Ketika hendak membeli hewan sembelihan hendaknya mengajak
orang yang lebih paham dan ahli mendeteksi usianya. Karena dalam fiqih, syarat
hewan yang diqurbankan adalah 1 tahun (kambing domba), 2 tahun (kambing
kerikil, kambing jowo, kambing kacang, kerbau atau sapi) dan 5 tahun (onta).
Walau tidak semua bakul melakukan kecurangan, ketika musim
panen, ada sebagian dari mereka yang nakal memberikan ragi ke gigi-gigi hewan
ternaknya agar cepat rompal (putus/ terpotong) sehingga dianggap powel (berumur
cukup untuk qurban). Menurutnya, rompalnya gigi hewan agar disebut memenuhi
standar berqurban itu tidak cukup hanya satu gigi.
Begitu pun, usia hewan tidak bisa dilihat dari besar kecilnya
tubuh binatang. Sekalipun kecil, kalau sudah powel, sah dibuat qurban. Contoh
adalah kambing jowo. Meskipun kecil, dia bisa jadi sudah berusia 2 tahun.
Begitu pula kambing domba, walau besar tubuhnya, kadang belum mencapai syarat
minimal satu tahun.
Semua permasalahan itu sebetulnya adalah tanggungjawab
panitia qurban. Karena itulah panitia harus sembodo (tahu aturan main syariat
fiqih). Misalnya di menara Kudus, ketika menyembelih, panitia selalu didampingi
oleh para kiai agar cara menyembelihnya sesuai aturan fiqih.
Kurang beberapa hari sebelum pelaksanaan, biasanya seorang
mudlahhi (yang melaksanakan qurban) akan dihubungi panitia jika hewan yang
digunakan berqurban itu dianggap kurang memenuhi syarat atau meragukan. Kepada
siapa daging qurban dibagikan pun, ada aturannya.
Kulit qurban misalnya, secara fiqih, itu tidak boleh dijual
dan juga tidak boleh digunakan sebagai upah untuk pelaksana. Namun yang lazim
terjadi adalah ketika seseorang mendapatkan kulit binatang, kebanyakan langsung
dijual. Di menara Kudus, kulit hewan qurban diberikan kepada faqir miskin yang
muslim.
Dalam syariat fiqih, orang miskin dan faqir boleh menjual
kulit binatang qurban. Ini berbeda hukum dengan orang kaya muslim yang
menerimanya. Walaupun menerima, orang kaya tidak boleh menjual. Pasalnya,
pembagian qurban bagi orang kaya itu sifatnya dliyafah (hidangan), bukan lit
tamlik (kepemilikan utuh), sebagaimana orang miskin dan faqir.
Karena itulah, di Menara Kudus, panitia punya data siapa
saja yang nantinya akan menerima kulit qurban. Oleh panitia, mereka dikirimi
surat dan diomongi, “anda dapat bagian kulit kambing, anda ambil, anda rawat
sendiri atau mau dijual? Kalau mau dijual, akan dijual sendiri atau diwakilkan
panitia,” demikian kurang lebih.
Namun, rata-rata dari mereka memilih
diwakilkan penjualannya kepada panitia karena kalau dijual sendiri harga akan
dibanting tengkulak. Ada yang menakuti mereka, “kalau kamu tidak jual ke saya,
besok sore sudah busuk kulitnya,” akhirnya harga dibuat semurah mungkin karena
kuatir tidak laku setelah membusuk.
Di sinilah pentingnya panitia memberikan petunjuk kepada
yang akan menerima kulit qurban. Sayangnya, masih ada saja sebagian orang yang
menyebut kalau kulit binatang qurban yang dikelola oleh Menara Kudus dijual panitia,
“padahal panitia mewakili yang berhak menerima kulit binatang qurban. Mereka
tidak bertanya tapi sudah menyimpulkan”.
Soal qurban nadzar, dagingnya tidak boleh diberikan kepada
muslim yang aghniya’ (kaya). Pelunasan segala amal sedekah wajib semacam nadzar
dan dam (dalam haji) harus diberikan kepada fuqoro’, tidak boleh dibagikan
kepada orang kaya. “Jika mengingatkan, acapkali dianggap melawan arus karena
orang yang tahu fiqih tidak lebih banyak dari yang tidak tahu,” Aturan fiqih juga menyebutkan jika keluarga orang yang
nadzar beserta orang-orang yang ditanggung nafaqoh olehnya, tidak boleh ikut
mengonsumsi daging nadzar tersebut.
Untuk aqiqah, ada kesunnahan membagikan daging dalam keadaan
matang (dimasak) serta manis masakannya. Tapi tetap sah jika daging aqiqah yang
dibagikan itu mentah semua.
KH. Arifin Fanani adalah pengajar fiqih di MA TBS Kudus dan
pengasuh PP. MUS Yanbuul Qur'an Kudus
Posting Komentar