiran. Tetapi, yang demikian itu
bermakna Nafsu sebagai Nafs yang berarti jiwa. Namun secara khusus, Nafsu
memiliki bilik-bilik transformatif di dalam jiwa itu sendiri, yang kelak
terbagi-bagi dalam kamar-kamar jiwa kita.
Paling rendah adalah Nafsu Ammarah, yaitu Nafsu yang senantiasa
memerintahkan kita untuk berbuat jahat, yang kelak melahirkan sifat-sifat
tercela (al-Madzmumat) disebabkan oleh dorongan sifat nafsu ini yang mengarah
pada syahwat dan marah serta sifat-sifat tercela lainnya. Jika nafsu ini
mendapatkan Rahmat Allah, ia akan selamat. Dari nafsu Ammarah naik ke
Nafsu Lawwamah, yaitu nafsu yang pasif, antara kebaikan dan keburukan, dan
terombang ambing di sana. Seseorang terkadang menuruti syahwat dan keburukan
lainnya, kadang ia terdorong untuk bertobat dan kebaikan.
Lalu naik ke tahap Nafsu Muthmainnah, yaitu Nafsu yang tenteram. Nafsul
Muthmainnah adalah kondisi dimana seseorang berada dalam ketenangan bersama
Allah, dari dan kepada Allah. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang “kembali kepada
Allah” (an-Nafs al-Murji’ah). Dan yang bisa kembali kepada Allah hanyalah
orang-orang senantiasa berdzikir kepada Allah.
Jiwa atau Nafs yang bisa kembali kepada Allah-lah yang bisa tenteram, dan
ketentraman jiwa inilah yang menghantar pada kerinduan hamba untuk meraih Ridha
Allah. Maka di gerbang Nafsu berikutnya adalah Nafsu Raadhiyyah . Nafsu
Raadhiyah adalah kondisi Nafsu yang melampaui Muthmainnah. Karena itu, pada
situasi Raadhiyyah, seseorang sudah tidak memikirkan lagi syurga dan neraka.
Yang ada hanyalah kerinduan pada Ridha Allah Ta’ala.
Akhir dari Radhiyah adalah Nafsu Mardhiyyah. Seorang hamba telah menjadi
Ridha itu sendiri dalam kontemplasi ruhaniyahnya. Karena ia tidak lagi berupaya
meraih RidhaNya, sebab Ridha telah menjadi nama, sifat dan perilakunya.
Dari Mardhiyyah naik menjadi Nafs Mulhimah, yaitu Nafsu yang dilimpahi Ilham
Allah, yang kelak berada dalam Nafsu Kaasyifah. Nafsu yang berada dalam
ketercerahan Rahasia-rahasia Batin (Al-Asraar), yang menjadi gerbang dari Nafs
‘Arifah (yang terus menerus ma’rifat kepada Allah. Dan puncaknya adalah Nafs
Kamilah, nafsu yang peripurna dalam tranformasi ruhani seorang hamba yang mendapat
predikat Insan Kaamil.
KHM Luqman Hakim

Posting Komentar